Jakarta, CNN Indonesia -- Saya kenal sepak bola dari ayah saya, Soekasmo Tjokrosandjojo, dia pelari, tapi jadi pengurus PSSI di era Maladi dan Abdul Wahab Djojohadikusumo.
Jadi saat saya kecil saya sering menonton pertandingan-pertandingan. Dahulu lapangan Senayan (Stadion
SUGBK) itu belum ada. Adanya lapangan (stadion) IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) di Monas.
Bapak saya yang mengurusi masalah pertandingan, seperti komisi pertandingan. Kalau hendak menonton pertandingan, saat pertandingan dimulai pukul 16.00, pukul 12.00 saya sudah datang di lapangan. Karena bapak saya yang mengurus semuanya. Dengan begitu sejak kecil saya senang sepak bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang membuat saya tertarik bermain bola adalah banyaknya bola di rumah. Karena bapak saya komisi pertandingan, sehingga banyak bola untuk pertandingan disimpan di rumah.
Bola itu yang akhirnya saya pakai untuk bermain dengan orang-orang di kampung. Waktu itu saya tinggal di Cempaka Putih.
Saya minta sama bapak bola yang sudah tidak bagus. Tapi kadang-kadang saya ambil sendiri tidak bilang-bilang. Padahal itu bola untuk pertandingan.
Dengan bola itu saya bermain di lapangan di depan rumah. Lapangan itu yang bikin bapak saya. Saat ini jadi lapangan Arcici. Ketika itu, lapangan Arcici dahulunya tanah tidak bertuan. Tanah punya PKI atau bagaimana gitu. Lantas bapak saya dekat dengan Wali Kota Jakarta Pusat, sehingga diminta dibuatkan lapangan.
 Danurwindo sempat menjadi pemain sebelum menjalani karier sebagai pelatih. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Pada zaman itu SSB berbeda dengan zaman sekarang. Dahulu sudah ada SSB, tapi saya lebih banyak bermain di dekat rumah saja dengan orang-orang sekitar.
Saya masuk klub di usia SMA, masuk ke Indonesia Muda sekitar tahun 1969. Kebetulan Indonesia Muda latihannya di depan rumah, dan orang tua saya juga dengan pengurus klubnya.
Setelah dari Indonesia Muda saya ke Jayakarta di tahun 1971. Di Jayakarta itu seperti semi profesional. Pemain diberi uang saku. Di klub yang lain belum ada uang saku, baru ada di Jayakarta.
Posisi saya saat bermain bola sebagai gelandang. Saya yang memilih posisi itu. Saya pilih gelandang karena senang mengatur orang-orang. Jadi kalau di dalam lapangan saya selalu berteriak-teriak. Cuma waktu awal main saat di Indonesia Muda saya jadi striker, karena postur saya kan tinggi.
Saat latihan di Jayakarta saya suka diantar bapak. Lalu saya menginap di asrama mereka, tinggal di sana. Pulangnya setiap hari Minggu.
Semasa jadi pemain bola saya jarang mengobrol bola dengan orang tua. Karena saya jarang di rumah juga kan, di asrama, sedangkan orang tua saya di rumah.
Sekitar tahun 1975 bapak saya meninggal, waktu itu saya saya sudah tiga atau empat tahun di Jayakarta. Selepas dari Jayakarta saya pindah ke Arseto tahun 1976 atau 1977 sampai dengan 1982.
 Danurwindo memiliki pengalaman menimba ilmu kepelatihan di Inggris. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Saya ingat cerita dahulu jadi pemain Arseto. Kami akan main di Surabaya melawan Niac Mitra. Saat ingin berangkat siang ternyata pesawatnya ditunda, padahal bermainnya di esok harinya.
Akhirnya besoknya berangkat pakai pesawat sendiri, mencarter. Berangkat kurang lebih pukul 10.00, sampai Surabaya masuk hotel, lalu bertanding, dan pulang pakai pesawat itu lagi.
Waktu itu kan manajernya anak Pak Soeharto (Sigid Harjoyudanto). Jadi pakai pesawat Pertamina waktu itu, berangkat dari Bandara Kemayoran. Saya bilang waktu itu, wah seperti Manchester United saja nih rasanya.
Pada 1982 setelah menjadi pemain saya sempat gamang, bingung ingin jadi pelatih atau tidak. Waktu 1982 itu saya latihan lagi dan dilihat oleh Wiel Coerver. Ditanya mau main lagi tidak? Saya bilang tidak, saya tidak bisa menyundul bola. Akhirnya saya mendampingi membantu Coerver.
Memutuskan jadi pelatih pada 1983-1984. Ceritanya panjang, waktu itu saya di Arseto. Tahun 1985 saya pergi ke Inggris kurang lebih sebulan ikut kursus di sana dibiayai Arseto, tapi setelah itu ke klub Inggris, West Ham United. Dua tahun kemudian tahun 1987 saya berangkat lagi ke Inggris.
Pada 1989 posisi saya digantikan Sinyo Aliandoe. Lalu di 1989 itu saya di PSSI Garuda bersama Milan Boksa. Dari 1990 sampai 1992 bersama Anatoli Polosin di Timnas Indonesia. Setelah itu 1993 sampai 1995 di Italia, dan 1996 di Timnas Indonesia.
Dalam pengalaman saya melatih ada banyak komentar-komentar miring, salah satunya saya dianggap pelatih pintar tapi tidak pernah bawa tim atau klub juara.
Ya memang bukan keberuntungan kita saja pada saat itu. Kalau mau minta Pep Guardiola pegang tim tapi pemain tidak seperti yang diharapkan tidak akan bisa juga. Saya berpikirnya seperti itu.
Saat saya melatih juga banyak yang berkomentar latihannya terlalu tinggi, sehingga pemainnya tidak bisa mengikuti. Banyak yang berkomentar seperti itu.
Perjalanan saya di sepak bola sangat panjang. Saya menghabiskan hidup di lapangan, mulai tahun 1968 sampai sekarang habis di sepak bola.
Saya juga pernah cedera saat jadi pemain. Retina mata saya rusak karena terkena bola tendangan pemain Tanzania. Kebetulan itu 1979 Universiade di Meksiko, lalu sembuh tapi tidak pernah bermain lagi.
Saya langsung masuk rumah sakit. Begitu jatuh di lapangan dibawa ambulans ke rumah sakit. Saat rombongan pulang saya langsung berobat ke Los Angeles.
Yang kedua kejadian waktu di Italia. Saya berangkat ke Italia tahun 1993, tapi kenanya tahun 1994 waktu latihan sama Primavera.
Mata saya kena tendang lagi, yang sebelumnya pernah cedera juga, di mata kiri. Saat itu tidak apa-apa. Tapi keesokan harinya waktu pertandingan terasa.
Saya waktu duduk di bangku cadangan tiba-tiba retina mata saya lepas. Saya tidak bisa melihat. Malam itu saya langsung ke dokter. Dokternya bilang mata saya harus dioperasi besar.
Kalau tidak dioperasi, pandangan mata saya hilang. Saya dioperasi di Genoa sendiri, tidak ada yang tunggu. Masuk ruang operasi saya sendiri. Langsung operasi besar mata saya.
Bola mata dikeluarkan, karena retina ada di belakang mata. Justru sembuhnya karena banyak di lapangan. Seperti ada sugesti kalau mencium bau rumput pagi yang baru dipotong, kalau melihat rumput yang hijau.
[Gambas:Video CNN]Saya juga ada pengalaman menarik di Primavera. Saya sebelum datang ke Primavera disuruh bikin SIM Internasional biar bisa bawa kendaran di sana. Kebetulan di sana kita ada mobil van, karena waktu itu kita banyak laga home and away.
Perjalanan di sana sekitar tiga sampai empat jam, sampai sejauh itu, kadang lima jam. Itu waktu di musim pertama. Tapi waktu di musim kedua pakai bus kalau perjalanan jauh.
Di Italia juga orang kalau bawa mobil kan disiplin, tidak saling kebut-kebutan, mengambil jalur orang lain. Bayangkan saja, di sana kalau jarak 20 meter saja kita menyalip sudah
diteriakin orang
.Pengalaman saya di Primavera kita tanding hari Sabtu, kalau Minggu-nya menonton pertandingan Sampdoria. Dari tempat kita di Tavarone sampai ke Genoa itu sekitar satu setengah sampai dua jam.
Begitu pulang dari nonton pertandingan semua anak-anak tidur, tinggal saya sendiri. Sudah menguap, mata juga kadang sudah enggak kuat. Itu luar biasa pengalamannya.
Ada satu lagi pengalaman, saya kebetulan bawa pemain pergi ke namanya Cerreto, itu tempat musim panas tapi ada saljunya. Ke sana saya bawa pemain 10-11 orang.
Saat pulang mereka semua tidur, lalu saya mengisi bensin. Saat sedang isi bensin ada polisi Italia melihat-lihat ke dalam mobil.
Polisi itu melihat banyak orang di dalam mobil seperti imigran, mana tidak ada sepatunya, cuma pakai kaus kaki. Polisi itu bertanya, itu siapa? Sempat dikira kita ini imigran. Saya bilang kita skuat Primavera Indonesia. Polisi itu menyahut, 'saya wasit' dalam bahasa Italia. Akhirnya kami jadi akrab.
Bahkan, sewaktu saya jadi pelatih suka terbangun pukul 12 malam atau 3 pagi, sepak bola langsung terpikirkan dan sudah ada di kepala. Sekarang juga terkadang masih suka. Apalagi sekarang mengurusi sepak bola Indonesia. Saya bukan mengurusi Timnas Indonesia saja tetapi bagaimana sepak bola Indonesia ke depan.
Kalau cerita sepak bola Indonesia, saya bilang
dark era atau era kegelapan kita dari tahun 2015 waktu disanksi FIFA. Itu lebih menyedihkan dibanding cedera mata. Ketika itu sepak bola Indonesia mati, jangan lagi terjadi seperti itu. Tidak ada ada kursus, tidak ada pertandingan, tidak ada semuanya.
Harus kita hindarkan itu. Sebelum 2015 kita dualisme (2011). Kalau ada dualisme siapa yang memikirkan pengembangan? Kan tidak ada. Semua maju karena edukasi. Ditambah disanksi FIFA. Waktu zaman Pak Edy Rahmayadi kita itu sedang memulai sepak bola yang baik. Kita baru punya panduan tentang sepak bola yang baik dan benar.
Saat ini saya bertugas sebagai Direktur Teknik di PSSI, orang biasanya bilang Direktur Teknik itu berhubungan dengan Timnas Indonesia. Hubungannya ada, tapi tugas seorang Direktur Teknik adalah pengembangan sepak bola untuk masa depan. Karena untuk kita butuh berprestasi tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh proses.