Jakarta, CNN Indonesia -- Tak banyak yang berubah soal kondisi
sepak bola nasional pada masa
empat tahun era Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo. Namun, masa kepemimpinan pria yang karib disapa dengan Jokowi itu boleh disebut jadi penanda masa berbenah sepak bola tanah air.
Utamanya adalah pembenahan di tubuh
PSSI. 'Kesakralan' induk sepak bola yang selama ini seolah tak bisa tersentuh, termasuk oleh pemerintah, tak berlaku bagi Jokowi.
Sebelumnya, PSSI seperti negara di dalam negara, tak boleh diintervensi pihak manapun termasuk Indonesia. Secara aturan hal itu memang merupakan tabu karena semua asosiasi sepak bola negara-negara anggota FIFA tak boleh diintervensi pihak manapun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungan mereka hanya di antara sesama anggota FIFA, terutama ke induk sepak bola dunia. Namun, cara ini justru jadi tameng bagi sejumlah oknum di PSSI sendiri yang tidak menghendaki perbaikan.
Suara-suara perubahan di tubuh PSSI yang selalu digaungkan seolah redam begitu saja di balik intrik. Upaya pemerintah untuk memberikan 'tekanan' agar segera dilakukan perbaikan, selalu dijawab PSSI bahwa mereka hanya patuh terhadap FIFA.
Jika pemerintah nekat mengintervensi, ancamannya adalah sanksi pembekuan FIFA terhadap PSSI. Rezim pemerintah berganti, Jokowi rupanya punya nyali dan tidak menggubris ancaman tersebut.
Pemerintah seolah membongkar tabu 'kesakralan' PSSI. Melalui Menteri Pemuda Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), pemerintah membekukan PSSI yang kala itu dipimpin La Nyalla Mattalitti.
 Menpora Imam Nahrawi dan La Nyalla Mattalitti saat bertemu di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Senin (17/7). (Dok. Istimewa) |
Surat pembekuan tersebut diteken Imam tepat pada 17 April 2015 atau dua hari sebelum ulang tahun PSSI pada 19 April. Saat itu PSSI juga tengah menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya untuk pemilihan kembali kepengurusan PSSI pusat yang akhirnya kembali memilih La Nyalla secara aklamasi.
PSSI diminta untuk segera memperbaiki tata kelola sepak bola tanah air, termasuk soal kompetisi profesional. Salah satu yang menjadi persoalan klasik adalah klub-klub nakal yang kerap menunggak gaji para pemainnya. Kasus itu selalu terjadi di setiap musim mula kasta tertinggi hingga di bawahnya.
Kembali terpilihnya La Nyalla juga dipersoalkan karena selain dinilai tak ada iktikad untuk melakukan perbaikan sepak bola nasional, statusnya kala itu sebagai tersangka korupsi tak patut memimpin PSSI.
Menyusul kemudian FIFA membekukan PSSI karena dianggap telah diintervensi pemerintah sebagai pihak ketiga. Kompetisi mengalami kevakuman dan Timnas Indonesia tak tampil di sejumlah laga internasional di bawah FIFA hingga setahun lebih sampai sanksi dicabut pada 10 Mei 2016.
Pro dan kontra tentu ada. Namun, Jokowi seolah membuktikan ketegasan dan keberaniannya. Itu sekaligus menjadi pesan awal: jangan pernah mempermainkan pemerintah.
Pemerintah memang memaksa PSSI untuk berbenah, salah satunya dalam mewujudkan sepak bola profesional. Kendati begitu, hingga saat ini masih saja tak jelas arahnya.
PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi yang terpilih pada 10 November tetap tak menunjukkan arah yang jelas. Penunggakan gaji oleh klub kepada sejumlah pemain dan pelatih masih saja terjadi.
 Edy Rahmayadi tetap bersikeras memimpin PSSI meski sudah terpilih sebagai Gubernur Sumut. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bahkan budaya kekerasan di sepak bola semakin menjadi-jadi. Dalam setahun terakhir Save Our Soccer (SOS) mencatat ada sekitar 16 suporter tewas sejak 2015 hingga kematian fan Persija Jakarta, Haringga Sirla, dalam kompetisi Indonesia tahun ini.
Belum lagi persoalan kepemimpinan di PSSI yang sepertinya tak pernah beres. Komitmen Edy Rahmayadi dipertanyakan di PSSI setelah ia memutuskan ikut bertarung di Pilkada Sumatera Utara. Mantan Panglima Kostrad TNI AD itu pun terpilih sebagai Gubernur Sumut.
Purnawirawan jenderal bintang tiga itu bersikeras tetap memimpin PSSI sekaligus mengelola klub PSMS Medan. Tak ada aturan yang melarang rangkap jabatan tersebut, termasuk di FIFA. Tapi secara kepatutan, iktikad Edy melakukan pembenahan sepak bola nasional melalui organisasi yang dijalankannya jadi diragukan publik.
Terbaru kini adalah persiapan Timnas Indonesia yang tak jelas rimbanya. Merah Putih masih belum memiliki pelatih tetap setelah negosiasi untuk memperpanjang kontrak Luis Milla tak ada kepastian.
Pemerintah seperti lepas tangan. Padahal, pembenahan tata kelola sepak bola nasional seperti yang selama ini digaungkan pemerintah masih mandek, tak berjalan semestinya.
Langkah pemerintah dalam melakukan gebrakan awal untuk 'memaksa' PSSI berbenah memang tepat. Kendati begitu, pemerintah tak tuntas dalam memberikan arah pembenahan. Ketegasan dan keberanian saja tak cukup jika misi untuk berbenah tak memiliki arah.
(har)