Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum Indonesia merdeka,
PSSI lahir sebagai alat perjuangan sekaligus perlawanan terhadap penjajah. Para pemuda bersatu untuk menyemai benih-benih nasionalisme ke seluruh pelosok lewat sepak bola.
Dirintis oleh Soeratin Sosrosoegondo, insinyur yang gila sepak bola, PSSI kemudian lahir pada 1930 atau dua tahun setelah Sumpah Pemuda berkumandang. Ia ditunjuk sebagai Ketua PSSI pertama setelah federasi sepak bola Indonesia itu terbentuk.
Soeratin punya semangat yang sama dengan iparnya, Dr Soetomo, selaku pendiri Budi Utomo. Jika Budi Utomo fokus ke bidang pendidikan, Soeratin memakai PSSI sebagai alat penyemai nasionalisme di kalangan pemuda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski bisa menjalani karier bagus sebagai arsitek di masa kolonial Belanda, Soeratin memilih jalan terjal. Ia menyibukkan diri menjalankan organisasi PSSI secara sembunyi-sembunyi agar tidak tercium pemerintah Belanda.
[Gambas:Video CNN]Jabatan tinggi di perusahaan konstruksi ternama Belanda pun ditinggalkan Soeratin yang memilih membangun perusahaan sendiri. Ia rela hidup miskin hingga akhir hayat demi menjaga muruah PSSI.
Setelah 11 tahun memimpin PSSI, Soeratin memilih istirahat dan menyerahkan tugas kepada Artono Martosoewignyo. Tampuk kepemimpinan PSSI silih berganti dihuni sosok pencinta sepak bola dan punya jiwa nasionalisme tinggi.
Kini, muruah PSSI mulai terkikis. Publik lebih banyak disuguhi konflik yang berkepanjangan. Huru-hara di tubuh PSSI tak kunjung usai sejak era Nurdin Halid hingga Edy Rahmayadi.
Tampuk kepemimpinan PSSI berangsur menjadi pertarungan anggota partai politik. Tarik-menarik kepentingan golongan lebih kentara ketimbang fungsi persatuan yang sejak awal disematkan Soeratin.
Bila berdirinya PSSI punya muatan politis terhadap penjajah, kini para pengurus PSSI yang berafiliasi dengan partai politik justru menyemai benih-benih perpecahan. Para praktisi sepak bola dan suporter yang jadi korban.
Bak labirin, peralihan kepemimpinan PSSI sejak era Nurdin nyaris selalu diwarnai konflik. Peralihan kekuasaan PSSI era Nurdin ke Djohar Arifin misalnya. Mantan Ketua PSSI Agum Gumelar terpaksa turun gunung sebagai penengah dalam wujud Komite Normalisasi agar kericuhan tak melebar.
Tak dinyana, kepemimpinan Djohar pun tak berjalan mulus. Ia mendapat desakkan keras dari La Nyalla Mattalitti dan kawan-kawan yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Dualisme kompetisi pun terjadi. PSSI menggulirkan format baru kompetisi dengan tajuk Liga Primer Indonesia (IPL) sementara Liga Super Indonesia (ISL) dikelola KPSI. FIFA pun memberikan ultimatum agar PSSI yang sah bisa menyelesaikan masalah internal.
 Nurdin Halid dua periode menjabat Ketua PSSI. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Djohar memilih untuk membelot ke kubu La Nyalla. Posisinya sebagai Ketua PSSI aman sementara La Nyalla ditunjuk sebagai wakilnya. Pada 17 Maret 2015 di Hotel JW Marriot, Surabaya, Djohar kalah dalam pemilihan Ketua Umum PSSI dan La Nyalla jadi pemimpin baru PSSI.
La Nyalla pun tak mampu meredam konflik yang datang dari Menpora yang kala itu dijabat Imam Nahrawi. Perdebatan panjang kedua pihak berujung sanksi FIFA. Sepak bola Indonesia dilarang tampil di ajang internasional.
Nama Edy Rahmayadi muncul sebagai Ketua Umum PSSI melalui kongres yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, pada 10 November 2016. Eks Pangkostrad itu gagal memenuhi janji reformasi di tubuh PSSI dan memutuskan mundur tak lama setelah resmi terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara di awal 2019.
Joko Driyono yang semula menjabat wakil, diberikan wewenang sebagai Pelaksana Tugas Ketua PSSI. Namun, kepemimpinannya tak bertahan lama setelah divonis bersalah atas kasus penghilangan barang bukti pengaturan skor. Tugas Joko Driyono kemudian digantikan sejawatnya, Iwan Budianto.
Kini, PSSI sedang menanti nakhoda baru yang akan ditentukan lewat hasil kongres pada 2 November mendatang. Publik tentu berharap muncul Soeratin baru yang bisa menjaga muruah PSSI sebagai pemersatu bangsa bukan sebagai organisasi yang sarat konflik.
(jun/har)