Jakarta, CNN Indonesia -- Jadi
petenis top dunia saya kira impian untuk mereka yang sejak kecil memainkan olahraga ini. Tapi jangan dikira bisa berada di jajaran petenis elite itu mudah. Butuh perjuangan keras, disiplin, dan ketekunan untuk meraihnya.
Semasa aktif saya pernah menembus hingga ranking 19 dunia. Lolos hingga perempat final
Wimbledon 1997 di nomor tunggal dan pernah melangkah sampai semifinal US Open di nomor ganda tahun 1993.
Belum lagi sumbangsih empat emas di Asian Games 1986, 1990, dan 1998. Satu emas saya raih dari nomor ganda putri di Asian Games 1986, dua emas di Beijing 1990, dan terakhir di Asian Games Bangkok 1998.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beragam prestasi yang saya raih itu memberikan kebanggaan tersendiri, tetapi yang harus diingat saya bisa meraih semuanya dengan pengorbanan yang luar biasa besar.
Saya masih ingat betul bagaimana sulitnya tampil di Wimbledon, bahkan untuk sekadar dapat waktu latihan yang cukup di lapangan. Cerita awalnya saya hanya sampai babak ketiga di Wimbledon 1991 tetapi di empat edisi berikutnya saya bikin heboh karena selalu lolos hingga babak keempat.
 Yayuk Basuki pernah menempati ranking ke-19 petenis putri papan atas dunia. (AFP PHOTO / TORSTEN BLACKWOOD) |
Di Wimbledon 1992, saya bisa mengalahkan petenis Jerman yang masuk ranking 10 dunia Anke Huber di babak ketiga. Saya pun langsung disebut-sebut salah satu pemain yang konsisten waktu itu.
Tahun pertama setelah lolos ke babak keempat, nama saya masih asing di telinga mereka. Begitu tahun kedua dan ketiga saya konsisten lolos ke tahap yang sama, pengakuan itu baru datang. Kerja keras saya di lapangan pada akhirnya membuahkan hasil.
Saya masih ingat jawaban pihak panitia Wimbledon saat meminta waktu latihan di tahun pertama setelah bisa menembus babak keempat. Mereka katakan "Kamu hanya bisa latihan sekali dalam sehari dan hanya satu jam".
Dalam hati saya bicara, "Kan ada 18 lapangan, masa saya cuma dikasih satu jam". Saya cari akal supaya bisa latihan lebih lama. Solusinya adalah cari teman berlatih dari 18 lapangan itu, siapa tahu ada yang butuh. Pokoknya saya siap saja dan selama dua tahun saya terus melakukan itu.
Baru di tahun ketiga mereka tahu nama saya Yayuk Basuki dan bilang "Oke bu, mau latihan berapa jam?". Saya bisa memaklumi sikap mereka karena memang kita harus beri bukti untuk dapat respek dan agar mereka mau melirik kita. Apalagi itu orang asing.
Banyak juga cibiran yang diarahkan ke saya malah sampai ada yang bertanya apakah di Indonesia ada lapangan rumput karena mereka agak heran melihat hasil saya selalu bagus di lapangan semacam itu. Saya hanya balas cibiran dengan prestasi di lapangan. Mengalahkan mereka agar muncul respek dan ujung-ujungnya mereka justru meminta kita jadi rekan di lapangan.
 Yayuk Basuki berjuang keras untuk menancapkan kukunya sebagai petenis top dunia. (Dok. Istimewa) |
Pernah suatu hari saya dua kali mengalahkan petenis yang pernah jadi nomor satu di Inggris Jo Durie. Setelah itu pelatihnya mendekati saya dan mengajak untuk main di nomor ganda bersama Jo di
American Season.
Saya bilang oke saja dan saya tanya "Kenapa Jo sekarang mau main dengan saya?". Pelatihnya bilang, "Kamu pemain bagus jadi kami mau main sama kamu". Saya hanya jawab singkat "oke" waktu itu. Sekali-kali sikap angkuh itu dibutuhkan.
Prestasi yang saya ukir di Wimbledon memang paling berkesan karena ada banyak drama di sana. Selain prestasi di pentas elite tenis dunia, saya juga punya banyak momen yang tidak kalah berkesan saat membela negara di berbagai ajang. Di Asian Games 1986, saya dan Suzanna Anggarkusuma jadi satu-satunya penyumbang medali emas untuk Indonesia.
Namun dari sekian banyak prestasi itu, medali emas Asian Games 1998 boleh dikatakan paling spesial. Pertama karena saya meraihnya dari nomor tunggal di saat saya sebenarnya sudah fokus di nomor ganda setelah partisipasi terakhir di Wimbledon 1998. Belum lagi permasalahan yang saya alami dengan PB Pelti pada masa itu.
Sekitar 1997 saya bermasalah dengan Ketua Umum PB Pelti Sarwono Kusumaatmadja, tepatnya setelah Indonesia mengalahkan Taiwan di Selandia Baru dari Grup I zona Asia Oseania dan lolos ke play off Grup Dunia II.
Saya rela melewatkan tiga turnamen tier satu demi membela Indonesia di Fed Cup Selandia Baru dan kami pun berhasil lolos ke grup dunia. Di babak
play off, Indonesia akan bertemu Italia dan kami bertindak sebagai tuan rumah. Di Italia, Indonesia pernah menang 3-2 dan dua poinnya datang dari saya melalui nomor ganda dan tunggal di lapangan gravel yang membuat gigi saya hampir patah karena raket saya jatuh dan mengenai mulut.
 Yayuk Basuki berdiri di podium juara usai meraih medali emas Asian Games 1998. (AFP PHOTO/Torsten BLACKWOOD) |
Anehnya asosiasi malah memilih main di gravel padahal mereka tahu lapangan terbaik saya hardcourt. Saya waktu itu sedang ada di Inggris dan tahu kabar ini dari petenis top Italia Silvia Farina Elia. Dia bilang "Yayuk, jadi kita main di clay ya? Asosiasi kamu memilih main di clay," kata Farina dengan logat Italianya yang kental.
Saya bilang gila ini sambil melihat ke arah suami saya, Hary Suharyadi. Saya kenal baik sama orang ITF, yaitu Sekjennya Debby Jevans. Saya waktu itu lantas bertanya dan mencari saran dari Debbie tetapi saya dituding ingin memengaruhi agar ITF mengganti lapangan. Padahal kan jelas yang bisa mengganti lapangan hanya PB Pelti. Saya paham itu dan konteks saya hanya bertanya.
Masa-masa itu hampir tiap pagi ada fax yang datang dan entah pekerjaan siapa. Mereka bilang Yayuk Basuki tukang kasak-kusuk dan berbagai tuduhan lain. Saya pikir ini gila karena saya sekian puluh tahun main buat Indonesia, tanpa embel-embel apa pun, tanpa uang satu sen pun.
Setelah pulang dari tur Eropa, Sekjen PB Pelti mendatangi rumah saya dan membujuk saya agar mau membela Indonesia di ajang Fed Cup. Terus terang saya menangis waktu itu. Saya bilang "Oke saya mau main di gravel tapi pelatihnya Suzanna". Padahal waktu itu saya enggak akur sama Suzanna tapi saya tahu dia yang paham karakter lapangan gravel dan dia mengenal dengan baik permainan petenis Italia.
Permintaan itu dituruti hanya saja saya diminta untuk patuh saat asosiasi menunjuk pelatih laki-laki. Saya heran bagaimana bisa pelatih laki-laki yang tidak tahu pemain putri bisa dipilih. Akhirnya tidak ada titik temu antara saya dan asosiasi sehingga saya tidak ikut ambil bagian di tim Fed Cup dan memilih pergi ke Bali.
Hasilnya Indonesia kalah telak, digunduli 0-5 oleh Italia. Saya sebetulnya frustrasi dengan kejadian itu tetapi masalah saya itu coba saya jadikan motivasi untuk bertanding. Hasilnya saya malah bisa mengukir prestasi terbaik di Wimbledon dengan lolos sampai perempat final.
Begitu tampil di Asian Games 1998 Bangkok, di final saya bukan hanya melawan Tamarine Tanasugarn tetapi juga seisi stadion karena menghadapi wakil tuan rumah. Waktu itu saya hanya unggulan keempat, sedangkan Tamarin unggul pertama di Asian Games 1998. Untungnya kepercayaan diri saya sangat tinggi dan di final segalanya lebih mudah karena lawan paling berat memang Li Fang di semifinal.
Saya kemudian pensiun 2004, namun sekitar awal 2008 memutuskan kembali aktif bermain. Saya mulai semuanya dari nol lagi. Saking gilanya saya sampai menjual habis mobil agar saya bisa kembali ke level terbaik.
Alasan saya kembali waktu itu hanya ingin memotivasi dan memberi contoh petenis yang lebih muda. Saya mau menginspirasi mereka untuk bekerja lebih keras mengejar prestasi.
Ayah saya sangat lekat dengan olahraga. Dulu beliau sempat main sepak bola cuma enggak sampai skala nasional, levelnya hanya sampai di PON. Ayah saya kemudian beralih ke tenis meja dan juga bisa main di PON hingga akhirnya jadi polisi.
Di kepolisian setiap anggota yang pangkatnya perwira wajib bisa main tenis dan itulah cerita awal saya dan kakak-kakak saya mengejar karier sebagai petenis.
Saya mengenal olahraga ini saat masih berusia empat atau lima tahun. Awalnya saya sebagai anak bungsu hanya melihat kakak-kakak saya latihan di lapangan samping rumah tetapi pada akhirnya saya jatuh cinta dengan tenis.
Sekitar umur tujuh tahun, saya pelan-pelan mulai latihan. Mulanya berlatih saja memukul bola ke arah tembok hingga akhirnya ayah mulai rutin melatih saya setelah beliau pulang dari kantor.
Dulu raket tenis itu berat karena terbuat dari kayu, tidak seperti sekarang. Tidak banyak juga merek raket tenis. Karena saya masih kecil saya sampai harus membawa raket dengan cara menyeret karena memang berat. Tetapi hal itu tidak jadi halangan buat saya.
 Yayuk Basuki mendapatkan gemblengan keras dari sang ayah untuk jadi petenis besar. (Dok. Istimewa) |
Bakat saya makin terasah saat dilatih ayah meski tak bisa dimungkiri beliau termasuk sosok yang keras dalam melatih. Mungkin karena beliau punya latar belakang seorang polisi.
Saya berhasil meraih gelar pertama saat mengikuti kejuaraan kelompok umur di Yogyakarta. Usia saya waktu itu sekitar sembilan tahun. Tak lama setelah itu, saya mengalami kecelakaan karena tersiram air panas.
Saya sendiri sempat terpukul karena luka bakar yang saya alami dan harus libur latihan dua sampai tiga bulan. Saya sempat berpikir mungkin bukan jalan saya untuk jadi petenis.
Tapi ayah saya terus memberikan semangat. Beliau bilang "Dicoba lagi, enggak usah putus asa". Akhirnya saya coba untuk pegang raket lagi. Memang waktu itu usia saya masih sembilan, tetapi namanya olahraga, apalagi kalau prestasi jeda waktu seminggu saja apa yang dilatih bisa hilang sehingga saya harus mulai dari awal lagi.
Berkat motivasi dari ayah dan keinginan saya yang besar, alhamdulillah saya bisa bangkit. Meski peran ayah begitu dominan, kontribusi ibu juga tidak akan pernah saya lupakan karena beliau yang sejak kecil sangat perhatian dengan asupan gizi saya.
 Yayuk Basuki pernah menimba ilmu di Diklat Ragunan bersama Susy Susanti, Ricky Subagja hingga Alan Budikusuma. (CNN Indonesia/Andito Gilang Pratama) |
Sekitar 1981, saya ikut Kejurnas di Malang waktu usia masih 11. Saya bermain di beberapa kategori dan dua tahun berselang saya sudah juara di semua level Kejurnas.
Karena prestasi yang saya buat, saya disarankan untuk masuk ke Diklat Ragunan. Dulu Diklat Ragunan terkenal sekali, semua orang mau masuk karena prestasi dunia lahir dari sana. Di Badminton ada Icuk Sugiarto, Susy Susanti, Alan Budikusuma, dan Ricky Subagja yang akhirnya sekelas dengan saya di Ragunan.
Sebelum masuk Diklat Ragunan, saya sudah bikin geger karena 11 tahun udah main di PON 1981. Di usia saya waktu itu, saya sudah bikin susah bekas juara Asian Games 1974 Lita Sugiarto. Saya main rubber set sama dia. Sampai ada yang meledek: "Ini Jogja apa kekurangan pemain sampai pakai anak kecil?"
Uniknya saya sebenarnya hampir tidak bisa main di PON 1981. Tadinya pelatih enggak setuju saya dikirim, tapi ada anggota DPRD Jogja yang bertanya kenapa saya tidak masuk tim padahal mainnya bagus. Setelah diseleksi akhirnya saya bisa lolos untuk main di PON.
 Prestasi sejak belia membuat Yayuk Basuki dapat banyak dukungan untuk jadi petenis hebat Indonesia. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Tahun 1986 setelah Asian Games, sponsor makin banyak berdatangan. Banyak klub yang menginginkan saya, salah satunya Pelita Jaya meskipun waktu itu saya sudah berada di Astra. Oleh karena perkembangan klub yang terbatas akhirnya saya pindah ke Pelita Jaya karena mereka sangat serius. Saya di Pelita Jaya sambil sekolah di Diklat Ragunan.
Setelah lulus SMA, saya sempat berada di persimpangan. Ada tawaran untuk terjun profesional dengan dibantu Pelita Jaya dan meneruskan jenjang pendidkan ke bangku kuliah.
Saya sempat kuliah malam di Perbanas ambil manajemen akuntansi tapi baru semester awal ada tantangan jadi petenis profesional. Saya harus memilih karena enggak bisa dua-duanya jalan.
Kalau saya jadi pemain profesional otomatis turnamen di luar negeri semua. Butuh waktu minimal 9-10 bulan tur ke luar negeri dan enggak memungkinkan saya untuk kuliah. Jadi saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan ambil tantangan terjun di profesional.