Menanti Fajar Baru Formula 1

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Selasa, 24 Jan 2017 08:57 WIB
Formula 1 kini tengah menghadapi masa-masa perombakan total setelah FIA memberikan restu kepada Liberty Media untuk mengakuisisi ajang balap jet darat itu.
Formula 1 bakal menghadapi banyak perombakan setelah diakusisi Liberty Media. (Reuters/Hamad I Mohammed)
Jakarta, CNN Indonesia -- Formula 1 di ambang sejarah baru. Setelah otoritas balapan dunia (FIA) memberi restu Liberty Media mengakuisisi ajang balap jet darat tersebut, F1 kini akan menghadapi masa-masa perombakan total yang bisa menyelamatkan nyawa mereka.

Dalam satu dekade terakhir, ajang yang kerap disebut pinnacle of motorsport (puncak dari dunia balapan) itu memang mengalami masa-masa kemuraman.

Di awal musim 2015, FIA melaporkan bahwa F1 telah kehilangan 175 juta penonton televisi hanya dalam waktu enam tahun. Pada 2008, total 600 juta pasang mata menyaksikan aksi Lewis Hamilton mendapatkan gelar juara dunia untuk kali pertama, sementara jumlahnya merosot ke angka 450 juta ketika Hamilton mendapatkan gelar kedua pada 2011.
Di negara-negara Eropa yang merupakan basis penggemar dunia balapan pun terjadi kondisi serupa. Italia yang identik dengan Ferrari, bahkan kehilangan hingga delapan juta penonton siaran langsung F1 hanya dalam periode 13 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aturan-aturan baru coba diterapkan pengelola untuk menarik minat penonton tanpa hasil menggembirakan. Misalnya saja format kualifikasi yang coba diubah pada musim 2016. Alih-alih membuat balapan kian menarik, format baru itu menuai protes dan akhirnya dikembalikan ke aturan awal.

Juara dunia tiga kali, Hamilton, pernah menyatakan bahwa F1 kini telah hilang arah.

Hamilton juga pernah beberapa kali mengungkapan ketidakpuasannya terhadap kondisi Formula 1 saat ini. Hal ini terutama disebabkan saat ini para pebalap sangat jarang menyalip karena kondisi ban yang terlalu mudah aus jika digunakan melaju sekencang mungkin.
Selain itu, perbedaan kemampuan mesin dari satu tim ke tim lainnya juga menyebabkan semakin jarang pebalap tim kecil yang menjadi juara.

Distribusi uang hadiah yang timpang dan menguntungkan tim-tim besar seperti Ferrari dan Mercedes juga memperparah kondisi. Nyaris tak ada kejutan berarti yang bisa ditampilkan tim-tim non-unggulan dalam satu dekade terakhir.

Kegagalan Memasuki Dunia Digital

Salah satu faktor lain yang membuat F1 kehilangan peminat adalah kegagalan mereka menjaring anak-anak muda lewat dunia digital. Ya, di saat keriuhan terjadi di media sosial dan Facebook menjadi salah satu brand paling kuat di dunia, F1 justru jadi olahraga yang paling terlambat untuk memasukinya.

Di bawah Bernie Ecclestone --bos F1 yang telah memimpin selama lebih dari 40 tahun-- ajang balap itu memang lebih difungsikan untuk menarik perhatian orang-orang kaya dunia.

Karena itu, Ecclestone lebih memilih untuk membuka jejaring dengan pemimpin-pemimpin dunia, meski hal itu berarti membawa F1 ke tempat-tempat bermasalah.
Misalnya saja Bahrain atau Aljazair. Ketika terjadi protes besar-besaran soal kondisi hak asasi manusia di negara tersebut, F1 memilih tutup mata dan tetap menggelar balapan di negeri kaya itu. Ecclestone pun dengan nyaman berfoto dengan Vladimir Putin atau sosok-sosok lain yang penuh kontroversi.

Strategi itu pun diakui Ecclestone sendiri bahwa ia tak berminat melayani anak-anak muda.

"Anak-anak muda tahu soal merek Rolex (jam tangan mewah), tapi apakah mereka mampu membelinya? Tidak," ujarnya kepada The Guardian, dua tahun lalu.

"Sponsor kami lainnya adalah UBS (Bank Swiss) -- sementara anak-anak ini tidak peduli dengan perbankan. Mereka bahkan tak punya uang untuk menabung di bank. Itu hal yang ada dalam pikiran saya."

"Saya lebih baik mengincar pria berusia 70 tahun yang punya banyak uang," ucap Ecclestone.

Merombak Total Formula 1

Lembaran sejarah baru F1 akan dimulai di bawah Liberty Media, perusahaan raksasa asal Amerika Serikat. Tak tanggung-tanggung mereka merekrut nama yang memang akrab dengan olahraga dan industri hiburan.

Chase Carey, mantan petinggi eksekutif 21st Century Fox, resmi menggantikan posisi Ecclestone sebagai pemimpin eksekutif. Sementara itu, Sean Bratches, yang pernah menjadi kepala eksekutif media olahraga ESPN akan mengatur sisi komersial, termasuk aspek pemasaran, hak siar, dan juga kerja sama sponsor.

Mantan Direktur Teknik Ferrari dan mantan Kepala Tim Mercedes, Ross Brawn, kebagian mengurusi aspek teknis dan segala sesuatu yang terkait balapan.
Era kepemimpinan Ecclestone pun praktis berakhir ketika dirinya disingkirkan menjadi Presiden Kehormatan.

Di bawah nama-nama pemimpin baru F1, para penggemar akan berharap ajang balapan mobil nomor satu itu kembali ke tempat yang semestinya: mendapat perhatian dunia.

Apalagi Amerika Serikat sendiri terkenal sebagai negara yang paling sukses menggabungkan industri olahraga dan hiburan.

Negeri Paman Sam adalah negara yang melahirkan Superbowl, ajang olahraga yang memiliki slot iklan 30 detik senilai US$4,5 juta. Kedatangan Liberty Media dan berbagai pihak dari Amerika Serikat diharapkan mampu membuat F1 tertular demam yang sama.

Dikutip dari BBC, Liberty Media juga ingin mengembalikan F1 kepada trah yang sebenarnya yaitu dengan pasar Eropa sebagai penyokong utama. Mereka pun lebih ingin menghidupkan kembali trek-trek legendaris Eropa ketimbang meraup untung dari negara-negara kaya bermasalah.
Di sektor balapan, Ross Brawn akan punya tanggung-jawab paling penting mendengarkan para pebalap soal cara-cara untuk membuat balapan lebih menarik.

Perubahan tentu tidak mungkin terjadi dalam semalam. Akan tetapi, satu hal yang bisa disimpulkan, tersingkirnya Ecclestone dan kedatangan Liberty Media membuat Formula 1 kini berada di fase transisi menuju era yang selanjutnya. (har)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER