Perjalanan saya di sepak bola sangat panjang. Saya menghabiskan hidup di lapangan, mulai tahun 1968 sampai sekarang habis di sepak bola.
Saya juga pernah cedera saat jadi pemain. Retina mata saya rusak karena terkena bola tendangan pemain Tanzania. Kebetulan itu 1979 Universiade di Meksiko, lalu sembuh tapi tidak pernah bermain lagi.
Saya langsung masuk rumah sakit. Begitu jatuh di lapangan dibawa ambulans ke rumah sakit. Saat rombongan pulang saya langsung berobat ke Los Angeles.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang kedua kejadian waktu di Italia. Saya berangkat ke Italia tahun 1993, tapi kenanya tahun 1994 waktu latihan sama Primavera.
Mata saya kena tendang lagi, yang sebelumnya pernah cedera juga, di mata kiri. Saat itu tidak apa-apa. Tapi keesokan harinya waktu pertandingan terasa.
Saya waktu duduk di bangku cadangan tiba-tiba retina mata saya lepas. Saya tidak bisa melihat. Malam itu saya langsung ke dokter. Dokternya bilang mata saya harus dioperasi besar.
Kalau tidak dioperasi, pandangan mata saya hilang. Saya dioperasi di Genoa sendiri, tidak ada yang tunggu. Masuk ruang operasi saya sendiri. Langsung operasi besar mata saya.
Bola mata dikeluarkan, karena retina ada di belakang mata. Justru sembuhnya karena banyak di lapangan. Seperti ada sugesti kalau mencium bau rumput pagi yang baru dipotong, kalau melihat rumput yang hijau.
Saya juga ada pengalaman menarik di Primavera. Saya sebelum datang ke Primavera disuruh bikin SIM Internasional biar bisa bawa kendaran di sana. Kebetulan di sana kita ada mobil van, karena waktu itu kita banyak laga home and away.
Perjalanan di sana sekitar tiga sampai empat jam, sampai sejauh itu, kadang lima jam. Itu waktu di musim pertama. Tapi waktu di musim kedua pakai bus kalau perjalanan jauh.
Di Italia juga orang kalau bawa mobil kan disiplin, tidak saling kebut-kebutan, mengambil jalur orang lain. Bayangkan saja, di sana kalau jarak 20 meter saja kita menyalip sudah
diteriakin orang
.Pengalaman saya di Primavera kita tanding hari Sabtu, kalau Minggu-nya menonton pertandingan Sampdoria. Dari tempat kita di Tavarone sampai ke Genoa itu sekitar satu setengah sampai dua jam.
Begitu pulang dari nonton pertandingan semua anak-anak tidur, tinggal saya sendiri. Sudah menguap, mata juga kadang sudah enggak kuat. Itu luar biasa pengalamannya.
Ada satu lagi pengalaman, saya kebetulan bawa pemain pergi ke namanya Cerreto, itu tempat musim panas tapi ada saljunya. Ke sana saya bawa pemain 10-11 orang.
Saat pulang mereka semua tidur, lalu saya mengisi bensin. Saat sedang isi bensin ada polisi Italia melihat-lihat ke dalam mobil.
Polisi itu melihat banyak orang di dalam mobil seperti imigran, mana tidak ada sepatunya, cuma pakai kaus kaki. Polisi itu bertanya, itu siapa? Sempat dikira kita ini imigran. Saya bilang kita skuat Primavera Indonesia. Polisi itu menyahut, 'saya wasit' dalam bahasa Italia. Akhirnya kami jadi akrab.
Bahkan, sewaktu saya jadi pelatih suka terbangun pukul 12 malam atau 3 pagi, sepak bola langsung terpikirkan dan sudah ada di kepala. Sekarang juga terkadang masih suka. Apalagi sekarang mengurusi sepak bola Indonesia. Saya bukan mengurusi Timnas Indonesia saja tetapi bagaimana sepak bola Indonesia ke depan.
Kalau cerita sepak bola Indonesia, saya bilang
dark era atau era kegelapan kita dari tahun 2015 waktu disanksi FIFA. Itu lebih menyedihkan dibanding cedera mata. Ketika itu sepak bola Indonesia mati, jangan lagi terjadi seperti itu. Tidak ada ada kursus, tidak ada pertandingan, tidak ada semuanya.
Harus kita hindarkan itu. Sebelum 2015 kita dualisme (2011). Kalau ada dualisme siapa yang memikirkan pengembangan? Kan tidak ada. Semua maju karena edukasi. Ditambah disanksi FIFA. Waktu zaman Pak Edy Rahmayadi kita itu sedang memulai sepak bola yang baik. Kita baru punya panduan tentang sepak bola yang baik dan benar.
Saat ini saya bertugas sebagai Direktur Teknik di PSSI, orang biasanya bilang Direktur Teknik itu berhubungan dengan Timnas Indonesia. Hubungannya ada, tapi tugas seorang Direktur Teknik adalah pengembangan sepak bola untuk masa depan. Karena untuk kita butuh berprestasi tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh proses.
(ptr)