Dari sekian banyak gelar bisa dibilang medali emas
Asian Games 1982 di nomor ganda campuran bersama
Christian Hadinata yang paling berkesan.
Saya sebenarnya baru pulih dari cedera kaki jelang Asian Games. Belum sepenuhnya pulih dan dokter pun tidak memperbolehkan saya bertanding karena jarak pascaoperasi hingga bertanding terlalu mepet. Jaraknya kurang dari tiga bulan.
Saya baru selesai menjalani operasi engkel karena ada tulang tumbuh. Pemulihan cedera itu idealnya enam minggu dan baru tiga bulan bisa mulai lagi latihan menggunakan raket.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun waktu itu saya tidak sampai dua bulan saya sudah latihan. Bahkan tiga bulan usai operasi yang seharusnya baru mulai latihan, saya malah sudah turun bertanding.
Empat hari jelang pertandingan pertama di Asian Games 1982, kondisi saya juga tidak terlalu fit karena justru flu berat. Kondisi baru pulih dari cedera dan kondisi tubuh yang tidak menunjang ikut membuat stres.
Bagi setiap atlet yang sudah naik ke meja operasi akan selalu ada tanda tanya. Bisa atau tidak kembali ke kondisi semula. Itu juga menjadi sesuatu kekhawatiran.
 Ivana Lie menyesal tidak pernah menyelesaikan kuliah. (CNN Indonesia/Juprianto Alexander) |
Beruntungnya saat itu nomor ganda campuran tidak jadi prioritas. Meskipun PBSI dan publik mengharapkan ada medali emas yang bisa kami berdua persembahkan dari nomor ini.
Meski ada banyak kendala, ada faktor non-teknis yang menguatkan saya untuk meraih hasil terbaik di Asian Games 1982. Ada sebuah ayat yang menguatkan saya yang pas sekali saya baca dan itu saya yakin bukan kebetulan.
Di sana dikatakan kalau Tuhan berkehendak pasti jadi. Saya mendapat kekuatan. Saya yakin keberhasilan saya karena pertolongan Tuhan, bukan karena kekuatan saya saja.
Akhirnya meski diliputi banyak keraguan saya bisa naik podium tertinggi. Bendera Indonesia dinaikkan dan lagu Indonesia Raya berkumandang. Itu sebuah momen yang indah buat saya karena meraih medali emas di sebuah event besar bukan perkara mudah.
Saya pribadi juga merasa cocok bermain dengan Christian Hadinata walaupun saya juga bermain di nomor tunggal dan ganda putri. Koh Chris dan saya itu lebih bisa saling mengerti.
Saya adalah pengagum berat
Koh Chris. Saya senang mengamati dia bermain, saya belajar banyak dari dia. Saat di lapangan kami tidak saling menebak-nebak melainkan sudah hafal pergerakan masing-masing.
Percaya atau tidak nomor ganda campuran itu jarang sekali latihan. Paling seminggu hanya satu kali tetapi
chemistry kami berdua sangat kuat.
Pernah suatu waktu saya sudah mundur dari pelatnas. Saya sempat sebentar tinggal di Amerika Serikat dan kami berdua tidak lagi berpasangan. Kami berdua lantas ambil bagian di Amerika Serikat Terbuka tanpa pernah latihan. Di akhir turnamen kami malah juara.
Kalau untuk kegagalan yang saya sesali mungkin di Kejuaraan Dunia 1980. Saya baru masuk pelatnas dan bisa menang dari juara dunia asal Denmark, Lene Koppen di semifinal.
Saya pribadi lumayan terkejut bisa mengalahkan dia. Saat tampil di final lawan sesama wakil Indonesia, Verawaty Fajdrin, saya malah antiklimaks.
Saya ingat betul kenapa saya main jelek di final. Lebih ke psikologis karena di semifinal saya sudah mengalahkan lawan paling berat. Konsentrasi saya buyar. Kontrol tubuh saya benar-benar hilang. Benar-benar seperti orang yang tidak tahu mau buat apa di pertandingan.
Saya punya peluang besar untuk menjadi juara dunia karena di semifinal berhasil mengalahkan favorit juara dari Denmark. Tetapi di final saya bermain buruk sekali, kehilangan konsentrasi karena terlalu berpuas diri setelah mengalahkan juara bertahan. Saya dikalahkan oleh Verawaty.
Terakhir saya juga merasa kalau ada sesuatu yang kurang dalam hidup mungkin karena tidak punya kesempatan untuk kuliah. Ada sesuatu yang hilang. Momen menuntut ilmu sebagai mahasiswi.
Waktu itu kondisi tidak menunjang seperti sekarang yang bisa menggunakan metode
distance learning. Tetapi lagi-lagi tidak ada yang harus saya sesali. Sekalipun tidak dapat kesempatan kuliah, saya dapat pengalaman yang luar biasa.
(har)