Keputusan mundur
Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum
PSSI menjadi preseden baik bagi kebobrokan PSSI. Ia memutuskan mundur setelah merasa gagal mengurus induk sepak bola nasional tersebut.
Serentet kasus, mulai dari kekerasan suporter, prestasi melempem
Timnas Indonesia, hingga yang terbaru kasus pengaturan skor di kompetisi tanah air, membuat Edy Rahmayadi terdesak. Belum lagi soal rangkap jabatan dirinya sebagai Ketua Umum PSSI sekaligus Gubernur Sumatera Utara.
Keputusan mantan Pangkostrad ini justru menjadi pembeda mantan-mantan Ketua Umum PSSI sebelumnya, setidaknya dari empat rezim ke belakang. Mereka rata-rata dilengserkan secara paksa dari kursinya.
Edy Rahmayadi mengumumkan mundur pada Kongres PSSI 2019 di Hotel Sofitel. Ia sendiri menegaskan tak ada satu pihak pun yang menekannya sehingga harus lengser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Demi PSSI berjalan dan maju, maka dari itu saya menyatakan hari ini saya mundur dari Ketua PSSI. Dengan syarat, jangan khianati PSSI," kata Edy dalam pidato yang kemudian disambut dengan teriakan tunggal takbir dari salah seorang pemilik suara di kongres tersebut.
Edy kemudian menyerahkan kekuasaan tertinggi sepak bola Indonesia ke Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono. Untuk sementara, Joko memimpin PSSI dengan status Pelaksana Tugas (Plt) Ketum PSSI.
 Edy Rahmayadi dan Joko Driyono berjabat tangan pada Kongres PSSI di Bali, Minggu (20/1). (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana) |
Sementara perwakilan Asosiasi Provinsi (Asprov), klub Liga 1, klub Liga 2, klub Liga 3, dan Asosiasi Futsal sebagai pemilik suara PSSI bertepuk tangan. Sebagian besar bersorak girang terhadap keputusan Edy tersebut. Seakan-akan PSSI baru saja lepas dari sosok diktator.
Padahal, kebobrokan PSSI bukan soal Ketua Umum semata. Posisi itu malah setitik dari karut-marut organisasi sepak bola tanah air tersebut.
Masalah sengkarut sepak bola Indonesia begitu kronis ke akar-akarnya. Jika bicara kebobrokan PSSI, kerusakannya banyak tersebar di kepengurusan daerah maupun klub-klub.
Tengok saja kasus pengaturan skor yang kini tengah dibedah Satgas Anti Mafia Bola Kepolisian Republik Indonesia dengan mayoritas 'pelaku' berasal dari daerah. Sudah banyak pula selentingan, termasuk dari rekan-rekan wartawan yang mengatakan orang-orang lama yang tak kalah bobroknya masih begitu kuat bercokol di PSSI.
Tak ada hujatan dan sorakan mengejek, mundurnya Edy Rahmayadi justru disambut apresiasi sejumlah anggota PSSI. Ketua Asprov PSSI Nusa Tenggara Timur, Gabriel Suku Kotan, misalnya. Pria asal Kupang tersebut menilai itu sebagai pilihan yang paling bijak.
"Luar biasa, bagi saya ini jadi contoh. Mendatang, jangan ada [situasi] yang seperti ini lagi di PSSI. Kongres di Bali ini menjadi kebangkitan PSSI," ucap Gabriel.
"Kalau ada lagi, sama saja. Retorika. Padahal kepemimpinan [Edy] sisa satu tahun, apalah artinya satu tahun? Tapi tetap patut diteladani [keputusan Edy untuk mundur]," ucapnya menambahkan.
Edy resmi dilantik sebagai Ketua Umum PSSI pada 10 November 2016 dengan masa jabatan empat tahun. Itu berarti, sebetulnya masa jabatan dia resmi selesai pada 2020.
Meski lengser lebih cepat, keputusan Edy juga dinilai Gabriel sebagai langkah yang kesatria.
 Edy Rahmayadi hanya bertahan kurang dari tiga tahun di kursi ketua umum PSSI. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana) |
"Bagi saya, dengan sisa jabatan Edy yang setahun ini, kami tidak ingin ada KLB [Kongres Luar Biasa]. Lebih baik Pak Joko [melanjutkan] sampai akhir kepemimpinan Pak Edy," katanya.
Senada dengan Gabriel, Ketua Asprov PSSI DI Yogyakarta Bambang Kuncoro mengatakan pengunduran diri Edy sebagai jawaban atas kritik soal rangkap jabatan yang menjadikan Edy jadi sulit fokus sebagai kepala daerah. Ia kemudian memperingatkan Joko Driyono mengenai tantangan yang akan diemban selama menjadi Plt. Ketum PSSI.
"Pak JD [Joko Driyono] meski sudah lama di PSSI dan sebagai Waketum, mestinya banyak tahu permasalahan-permasalahan di PSSI. Namun adanya beberapa oknum PSSI yang sangat dominan bahkan memiliki pengaruh besar di PSSI akan membuat sulit beliau membenahinya. Tuntutan komitmen tinggi untuk membuka seluruh perilaku buruk selama ini merupakan tugas pertama beliau," ujar Bambang.
"Kemudian baru menata kembali PSSI berdasar profesional, sportivitas, sinergi, dan pentingnya integritas. Asprof DIY merasakan dampak dari perilaku buruk [PSSI]," ucap Bambang.
Baca lanjutan tulisan ini dengan mengklik tautan berikut: Statuta PSSI, Tantangan, dan Kriteria Ketua Umum PSSI
Statuta PSSILangkah Edy menunjuk Joko sebagai Plt. Ketua Umum sesuai dengan Statuta PSSI pasal 39 ayat enam yang berbunyi: "Apabila Ketua Umum tidak ada atau berhalangan, maka Wakil Ketua Umum dengan usia tertua akan menggantikannya."
PSSI hanya memiliki satu orang Wakil Ketua yakni Joko. Sedangkan Iwan Budianto sudah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua Umum II sejak 27 Januari 2017. Jabatan Iwan berubah menjadi Kepala Staf Ketua Umum karena Edy menilai tidak lazim PSSI memiliki dua orang Wakil Ketua Umum.
Jabatan Joko sebagai Plt Ketum PSSI sekitar setahun saja sebelum Kongres Luar Biasa untuk memilih Ketum PSSI periode berikutnya. Namun, masa itu bisa lebih singkat jika ada kehendak dari para anggota PSSI.
Exco PSSI harus mengadakan KLB jika 2/3 dari jumlah anggota membuat permohonan tertulis. Permintaan ini harus mencantumkan agenda yang akan dibicarakan. KLB harus diadakan dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya permintaan tersebut.
Apabila KLB tidak diadakan, anggota yang memintanya dapat mengadakan kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, anggota bisa meminta bantuan dari FIFA. Namun apabila KLB diadakan atas inisiatif Exco, maka Exco harus menyusun agenda kongres.
"Pemilihan Ketua Umum baru ini ada mekanisme. Insiatif KLB bisa dijaring dari keinginan voters atau inisiatif Exco. Jika dimohonkan KLB, maka KLB harus jalan. Saya memiliki tugas untuk meneruskan sampai kongres berikutnya," tutur Joko.
"Jika ada keinginan pengisian Ketua Umum, tentu PSSI akan menjalankan [KLB]. Seluruh Exco dan peserta kongres memahami bahwa inisiatif ini telah diatur dalam statuta dan biarkan ini [wacana untuk KLB] mengalir secara natural," tuturnya kembali.
TantanganEdy Rahmayadi mundur di tengah sepak bola Indonesia diterpa kasus pengaturan skor yang menjerat sebagian besar pengurus dan mantan pengurus PSSI.
Hingga saat ini, Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Bola bentukan Badan Reserse Kriminal dari Kepolisian Republik Indonesia sudah menetapkan enam orang sebagai tersangka yakni anggota Exco PSSI Johar Lin Eng; eks anggota Komite Wasit Priyanto; anak Priyanto [Anik Yuni Artika Sari], anggota Komisi Displin PSSI, Dwi Irianto alias Mbah Putih; wasit bernama Nurul Safarid, dan anggota Direktorat Wasit PSSI Mansyur Lestaluhu.
 Johar Lin Eng sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengaturan skor. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sementara terkait kasus yang melibatkan Kepala Staf Ketua Umum PSSI Iwan Budianto atas dugaan suap penunjukan tuan rumah babak 8 besar Piala Soeratin 2009, Karopenmas Polri Dedi Prasetyo menyebut masih mendalami kasus tersebut dengan meminta keterangan dari para saksi. Saat ini, Satgas Anti Mafia Bola Polri telah meningkatkan kasus dugaan suap itu dari penyelidikan ke penyidikan.
Polisi mengungkapkan Iwan Budianto yang juga Chief Executive Officer (CEO) Arema FC berpotensi menjadi tersangka. Kala itu Iwan yang menjabat sebagai Ketua Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI) disebut meminta uang sebesar Rp140 juta kepada manajer Perseba Super Bangkalan Imron Abdul Fattah agar ditunjuk menjadi tuan rumah babak 8 besar Piala Soeratin 2009.
Satgas terus bergerak memberantas para oknum di PSSI. Bahkan mereka berjanji akan menangkap nama besar usai kongres tahunan tersebut.
Pemikiran tantang 'Semakin cepat Edy diganti, semakin cepat PSSI diperbaiki,' bisa jadi salah. Karena ketiadaan Edy tidak menjamin PSSI sudah bersih dari noda-noda berat. Tertangkapnya sejumlah pejabat PSSI membuktikan persoalan di induk sepak bola Indonesia tersebut sangat mengakar kusut.
Entah apa cerita di belakang layar. Yang jelas, publik apalagi suporter Indonesia sampai sekarang percaya masih ada penyakit kronis dalam tubuh PSSI.
Menyoal KriteriaLantas timbul pertanyaan kira-kira seperti apa kriteria Ketua Umum PSSI selanjutnya? Sosok seperti apa lagi yang pantas menjabat di sana?
Target mendatang harus jelas. Sedikitnya ada beberapa kriteria pokok. Yang pertama sudah tentu sosok yang mengerti luar dan dalam sepak bola Indonesia. Tidak hanya mengerti kondisi sepak bola dalam empat tahun belakangan, tapi bahkan satu atau bahkan dua dekade terakhir.
Kedua, tidak rangkap jabatan. Kegagalan Edy dalam mencapai sejumlah target selama masa jabatannya sudah cukup meyakinkan insan sepak bola bahwa jabatan Ketua Umum PSSI tanpa ada pekerjaan lain seperti gubernur.
Selain itu Ketua Umum PSSI yang ideal mesti memiliki rekam jejak yang bersih terutama dalam hal finansial. Lalu tidak memihak pada siapapun dan mau membangun sepak bola Indonesia dengan sungguh-sungguh serta niat baik.
Apakah Joko Driyono sosok yang ideal untuk jabatan tertinggi PSSI?
Harus diakui Joko bukan sosok yang asing dan pengalamannya dalam dunia sepak bola Indoneisa patut diapresiasi. Pemilik saham mayoritas klub Persija Jakarta ini salah satu orang yang paling lama berada di PSSI.
Dalam kariernya yang ia sudah lakukan hampir 30 tahun di PSSI, Joko Driyono telah merasakan enam Ketua Umum yang berbeda. Mulai dari Azwar Anas (1991-1999), Agum Gumelar (1999-2003), Nurdin Halid (2003-2011), La Nyalla Mattalitti (2015-2016), dan Edy Rahmayadi (2016-2019).
 Timnas Indonesia menjadi salah satu produk akhir dalam kepengurusan PSSI. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Joko sempat menyandang dua jabatan dalam sepak bola yakni CEO PT Liga Indonesia Baru sekaligus Sekjen PSSI pada 2013. Saat jadi Waketum PSSI, ia juga ditunjuk sebagai Wakil Ketua AFF pada 2017.
Meski demikian melalui rekam jejaknya itu pula, Joko juga tak bisa dilepaskan dalam kebobrokan PSSI saat ini. Sebuah dilema, namun pembenahan memang harus total, tak bisa lagi parsial!