Jakarta, CNN Indonesia -- Kericuhan demi kericuhan kerap mewarnai
Liga 1. Belum memasuki paruh musim,
Liga 1 2019 bahkan acap kali diwarnai kisruh di lapangan hingga rusuh yang melibatkan suporter.
Terbaru adalah insiden laga
Persela Lamongan vs Borneo FC di Stadion Surajaya Lamongan, Senin (29/7).
Keputusan wasit Wawan Rapiko memicu kekisruhan antara pelatih, staf, dan pemain dua tim tersebut. Keributan itu berawal dari aksi kiper Persela, Dwi Kuswanto, menanduk kepala pemain Pesut Etam Wahyudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tepatnya saat laga memasuki masa
injury time ketika kiper Dwi menangkap bola mengantisipasi umpan sepak pojok. Skor saat itu 2-1 untuk keunggulan tuan rumah Persela.
Dalam kondisi memegang bola di kotak penalti, Dwi Kuswanto menanduk Wahyudi. Momen tersebut menimbulkan keributan dan Wawan memutuskan mengeluarkan kartu merah dari sakunya untuk kedua pemain.
Tak sampai di situ. Para pemain mengerubunginya menunggu keputusan Wawan apakah memberikan penalti atau tidak. Masing-masing pihak pun silih berganti melakukan protes. Kubu Borneo meminta Wawan memberikan penalti, sementara Persela menganggap tak perlu ada penalti.
Setelah sempat mencoba menenangkan masing-masing pemain dua tim itu, Wawan menunjuk titik putih tanda hadiah penalti untuk Borneo.
Sontak, tuan rumah semakin sengit melakukan protes karena mereka menilai pelanggaran tersebut tak seharusnya diganjar penalti.
Sang pelatih, Nilmaizar, bahkan terlihat mempertanyakan keputusan wasit. Ia sempat terlibat cekcok dengan salah satu pemain Borneo ketika wasit mencoba menenangkannya.
 Kericuhan terjadi pada laga antara Persela vs Borneo memprotes keputusan wasit. (ANTARA FOTO/Syaiful Arif) |
Inti dari protes itu, mereka menilai sang pengadil lapangan tak memiliki dasar aturan memutuskan penalti untuk tim tamu. Pihak Persela menganggap bola sudah di tangan Dwi saat kiper itu menanduk Wahyudi.
Asumsinya adalah pelanggaran terjadi ketika permainan sedang tidak aktif. Pasalnya, mereka menilai situasi tidak dalam perebutan bola atau posisi sang kiper tidak dalam menggagalkan kans pemain lawan ketika melakukan pelanggaran.
Atas dasar keyakinan itu pula, keputusan wasit menuai protes sengit. Sang pengadil lapangan dianggap salah dalam melakukan 'vonis' tidak sesuai aturan.
Kenyataannya justru keputusan sang wasit tepat jika mengacu pada Law of The Game IFAB atau Peraturan Permainan IFAB. Ya, Wawan memiliki dasar yang kuat dalam memberikan penalti untuk Borneo.
Berdasarkan peraturan pertandingan dari Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB) 2018/2019, Wawan melakukan keputusan yang tepat. Berdasarkan Pasal 4 regulasi 'Fouls and Misconduct'
Law of the Game IFAB, wasit bisa memberikan tendangan penalti jika ada pemain yang melakukan '
violent conduct'.
 Persela vs Borneo berakhir imbang 2-2. (ANTARA FOTO/Syaiful Arif) |
"Jika bola dalam permainan dan pemain melakukan pelanggaran di dalam bidang permainan terhadap lawan, permainan akan dilanjutkan dengan tendangan bebas tidak langsung atau langsung atau tendangan penalti," tulis
law of the game IFAB 2018/2019 pada halaman 109.
Dwi Kuswanto jelas melakukan
violent conduct yang dalam peraturan IFAB disebut sebagai: "Ketika pemain menggunakan atau berusaha menggunakan kekuatan berlebihan atau kebrutalan terhadap lawan bukan untuk tujuan merebut bola."
Dijelaskan pula dalam artikel lain peraturan itu yakni Artikel 9 Pasal 1 soal kondisi permainan aktif (
play on) atau tidak.
"Bola telah sepenuhnya melewati garis gawang atau garis lapangan di tanah atau di udara atau permainan telah dihentikan oleh wasit," demikian disebutkan dalam pasal itu jika permainan dalam kondisi tidak aktif.
Sampai di sini seharusnya keputusan wasit sudah jelas. Tetap saja, keputusan-keputusan wasit justru kerap menimbulkan kekisruhan di Liga 1.
Tak bisa dimungkiri, memang masih terdapat keputusan kontroversial dari wasit-wasit di Liga 1 musim ini. Namun bukan hanya itu pangkal keributan yang kerap menodai kompetisi profesional tanah air.
Yang menjadi masalah serius terletak pada stok pengetahuan para pelaku kompetisi di Indonesia yang minim perihal
Law of The Game. Celakanya, para pemain, pelatih, dan manajer klub yang justru tidak banyak memahami pasal demi pasal Peraturan Permainan, bahkan yang paling dasar sekali pun.
 Nilmaizar mempertanyakan keputusan wasit memberikan penalti untuk Borneo. (Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) |
Kericuhan laga Persela vs Borneo tersebut lagi-lagi menyibak sebuah kenyataan buruknya para pelaku utama kompetisi profesional di Indonesia.
Padahal, pemahaman peraturan permainan bisa dibilang bagian terpenting dari sebuah pertandingan resmi.
Di sisi lain, mereka-mereka yang terlibat dalam pertandingan sejatinya menjadi contoh di lapangan. Situasinya menjadi tak terkendali ketika pemain, pelatih, atau ofisial tim yang kurang mengetahui secara lengkap tetap saja bersikeras bahwa pendapatnya yang benar.
Alhasil, tensi itu merambat hingga menjadi kericuhan. Lebih parah lagi bisa meluas menjadi kerusuhan suporter yang terpancing dari tribune stadion.
Tak bisa disangkal, buta peraturan kerap menjadi pangkal keributan!
Sudah waktunya pula PSSI melalui perangkat terkait mewajibkan kursus pendalaman modul Law of The Game IFAB kepada semua pelaku kompetisi. Dengan pendekatan ini pula diharapkan bisa membantu mengurangi salah satu potensi kerusuhan dalam sebuah pertandingan.
(bac/jun)