Jakarta, CNN Indonesia -- Jadi pesepakbola profesional, apalagi pernah membela
Timnas Indonesia, masih terasa seperti mimpi bagi
Andik Vermansah. Seolah saya tak mau terbangun dari mimpi indah ini.
Saya amat bahagia karena karier saya sekarang bisa membantu ekonomi keluarga. Orang tua dan saudara kandung, tetap menjadi motivasi saya untuk terus sukses. Niat saya sejak kecil memang ingin berhasil demi keluarga.
Saya dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Saya dan keluarga sebenarnya kelahiran Kota Jember. Kemudian kami ikut ibu merantau ke Surabaya. Di Surabaya kakak saya yang main bola. Waktu itu saya hanya ikut dia datang latihan ke lapangan. Saya jadi yang paling kecil ikut latihan waktu itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibu saya sempat tidak membolehkan saya main bola.
Ngapain katanya, nanti takut patah kakinya. Takut cedera. Mungkin juga karena badan saya terlalu kecil. Tapi, saya tetap saja keras kepala mau main bola.
Saya sembunyi-sembunyi buat main bola. Jadi dulu kalau sekolah pulang jam 10 pagi. Lalu saya jualan sampai siang. Lepas itu saya main bola sampai sore. Waktu kecil saya sempat diragukan. "Ini anak badannya kecil banget, memang bisa main bola?", begitu kira-kira mungkin penilaian orang-orang.
 Andik Vermansah kecil sempat diremehkan untuk menjadi pemain bola karena tubuh yang kecil. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Itu waktu saya masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD) kalau tidak salah ingat. Tapi saya tidak peduli, tetap main saja. Ternyata saya larinya cepat. Dari SD bahkan saya juga sudah berani ikut turnamen antarkampung. Saya jadi semacam pemain cabutan main di sana-sini. Kalau ada yang cari pemain, carinya saya.
Pertama kali main di tarkam itu dapat uang Rp40 ribu. Kalau saya cetak gol bisa dapat Rp70 ribu. Uangnya saya kasih kakak. Saya paling ambil sedikit saja dari situ.
Namanya masih bocah, pikiran masih polos. Saya sempat berpikir uang itu juga buat tambahan beli rumah untuk ibu karena kami belum punya rumah waktu itu. Kami sering pindah-pindah kontrakan.
Kemudian ada pelatih SSB (Sekolah Sepak Bola) Surya Naga melihat saya dan minta saya ikut latihan. Kalau yang lainnya bayar, saya disuruh main saja. Tidak usah bayar, gratis. Mungkin pelatih tahu saya tidak punya uang kalau disuruh bayar.
Di sana saya ikut latihan sampai bisa cetak gol terus. Lalu orang-orang mulai memperhatikan saya. Dahulu ada namanya Liga Campina. Saya main di sana, tapi tidak dari SSB itu. Saya ingat betul wajah saya sampai ada di spanduk turnamen itu.
Nah, waktu itu ada seleksi Persebaya Surabaya junior. Dari SSB-SSB di Surabaya dan sekitarnya dipilih lima orang untuk ikut seleksi. Tapi saya tidak tahu kalau ada seleksi.
 Andik Vermansah musim ini memperkuat Bhayangkara FC. (Dok.Bhayangkara FC) |
Saya tahu dari teman dekat saya yang rumahnya jauh. Jadi kalau ke Surabaya, dia biasanya menginap dahulu di rumah saya. Malam itu dia datang. Saya tanya, "Mau ngapain?" Kata dia mau ikut seleksi Persebaya junior. Saya tanya kok saya tidak dikasih tahu?
Terus dia bilang: "Sudah ikut saja, tidak apa-apa."
Ya sudah, saya ikut keesokan paginya. Teman saya itu posisi sebagai kiper.
Sampai di sana saya pura-pura saja kalau ikut dipanggil seleksi. Kemudian dikumpulkan dibagi jadi beberapa tim untuk diadu.
Lalu ada salah satu tim yang pemainnya cedera. Saya yang di pinggir lapangan ditanya posisi saya apa? Saya jawab gelandang. Gayung bersambut, saya disuruh main. Di situ saya cetak gol lagi, terus lolos ke babak selanjutnya sampai selesai dan saya lolos seleksi. Teman saya yang mengajak saya seleksi malah tidak lolos. Mungkin memang rezeki saya di situ.
Kemudian saya bisa main di Persebaya junior. Lalu juara lagi di liga pemuda Jawa Timur. Berikutnya saya main di PON 2008 dan masuk ke Persebaya senior, setelah itu dipanggil ke Timnas Indonesia. Waktu di Persebaya saya jadi yang paling muda dan badannya paling kecil.
Saya sejak SD sudah punya uang sendiri sehingga tidak minta uang sama ibu. Saya dapat uang dari jual gorengan. Saya jualan bisa dapat Rp4.000, kadang Rp6.000.
Uangnya saya kasih ke ibu saya. Saya kasih ke kakak juga buat ongkos sekolah dia. Saya paling cuma ambil Rp200 buat beli es untuk main bola. Pagi setelah sekolah pulang jam 10, saya jualan gorengan dahulu sampai jam 12 siang. Setelah itu langsung main bola sampai sore.
Tetangga saya yang bikin gorengan. Saya hanya bantu jualan saja. Rumahnya hanya beberapa blok dari rumah kami. Tapi kalau Sabtu dan Minggu, saya jual gorengan yang ibu saya bikin.
Sehari bisa jual banyak. Orang-orang yang beli juga sudah banyak kenal saya. Saya memang yang mau jualan buat bantu-bantu orang tua, buat kasih kakak juga. Bukan hanya gorengan, saya juga jualan es mambo. Kalau jualan es itu di Stadion Gelora 10 November, sekadar akal-akalan saya saja. He he he.
 Andik Vermansah pernah berkarier di Malaysia bersama Selangor FA. (Dok.Bhayangkara FC) |
Saya jualan supaya bisa masuk ke stadion buat nonton Persebaya, gratisan. Sering ketahuan juga sama penjaga stadion. Tidak punya tiket, tapi masuk menonton. Kadang kena sepak juga. Kalau mau beli tiket waktu itu tidak ada uangnya juga.
Pernah pula saya bersembunyi di balik jaket orang lain agar tidak ketahuan bisa masuk ke dalam stadion. Pura-pura jadi anak orang, yang penting waktu itu bisa masuk dan melihat Persebaya.
Saya juga pernah jualan koran tapi sebentar. Hal yang saya suka dari jualan koran kalau ada berita-berita tentang Persebaya. Saya juga senang baca-baca berita bola lainnya seperti Roberto Carlos atau Cristiano Ronaldo.
[Gambas:Video CNN]Semua pekerjaan saya lakukan dengan senang hati. Bahkan ketika dipilih jadi
ball boy (anak gawang) Persebaya, gembiranya bukan main.
Kalau jadi
ball boy waktu kecil memang digilir dari SSB, selalu bergantian. Saya sempat beberapa kali jadi anak gawang. Senang sekali rasanya waktu itu karena melihat langsung dari pinggir lapangan Persebaya bermain.
Pernah bermain di luar negeri tentu melebihi impian bagi seorang Andik Vermansah. Dahulu, cita-cita saya hanya ingin jadi pesepakbola profesional dan membela Timnas Indonesia. Itu saja cukup.
 Andik Vermansah mensyukuri karier sebagai pesepakbola. (AFP PHOTO / TED ALJIBE) |
Pengalaman yang menggetarkan saya ketika kali pertama bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) membela Timnas Indonesia.
Ketika melihat SUGBK sebelum bermain, saya spontan menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Sempat malu juga sih dilihat rekan-rekan setim dan orang lain. Tapi tidak apa-apa karena saya saking senangnya.
Rupanya pencapaian saya melebihi dari yang saya bayangkan. Saya dapat kesempatan yang tak banyak pemain Indonesia mengalaminya, merumput di luar negeri. Saya berkesempatan bermain di Liga Super Malaysia membela Selangor FA. Saya resmi memperkuat salah satu klub besar di Malaysia itu pada November 2013.
Alhamdulillah, Tuhan memberikan saya melebihi dari yang saya cita-citakan. Saya selalu bersyukur atas pengalaman paling berharga itu hingga hari ini.