Elegi 'Sang Matador' yang Tersingkir di Liga Amatir

CNN Indonesia
Rabu, 18 Jan 2017 09:15 WIB
Membangun klub sejak 2006, Heru Pujihartono harus merelakan mimpinya kandas di tengah jalan. Jakarta Matador FC undur diri dari persepakbolaan Indonesia.
Pemilik klub Jakarta Matador FC, Heru Pujihartono, menarik kesebelasannya dari Liga Nusantara di musim kompetisi mendatang. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap pecinta sepak bola mungkin punya mimpi sama: bisa bekerja sembari menyalurkan kesukaan pada si kulit bundar. Bagi Heru Pujihartono, kecintaan itu dibayar mahal dengan mengucurkan uang lebih dari satu miliar rupiah setiap tahunnya untuk kesebelasan Jakarta Matador FC.

Jakarta Matador, klub yang didirikan dan dikelola Heru, jauh dari kata gemerlap sepak bola. Sebagaimana puluhan kesebelasan yang bermain di kompetisi semi-amatir Liga Nusantara, Jakarta Matador jarang sekadar mendapatkan pemberitaan atau masuk televisi. Ini hanya berarti satu hal: tanpa sponsor dan minim pemasukan dari tempat lain.

Padahal mengurus kesebelasan di Liga Nusantara bukan semudah membalikkan telapak tangan. Di level amatir, keganasan pemain pada wasit nyaris tidak bisa dikendalikan seperti di level profesional. Bahkan, ada wasit yang sempat patah tulang rahang karena diserang pemain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Heru bisa disebut satu dari segelintir sosok yang ‘gila’ di dunia sepak bola Indonesia. Rela mengeluarkan banyak uang dari kocek pribadi untuk si kulit bundar dengan segala permasalahan di dalamnya. Jangankan untung. Uang jerih payah usaha penyedia makanan (katering) yang ia bangun bersama istri, tidak akan kembali begitu dikeluarkan untuk sepak bola.

“Di sepak bola amatir ini titik ketika saya harus berbuat. Bukan masalah rela atau tidak rela, mengeluarkan uang adalah konsekuensi ketika saya memiliki klub. Jelas, di sepak bola itu lahan untuk belajar yang butuh finansial yang tidak sedikit. Ada pengorbanan,” kata Heru ketika berbincang dengan CNNIndonesia, pekan lalu.

Gaji yang diberikan untuk para penggawanya terbilang cukup pantas. Kata Heru, ia menggaji pemain dan staf pelatih sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional).

Satu pemain dibayar Rp3,5 juta per-bulan, pelatih Rp10 juta, asisten pelatih Rp5 juta, pelatih kiper Rp5 juta , sekretaris tim Rp3,5 juta, fisioterapis Rp5 juta, sementara dua orang pembantu umum Rp3,5 juta.

Puncak pencapaian Jakarta Matador FC adalah ketika mereka menembus Divisi I, atau dua level di bawah kompetisi tertinggi Liga Super Indonesia, pada 2013 silam. Tiga bulan sebelum kompetisi ia menyiapkan tim. Ada sedikitnya tujuh hal yang harus ia siapkan, mulai dari gaji pemain, makan, transportasi, sewa lapangan, tempat penginapan pemain, hingga sewa lapangan uji coba.
 
Untuk partai-partai persahabatan itu, ia harus merogoh kocek hingga Rp750 juta dalam tiga bulan. Selama satu musim kompetisi, Heru juga harus menyediakan dana Rp2 miliar sampai klubnya itu lolos ke level yang lebih tinggi.

Belum lagi harus menghadapi birokrasi administrasi federasi sepak bola Indonesia yang disebut Heru “ruwet” ketika ingin diakui secara sahih oleh PSSI di tahun 2012.

Heru juga mengaku sempat dibohongi dan merugi Rp2 miliar ketika ingin membangun lapangan latihan sekaligus markas Jakarta Matador FC di kawasan Sawangan.

Mimpi Jadi Kiper Timnas

Kerelaan Heru untuk ‘membakar uang’ di kompetisi amatir sendiri berangkat dari cita-cita semasa kecil. Mimpinya dulu adalah ingin jadi kiper andal.

Sejak belia, Heru mengaku tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan cita-cita itu. Bahkan, untuk membeli sarung tangan supaya tangannya terlindungi saat bertugas sebagai kiper saja ia mengaku tak mampu.

“Ketika saya main bola itu masa-masa sulit saya. Dalam perjalanan  hidup, saya malang melintang di dunia olahraga. Saya sempat jadi karateka. Tapi kemudian ada titik saya menemukan kecintaan saya kepada sepak bola pada 2001,” tuturnya.

Tanpa disangka, nasib dan kondisi keuanganya berubah semenjak berbisnis jasa boga. Pada 2006, Heru pun bisa membangun klub kecil bernama Jakarta Matador FC. Kesebelasan yang memulai langkah di Divisi III (kini Liga Nusantara) itu jadi lahan baginya buat menggapai cita-cita masa kecil. Pada 2009 kesebelasan itu merger dengan PS Markuban dan kemudian semakin menanjak hingga akhirnya bisa berkompetisi di Divisi I.  

Tak sekadar menjadi presiden klub, ia juga memberikan fasilitas kepada anak-anak berbakat yang tidak mampu seperti dirinya di masa kecil. Ia juga mengaku berusaha mendidik pemain untuk menghormati wasit, baik saat menang atau kalah.  

“Yang saya heran, kenapa sewaktu saya kecil dulu, tidak ada yang seperti saya? Kalau ada, mungkin saya sudah bisa jadi kiper timnas,” ujarnya bergurau.

Namun pada akhirnya mimpi menggeluti dunia sepak bola Indonesia itu kandas di tengah jalan. Jakarta Matador FC  tutup buku ketika kompetisi mulai bergeliat kembali setelah Indonesia terlepas dari sanksi FIFA.

Ya, hanya dua setengah bulan sebelum roda Liga Indonesia dan Liga Nusantara bergulir, Heru membubarkan kesebelasannya, baik putri maupun putra.

“Klub amatir ini bukan sekadar sepak bola dan prestasi. Tapi juga pembelajaran supaya klub bisa mandiri. Ini jadi tantangan sendiri buat saya. Sepak bola itu industri, tapi kalau tidak menghasilkan buat apa dilanjutkan?” tutur Heru soal alasan terhentinya perjalanan klub.

Ia tak menjelaskan lebih lanjut soal keputusan yang mendadak diambil itu. Hanya saja, Heru mengisyaratkan suatu saat nanti kembali ke dunia yang lekat dengannya sejak kecil.

“Saya tidak kapok berada di sepak bola. Sekarang saya mencoba untuk menarik diri saat ini, tapi siapa tahu nanti ada klub Divisi Utama yang mau menggabungkan diri dengan kami di pertengahan jalan,” ucapnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER