Jakarta, CNN Indonesia -- Usia sejumlah para pesepakbola naturalisasi yang tak lagi muda jadi fakta menggelitik atas proses
pemain naturalisasi belakangan ini.
Terlebih melihat kenyataan lebih dari 20 pesepakbola ekspatriat banyak yang berujung sia-sia jika muaranya demi kepentingan
Timnas Indonesia.
Terdapat setidaknya ada delapan pemain yang dikabarkan tengah menjalani proses untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, sebagian besar usianya sudah tak lagi muda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebut saja Otavio Dutra, Yoo Jae Hoon, dan Fabiano Beltrame yang sudah 36 tahun. Shohei Matsunaga dan Silvio Escobar sudah 30 dan 33 tahun.
Bahkan, pemain Sriwijaya FC eks Persib Bandung Hilton Moreira sudah memasuki 38 tahun dan baru menjalani naturalisasi.
 Hilton Moreira sudah 38 tahun berstatus WNI. (CNNIndonesia.com/Jun Mahares) |
Hanya Marc Klok, gelandang PSM Makassar, yang saat ini masih 26 tahun menjalani proses naturalisasi.
Tambah menggelitik lagi fakta bahwa Dutra yang kini bermain di Persebaya Surabaya pernah satu lapangan dengan sejumlah legenda Brasil yang kini sudah pensiun. Mereka adalah Kaka dan Ronaldinho.
"Ketika saya masih pemain dari Corinthians, saya main lawan Kaka. Dia di Klub Sao Paulo," kata Dutra kepada CNNIndonesia.com.
"Ronaldinho dari klub Gremio dan lain-lain, karena umur kita semua hampir sama. Jadi kami main di liga Brasil."
Ketika dua pemain itu sudah gantung sepatu, Dutra masih tercatat sebagai pesepakbola profesional di Persebaya. Kini malah mantan bek Bhayangkara FC itu tengah menjalani naturalisasi.
 Otavio Dutra bersama anak dan istri di Gedung Nusantara I DPR RI (24/7). (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama) |
Sudah puluhan nama pemain yang pernah berstatus asing kini menyandang WNI. Di antara nama-nama tersebut bahkan ada yang tak pernah bermain untuk Timnas Indonesia.
Sebut saja Guy Junior, Herman Dzumafo, Silvio Escobar, Osas Saha, Zoubairou Garba, Paulo Benson, OK John Kughegbe, Bruno Casimir, Mahamadou El Haji, dan Ruben Wuarbanaran, belum pernah merasakan main di skuat Garuda meski sudah berpaspor WNI.
Beberapa nama pernah memperkuat Merah Putih, namun hanya sebentar. Sebut saja ada nama Victor Igbonefo, Jhon van Beukering, Tonnie Cusell, dan Serginho van Dijk, dan Kim Jeffrey Kurniawan.
Sementara nama-nama macam Christian Gonzales, Beto Goncalves dan Stefano Lilipaly, lumayan memiliki jam terbang di skuat Garuda.
Satu kesamaan fakta pesepakbola naturalisasi. Mereka menjadi WNI dalam usia yang relatif gaek sehingga sulit mendapat tempat di Timnas Indonesia.
Padahal, semangat awal naturalisasi sejatinya demi mendatangkan manfaat di Timnas Indonesia. Kenyataannya, PSSI ibarat mendapatkan alat-alat perang dari luar negeri, namun sudah termakan usia.
Terlebih, baru diketahui ramai-ramai pemain asing ini banyak disponsori oleh klub-klub utamanya di Liga 1. Kegigihan klub melakukan naturalisasi demi keuntungan mereka sendiri.
"Untuk prestasi jangka pendek, banyak yang ngakalin [lewat naturalisasi]. Kalau kami [Bali United] berpikirnya jangka panjang. Sekarang sudah ada sekolah elite akademi dan itu bagian dari proses pembinaan jangka panjang kami," kata Pemilik Bali United Pieter Tanuri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/7).
Dengan memuluskan naturalisasi, klub-klub tersebut bisa menambah lagi kekuatan di luar kuota jumlah pemain asing empat plus satu penggawa Asia. Dengan demikian, gengsi mereka terjaga di kompetisi kasta tertinggi.
Secara undang-undang memang warga negara asing bisa mendapatkan hak menjadi WNI jika sudah bertempat tinggal paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2006.
 Stefano Lilipaly salah satu pemain naturalisasi andalan di Timnas Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain itu, ada sejumlah pengecualian proses naturalisasi bagi mereka yang belum memenuhi syarat itu yakni jika berjasa untuk Indonesia. Memperkuat Merah Putih pun ditafsirkan sebagai upaya untuk berjasa di Indonesia. Celah ini pula yang tampaknya dimanfaatkan sejumlah pelaku sepak bola nasional untuk kepentingan mereka sendiri.
Bagaimana PSSI selaku induk sepak bola tanah air melalui operator kompetisi profesional memecahkan masalah ini?
Operator sebenarnya bisa sedikit berinovasi dalam regulasi mereka. Aturan mengenai status pemain asing atau lokal di kompetisi domestik Tanah Air misalnya.
PSSI bisa membuat regulasi mengubah pemain asing tersebut memiliki semacam lisensi berstatus setara pemain lokal misalnya.
Penyetaraan itu pun sebatas status mereka di kompetisi, meski masih berstatus WNA. Perubahan status itu bisa melalui syarat jika pemain itu sudah bermain selama lima sampai 10 tahun di kompetisi domestik Indonesia misalkan.
Meski berstatus setara pemain lokal, tak lantas hak mereka sama dengan WNI. Pajak maupun administrasi yang harus mereka tunaikan tetap sebagai WNA.
Dengan demikian, klub-klub tak perlu ramai-ramai mendorong naturalisasi pemain asing yang pada akhirnya tak memberikan faedah di Timnas Indonesia.
Persoalannya yang bisa muncul memang jika sang pemain harus membela klubnya pada laga-laga level Asia seperti Liga Champions Asia atau Piala AFC. Para pemain ekspatriat yang secara regulasi kompetisi domestik sudah disetarakan pemain lokal, tak serta merta berstatus pemain lokal dalam arti hasil naturalisasi.
Alhasil, beberapa dari mereka bakal tak bisa dimainkan jika klub yang bersangkutan itu memiliki jumlah pemain berstatus WNA melebihi jumlah kuota maksimal. Meski demikian, klub tentu sudah harus punya perencanaan matang mereka-mereka yang harus didaftarkan sebagai pemain asing di kompetisi level Asia tersebut.
(jun)