Jakarta, CNN Indonesia -- Kiprah timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956 menjadi kenangan tak terlupakan para penggawa Merah Putih di zaman itu. Tak terkecuali bagi Maulwi Saelan, sang penjaga gawang yang menjadi benteng pertahanan terakhir.
Maulwi bersama sejumlah pemain legendaris seperti Ramang, Djamiat, Him Tjiang, Liong Houw, Kiat Sek, dan Ramlan sebagai kapten, membawa nama Indonesia untuk kali pertama tampil di Olimpiade.
Kala itu Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet yang merupakan salah satu tim terkuat Eropa dan dunia. Maulwi sukses menggagalkan sejumlah peluang dari Igor Netto, Sergei Salnikov, dan Boris Tatushin.
 Maulwi Saelan (kanan) saat membela timnas Indonesia di level internasional. (Dok. Pribadi) |
Mereka berhasil menahan imbang Soviet tanpa gol, bahkan hingga perpanjangan waktu 2x15 menit. Namun, skuat Garuda akhirnya kalah secara terhormat 0-4 dalam pertandingan ulangan yang digelar 36 jam kemudian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu cerita bapak yang paling berkesan. Pengalaman ini selalu diceritakan berulang-ulang kepada rekan-rekannya dengan semangat," kata Asha Wadia Saelan, putra bungsu Maulwi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Kenangan di Melbourne, bagi Maulwi bukan sekadar prestasi olahraga semata. Tapi, bagian dari perjuangan bangsa yang baru merdeka di mata dunia internasional.
"Bagi bapak, sepak bola adalah cara rakyat indonesia untuk berjuang dan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa. Karena sepak bola adalah olahraga rakyat dan disenangi semua orang," ujar Asha.
"Bapak selalu menekankan, motivasi pemain bola di zamannya adalah nasionalisme. Tanpa dibayar dan dengan fasilitas seadanya, mereka tampil dengan semangat pantang menyerah."
Maulwi tergabung dalam timnas Indonesia era 1954-1958 serta berkontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perungggu di Asian Games 1958.
 Mantan penjaga gawang tim nasional Indonesia, Maulwi Saelan (kanan). (Dok. Pribadi) |
Ia sempat menjabat Ketua Umum PSSI pada periode 1964-1967 menggantikan Abdul Wahab Djojohadikoesoemo. Jabatannya kemudian diteruskan Kosasih Purwanegara.
Meski tak lagi terlibat dalam kepengurusan PSSI, Maulwi tetap aktif mengamati perkembangan sepak bola nasional. Ia bahkan menyayangkan terjadinya kisruh PSSI, terutama dualisme kepengurusan pada 2012 silam.
"Waktu itu (2012) pernah ada yang datang minta pertimbangan bapak soal kisruh PSSI. Dia hanya bilang, segeralah dibereskan! Dulu sepak bola adalah alat perjuangan pemersatu bangsa, kenapa sekarang jadi memecah belah?" ungkap Asha menirukan pernyataan Maulwi.
Maulwi juga sempat mempertanyakan skandal korupsi di tubuh FIFA yang menyeret Sepp Blatter ke ranah hukum. "Beliau bilang, pengurus sepak bola sudah rusak semua karena termakan uang," tutur Asha.
Meski demikian, Maulwi mengaku tidak mau mencampuri konflik PSSI. Ia tidak pernah mau bergabung dengan kubu manapun untuk menjaga keutuhan persatuan.
Masa-masa akhir Maulwi dihabiskan dengan membaca buku, aktif di dunia pendidikan (Al Azhar) dan masih getol menyaksikan pertandingan sepak bola lewat televisi.
Kondisi fisik Maulwi yang termakan usia mulai menurun drastis sejak Agustus 2016. Ia hanya sanggung berbaring melawan renta yang sulit untuk berkompromi.
Pria kelahiran Makassar 8 Agustus 1926 tersebut akhirnya mulai dirawat secara intensif mulai awal September. Namun, semangatnya masih menyala dan tak sungkan menebar senyum. Itu tergambar jelas ketika
CNNIndonesia.com menjumpainya di Rumah Sakit Pondok Indah, 29 September lalu.
 Maulwi Saelan tutup usia di RS Pertamina, Jakarta. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
Meski sudah harus berbaring di rumah sakit, dia selalu ingin pulang ke rumah atau diantar ke Sekolah Al Azhar yang teletak di bilangan selatan Jakarta.
"Dia masih ingin lakukan banyak hal. Pernah subuh-subuh dia minta diantar ke sekolah. Dia bilang, saya terlalu lama di sini, mau kembali ke sekolah," ucap Asha.
Yang menarik, Maulwi masih sempat menyaksikan pertandingan uji coba timnas Indonesia melawan Malaysia lewat tayangan langsung di televisi, 6 September 2016. Kala itu, Indonesia menang 3-0 atas Malaysia.
"Sesekali bapak kasih komentar. "Itu harusnya bola panjang, nah bagus," ucap Asha menirukan Maulwi yang mengharuskannya berbaring dan menggunakan alat perekam jantung di salah satu ruangan rumah sakit.
"Secara keseluruhan bapak bilang mainnya sudah bagus. Mungkin karena banyak gol atau sudah lumayan bagus karena sempat 'tertidur' karena sanksi FIFA kemarin? Saya kurang paham deh," ujar Asha sambil terkekeh.
Setelah tiga pekan dirawat di RS Pondok Indah, Maulwi sempat dipulangkan ke rumah yang terletak di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Namun, tak lama kemudian fisiknya kembali menurun dan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Pertamina, Jakarta.
Tubuh renta Maulwi pun sudah tak mau kompromi lagi. Ajudan terakhir yang menemani Sukarno di masa-masa kritis itu akhirnya mengembuskan napas terakhir pada Senin (10/10).
"Bapak sudah dipanggil dengan damai. Semoga semua perjuangannya bisa dilanjutkan kami anak-anaknya dan semua yang pernah mengenalnya," ujar Asha.
Jenazah Maulwi rencananya akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (11/10) siang. Selamat jalan penjaga gawang terakhir timnas Indonesia di Olimpiade.
(jun)