Jakarta, CNN Indonesia -- Selama 37 tahun digelar, baru tujuh kali turnamen badminton
Indonesia Open dilaksanakan di luar
Istora Senayan, Jakarta. Pihak penyelenggara tak punya pilihan lain selain Istora sebagai lokasi penyelenggaraan.
Sejak kali pertama digelar pada 1982, Indonesia Open pernah berlokasi di Bandung pada 1991. Kemudian di Semarang (1992), Yogyakarta (1994), Surakarta (1997), Denpasar (1999), Surabaya (2002), Batam (2003) dan kembali ke Surabaya pada 2006.
Antusias tinggi dari pecinta badminton Tanah Air serta tuntutan dari sponsor membuat Indonesia Open belakangan selalu digelar di Istora Senayan, Jakarta, yang punya kapasitas cukup besar untuk menampung penonton. Meski sempat sekali berpindah ke Jakarta Convention Center (JCC) pada 2017 ketika Istora direnovasi untuk menyambut Asian Games 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panitia Penyelenggara (Panpel) seolah tak punya pilihan lain selain Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan. Selain minimnya fasilitas venue berkapasitas besar, transportasi juga jadi alasan kenapa Indonesia Open tidak digelar di luar Jakarta.
 Istora GBK kembali menjadi arena Indonesia Open. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
"Kita memang berharap pemerintah bisa memfasilitasi satu venue yang lebih representatif walaupun ini [Istora Senayan] juga sudah cukup baik. Tapi melihat animonya dari waktu ke waktu juga bertambah, rasanya Istora sekarang menjadi terlalu sempit buat event-event seperti ini," ucap Ahmad Budiharto yang menjabat Ketua Panpel Indonesia Open 2019 kepada CNNIndonesia.com.
Jika dibandingkan dengan negara-negara penyelenggara lain, Istora Senayan memang jauh lebih kecil dari segi venue. Meski dari sisi hadiah tahun ini Indonesia Open menjadi yang paling besar di antara turnamen bulutangkis level Super 1.000.
Budi menyebut Malaysia punya Bukit Jalil yang venuenya jauh lebih besar. China bahkan hampir semua provinsinya punya sports hall mewah untuk menyelenggarakan event bergengsi.
"Ini memang jadi tantangan dan kami berharap, mengimbau kepada pemerintah mudah-mudahan tergerak untuk memfasilitasi kebutuhan atlet bulutangkis atau olahraga yang lain dengan venue yang lebih memadai," ucap Budi.
Opsi pindah venue sebenarnya, lanjut Budi, terbuka. Apalagi moda transportasi yang saat ini dianggap sudah jauh lebih baik. Namun, ada hal lain yang membuat pindah venue untuk gelaran Indonesia Open urung dilaksanakan.
Pertama, sponsor yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan menginginkan event besar seperti Indonesia Open berada di pusat kota. Kedua, penyelenggara sudah membuat kontrak sewa di Istora Senayan sampai 2020 mendatang.
Sebagai informasi untuk bisa menggunakan Istora Senayan sebagai venue Indonesia Open 2019 selama satu pekan, penyelenggara merogoh kocek sekitar Rp3 miliar untuk uang sewa. Jumlah itu termasuk uang jaminan kerusakan sekitar Rp700 juta.
"Memang menjadi satu dilematis [pindah ke luar Jakarta], karena biasanya sponsor menghendaki kota-kota yang potensi dengan pihak sponsor, itu kendalanya. Kecuali, kalau nanti satu ketika anggaran pemerintah sudah lebih baik bisa mendukung event seperti. Semoga ini didengar pemerintah," ungkap Budi.
Budi juga mengaku kesulitan bila harus memindahkan arena di lokasi lain di area Jakarta yang punya kemungkinan daya tampung lebih besar seperti JIExpo Kemayoran.
"Sebagai gambaran setting, membuat [layout] seperti Istora tidak gampang. Misal di Kemayoran, kalau tidak difasilitasi tempat duduk [tribune penonton] biaya jadi lebih besar. Kecuali kalau pemerintah oke, semua didukung," ucap Budi.
(ttf/ptr)