Ayah saya sangat lekat dengan olahraga. Dulu beliau sempat main sepak bola cuma enggak sampai skala nasional, levelnya hanya sampai di PON. Ayah saya kemudian beralih ke tenis meja dan juga bisa main di PON hingga akhirnya jadi polisi.
Di kepolisian setiap anggota yang pangkatnya perwira wajib bisa main tenis dan itulah cerita awal saya dan kakak-kakak saya mengejar karier sebagai petenis.
Saya mengenal olahraga ini saat masih berusia empat atau lima tahun. Awalnya saya sebagai anak bungsu hanya melihat kakak-kakak saya latihan di lapangan samping rumah tetapi pada akhirnya saya jatuh cinta dengan tenis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar umur tujuh tahun, saya pelan-pelan mulai latihan. Mulanya berlatih saja memukul bola ke arah tembok hingga akhirnya ayah mulai rutin melatih saya setelah beliau pulang dari kantor.
Dulu raket tenis itu berat karena terbuat dari kayu, tidak seperti sekarang. Tidak banyak juga merek raket tenis. Karena saya masih kecil saya sampai harus membawa raket dengan cara menyeret karena memang berat. Tetapi hal itu tidak jadi halangan buat saya.
 Yayuk Basuki mendapatkan gemblengan keras dari sang ayah untuk jadi petenis besar. (Dok. Istimewa) |
Bakat saya makin terasah saat dilatih ayah meski tak bisa dimungkiri beliau termasuk sosok yang keras dalam melatih. Mungkin karena beliau punya latar belakang seorang polisi.
Saya berhasil meraih gelar pertama saat mengikuti kejuaraan kelompok umur di Yogyakarta. Usia saya waktu itu sekitar sembilan tahun. Tak lama setelah itu, saya mengalami kecelakaan karena tersiram air panas.
Saya sendiri sempat terpukul karena luka bakar yang saya alami dan harus libur latihan dua sampai tiga bulan. Saya sempat berpikir mungkin bukan jalan saya untuk jadi petenis.
Tapi ayah saya terus memberikan semangat. Beliau bilang "Dicoba lagi, enggak usah putus asa". Akhirnya saya coba untuk pegang raket lagi. Memang waktu itu usia saya masih sembilan, tetapi namanya olahraga, apalagi kalau prestasi jeda waktu seminggu saja apa yang dilatih bisa hilang sehingga saya harus mulai dari awal lagi.
Berkat motivasi dari ayah dan keinginan saya yang besar, alhamdulillah saya bisa bangkit. Meski peran ayah begitu dominan, kontribusi ibu juga tidak akan pernah saya lupakan karena beliau yang sejak kecil sangat perhatian dengan asupan gizi saya.
 Yayuk Basuki pernah menimba ilmu di Diklat Ragunan bersama Susy Susanti, Ricky Subagja hingga Alan Budikusuma. (CNN Indonesia/Andito Gilang Pratama) |
Sekitar 1981, saya ikut Kejurnas di Malang waktu usia masih 11. Saya bermain di beberapa kategori dan dua tahun berselang saya sudah juara di semua level Kejurnas.
Karena prestasi yang saya buat, saya disarankan untuk masuk ke Diklat Ragunan. Dulu Diklat Ragunan terkenal sekali, semua orang mau masuk karena prestasi dunia lahir dari sana. Di Badminton ada Icuk Sugiarto, Susy Susanti, Alan Budikusuma, dan Ricky Subagja yang akhirnya sekelas dengan saya di Ragunan.
Sebelum masuk Diklat Ragunan, saya sudah bikin geger karena 11 tahun udah main di PON 1981. Di usia saya waktu itu, saya sudah bikin susah bekas juara Asian Games 1974 Lita Sugiarto. Saya main rubber set sama dia. Sampai ada yang meledek: "Ini Jogja apa kekurangan pemain sampai pakai anak kecil?"
Uniknya saya sebenarnya hampir tidak bisa main di PON 1981. Tadinya pelatih enggak setuju saya dikirim, tapi ada anggota DPRD Jogja yang bertanya kenapa saya tidak masuk tim padahal mainnya bagus. Setelah diseleksi akhirnya saya bisa lolos untuk main di PON.
 Prestasi sejak belia membuat Yayuk Basuki dapat banyak dukungan untuk jadi petenis hebat Indonesia. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Tahun 1986 setelah Asian Games, sponsor makin banyak berdatangan. Banyak klub yang menginginkan saya, salah satunya Pelita Jaya meskipun waktu itu saya sudah berada di Astra. Oleh karena perkembangan klub yang terbatas akhirnya saya pindah ke Pelita Jaya karena mereka sangat serius. Saya di Pelita Jaya sambil sekolah di Diklat Ragunan.
Setelah lulus SMA, saya sempat berada di persimpangan. Ada tawaran untuk terjun profesional dengan dibantu Pelita Jaya dan meneruskan jenjang pendidkan ke bangku kuliah.
Saya sempat kuliah malam di Perbanas ambil manajemen akuntansi tapi baru semester awal ada tantangan jadi petenis profesional. Saya harus memilih karena enggak bisa dua-duanya jalan.
Kalau saya jadi pemain profesional otomatis turnamen di luar negeri semua. Butuh waktu minimal 9-10 bulan tur ke luar negeri dan enggak memungkinkan saya untuk kuliah. Jadi saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan ambil tantangan terjun di profesional.