Jakarta, CNN Indonesia -- Saya lahir dan tumbuh di
Yogyakarta dan mulai bermain
badminton saat enam tahun. Meski lahir dari keluarga yang senang badminton, bukan berarti segalanya berjalan lancar. Keluarga saya terbilang pas-pasan dan bukan keluarga yang berada.
Saya tidak bisa membeli raket. Raket yang saya pakai pun dibelikan oleh teman bapak. Bapak saya dulu bikin klub di Prambanan namanya Natura Prambanan bersama Pak Bambang Suwanto.
Selain latihan di Natura, saya juga latihan di klub Setia Kawan dan PB Pancing dalam saat masa kecil sampai akhirnya saya mulai rutin mengikuti pertandingan di wilayah Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu itu ada pertandingan di Solo yang merupakan turnamen se-Jawa Tengah, saya menghadapi wakil dari PB Djarum Budi Santoso. Saya menang dan tak lama kemudian dipanggil ke PB Djarum saat baru saja naik kelas 2 SMP.
Di PB Djarum saya masih rutin bermain di nomor tunggal. Hanya ketika turnamen beregu saja saya diturunkan di nomor ganda lantaran slot nomor tunggal sudah penuh terisi. Sebagai pemain tunggal, prestasi saya tidak terlalu bagus, paling hanya bisa sampai babak delapan besar.
 Sigit Budiarto gagal di nomor tunggal dan mulai fokus di nomor ganda pada 1992. ( AFP/JIMIN LAI) |
Karena satu alasan saya sempat istirahat dari badminton pada 1991 sebelum kembali main satu tahun kemudian. Saya masuk klub Allpro Solo yang sekarang bernama PMS dan di sana mulai lebih rutin bermain di nomor ganda. Saya berpasangan dengan Ade Lukas yang waktu itu berlatih di Jakarta.
Di level nasional saya mulai sering juara sampai saya masuk skuat untuk Kejuaraan Dunia Junior 1992. Saat itu sebenarnya saya tidak masuk skuat dan baru masuk di saat akhir menggantikan Tony Gunawan. Saya berpasangan dengan Namrih Suroto dan hanya berlatih dua kali. Namun saya bisa masuk final sebelum kalah dari Amon Santoso/Kusno.
Tahun 1994 saya kembali masuk PB Djarum Jakarta dan akhirnya masuk pelatnas pada 1995 dan jadi junior dari pemain-pemain level elite dunia seperti Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Rudy Gunawan/Bambang Suprianto, dan Antonius/Denny Kantono tentu membuat saya senang sekali. Saya bisa belajar banyak dari mereka.
Bertemu senior tentu saya juga lebih sering minggir-minggir, tidak berani langsung. Tipe senior pun macam-macam, ada yang cuek dan ada yang mengayomi. Saya ingat saat masuk ke pelatnas, saya diberi sepatu oleh Ricky Subagdja. Kalau lapangan latihan penuh, sebagai junior tentu harus menunggu dan menonton mereka latihan terlebih dulu.
Bila diajak sparring oleh pemain senior, rasanya sudah senang sekali. Hal itu sudah luar biasa bagi kami.
Saya menghormati semua pemain senior karena mereka yang membimbing saya. Saya sungkan terhadap mereka karena mereka punya prestasi mentereng dan membuat saya termotivasi untuk juga bisa mencapai kesana.
 Saat dalam puncak karier, Sigit Budiarto dan Candra Wijaya berhasil jadi pebulutangkis nomor satu dunia plus juara dunia. (AFP/JUNG YEON-JE) |
Setelah beberapa kali berganti pasangan, saya akhirnya dipasangkan dengan Candra Wijaya di 1996. Setelah dipasangkan kami langsung bisa meraih beberapa gelar juara sampai akhirnya kami jadi unggulan nomor satu di Kejuaraan Dunia 1997 yang berlangsung di Glasgow.
Sebagai unggulan pertama dalam usia muda di Kejuaraan Dunia, saya hanya berpikir untuk berusaha bisa membawa nama Indonesia menjadi juara. Hal itu mendorong kami melalui babak demi babak hingga akhirnya mencapai babak semifinal.
Ricky/Rexy juga saat itu masuk semifinal dan tentunya diharapkan bisa menciptakan All Indonesian Final. Kami menang lawan Lee Dong Soo/Yoo Yong-sung, namun Ricky/Rexy kalah dari Yap Kim Hock/Cheah Soon Kit dari Malaysia.
Menghadapi final Kejuaraan Dunia saya merasakan ketegangan dan kebingungan. Kami berusaha menghilangkan itu semua karena tekanan saat itu memang begitu besar. Di set pertama kami kalah 8-15. Di set kedua kami juga lebih sering tertinggal. Lawan lebih dulu mendapat angka 13 di set kedua.
Saya hanya mengingat pesan Koh Chris [Christian Hadinata] bahwa sebelum angka 15 atau 17 dan 18 [bila deuce], permainan belum berakhir. Di saat deuce, kami juga tertinggal 14-17 yang artinya mereka hanya butuh satu angka lagi untuk jadi juara dunia dengan kondisi servis masih pada orang pertama.
Namun kami terus berusaha. Kami menggagalkan dua servis lawan dan sampai akhirnya kami bisa menyamakan kedudukan menjadi 17-17. Kami lalu merebut poin berikutnya dan menang 18-17 di set kedua. Setelah menang di set kedua, kami berhasil merebut set penentuan.
Kami berhasil jadi juara dunia. Pelatih sangat senang dengan keberhasilan kami meski mereka juga menganggap keberhasilan kami menjadi juara dunia tetap masuk dalam kategori kejutan.
Setelah berhasil jadi juara dunia, prestasi saya bersama Candra makin meningkat. Kami berhasil jadi juara dan duduk di posisi nomor satu dunia. Namun setelah mampu jadi juara di Singapore Open 1998, saya dinyatakan gagal tes doping.
Sampai saat ini pun saya masih kurang mengerti kronologinya. Soal jamu yang saya minum, sempat dicek katanya tidak ada kandungannya. Setiap saya minum obat, saya konsultasi sama dokter PBSI. Selama main di internasional, selalu aman tiap tes doping. Makanya itu saya tidak pernah takut karena tidak pernah melakukan hal yang negatif.
 Saat dalam puncak karier, Sigit Budiarto malah terganjal kasus doping. (AFP PHOTO/Nicolas ASFOURI) |
PBSI memberi tahu saya kalau saya gagal tes doping di sampel pertama dan menunggu hasil tes sampel kedua. Kemudian sampel kedua ternyata juga positif. Saya kaget dan suasana hati tentu bergejolak karena posisi saya sedang peringkat pertama dan karier sedang dalam kondisi bagus.
Saya kaget dan suasana hati tentu bergejolak karena posisi saya sedang peringkat pertama dan karier sedang dalam kondisi bagus.Sigit Budiarto |
Kemudian saya sidang di Kuala Lumpur ditemani oleh Pak M.F Siregar dan Dokter Michel dengan Pak Agus Wirahadikusuma terus memantau saya dari Jakarta. Saya tak mengerti situasi saat itu karena saya tidak pernah mengonsumsi yang negatif. Buat apa saya menggunakan hal itu dan beberapa kali tes sebelumnya juga saya selalu aman tidak pernah gagal. Saya tidak pernah merasa takut untuk melakukan tes doping.
Awalnya BWF akan memberikan sanksi dua tahun, namun akhirnya menjadi sanksi satu tahun dan efektifnya saya baru bisa kembali bermain setelah 16 bulan. Saya divonis tidak bisa ikut semua pertandingan, baik di internasional maupun di tingkat nasional.
Saya kemudian menenangkan diri di rumah dinas Pak Agus di Bandung. Selama satu bulan saya tinggal di sana sebelum kembali ke Cipayung. Saya baru kembali bermain di akhir tahun 1999 dan berpasangan dengan Halim Haryanto.
Dengan kondisi gagal tes doping, saya merasa malu setiap keluar asrama, setiap mau melakukan hal apapun merasa tidak enak. Hal itu yang saya rasakan meski saya merasa tidak pernah melakukan hal yang membuat saya gagal tes doping. Saya berpikir ini ujian buat saya dari Allah SWT yang mesti dihadapi.
Main sama Halim, saya sempat juara di Dutch Open. Setelah Olimpiade selesai, pada 2001 mulai kembali dipasangkan lagi bersama Candra. Pelatih bilang saya kembali pasangan sama Candra, Halim sama Tony.
Karena saat latihan biasa muter dan berganti pasangan, jadi tidak terlalu bermasalah dengan adaptasi. Kami berhasil jadi juara All England pada 2003. All England salah satu turnamen tertua, paling bergengsi, tentu bisa jadi juara All England merupakan sebuah kebanggaan. Bersyukur bisa jadi juara All England setelah sebelumnya gagal.
Setelah jadi juara dunia di 1997, saya dan Candra bisa kembali masuk final Kejuaraan Dunia 2003 dan 2005. Dua kali masuk final Kejuaraan Dunia yang dulu hanya berlangsung dua tahun sekali, namun kemudian jadi runner up, tentu saya merasa sedih. Namun saya sudah berusaha memberikan yang terbaik.
 Candra/Sigit dua kali kalah di final Kejuaraan Dunia, yaitu di 2003 dan 2005. (AFP/GERARD BURKHART) |
Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, mencoba yang terbaik, namun hasilnya seperti itu. Dua kali masuk final tentu sedih, namun saya sudah berusaha memberikan yang terbaik. Jadi apa boleh buat.
Dalam karier saya bisa merasakan berbagai gelar juara, mulai dari SEA Games, All England, Kejuaraan Asia, Piala Thomas, hingga Kejuaraan Dunia. Saya sangat bersyukur bisa mencapai hasil sampai seperti itu. Karena bila menilik awal perjalanan karier saya, tentu saya tak menyangka bisa sampai sejauh ini.
Paling menyesakkan tentu adalah tidak mampu tampil di Olimpiade 2000 karena dampak dari hukuman usai gagal tes doping. Namun saya merasa tidak perlu ada yang disesali dan semua itu harus dilalui dan dijadikan pelajaran.
Setelah pensiun pada 2006 saya bertanya ke PB Djarum apakah ada tempat bagi saya untuk memulai karier sebagai pelatih. Saya kemudian diberikan kesempatan. Saya pun bertanya pada diri sendiri mengenai kepantasan saya.
"Apakah saya bisa? Saya yang biasanya mengurusi diri sendiri, kini harus mengurusi anak-anak."
Paling sulit ketika menjalani karier awal sebagai pelatih adalah mengubah mindset. Dulu sebagai pemain, saya adalah sosok yang diurusi, dipenuhi kebutuhannya. Sebagai pelatih, kini saya ganti mengurusi anak-anak. Saya harus bisa memberikan contoh yang bagus bagi para adik-adik saya di klub.
 Banyak yang menilai gaya main Kevin mirip dengan Sigit Budiarto. (Dok. Humas PBSI) |
Sebagai pemain saya hanya perlu berpikir bagaimana bisa jadi juara saat mengikuti sebuah pertandingan. Ketika jadi pelatih saya harus memikirkan semua pemain dan menemukan cara menjadikan mereka juara. Tentu juga dengan pertimbangan bahwa kemajuan tiap pemain berbeda-beda.
Dalam hal membentuk pemain bagus seperti Kevin Sanjaya, hal itu tentu bukan semata karena kerja saya. Semua pelatih di klub bekerja sama. Tanpa kerja sama yang bagus, saya rasa saya sendiri belum tentu bisa menemukan pemain-pemain hebat. Saat itu saya memegang kelompok taruna sedangkan Ade Lukas pegang kelompok remaja.
Kevin masuk ke Jakarta saat remaja dan dipegang oleh Ade Lukas. Lalu setelah kita ngobrol, "Ada yang bagus, namanya Kevin. Selain Kevin, ada Arya, Edi Subaktiar, Lucky, dan Raffi yang juga punya potensi bagus. Sebelumnya ada Praveen Jordan, Berry Angriawan, dan Muhammad Ulinuha."
Saya juga bingung bila dibilang gaya main Kevin sama dengan saya. Mungkin karena sama-sama jadi
playmaker, jadi mungkin sedikit banyak hampir sama. Saya tak mengerti pasti karena penilaian seperti itu tentu lebih diketahui oleh mereka para penonton.
Saya juga bingung bila dibilang gaya main Kevin sama dengan saya. Mungkin karena sama-sama jadi playmaker, jadi mungkin sedikit banyak hampir sama.Sigit Budiarto |
Saya hanya memberikan apa yang saya punya dan saya miliki sebagai pelatih. Saat saya sebagai pemain, saya sering disebut pemain yang sering melakukan pukulan unik dan akrobat. Sebelum saya, sebenarnya ada senior-senior saya yang juga bisa seperti itu, misalnya Eddy Hartono, Ricky, dan Rexy.
Pukulan unik dan akrobat seperti itu menurut saya merupakan sebuah refleks saja, bukan kesengajaan. Refleks yang terasah dari latihan ke latihan.
Sebagai pelatih ada kebahagiaan besar melihat adik-adik seperti Kevin dan Praveen bisa berhasil jadi juara. Saat pemain yang saya tangani bisa dipanggil ke pelatnas, saya selalu berpesan, "Bila sampai di sana, jangan sampai pulang". Bila pulang tentu berarti ada penurunan prestasi.
Selepas seorang pemain klub masuk pelatnas, semua sudah lebih tergantung pada sikap dan tekad masing-masing. Bila di klub masih banyak dibantu dan diingatkan, di pelatnas lebih pada tekad individu dan kemauan masing-masing pemain.
Kalau seorang pemain mau maju tentu mereka harus berlatih dengan benar. Meski sudah masuk pelatnas, saya selalu siap ada untuk mereka. Hubungan tetap berjalan meski frekuensi berubah tidak seperti sebelumnya.
 Sebagai pelatih, Sigit Budiarto ikut bangga bila pemain yang pernah dididiknya bisa jadi juara di turnamen bergengsi. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat) |
Jika saya bahagia bisa melihat pemain yang pernah saya pegang bisa jadi juara, tentu saya juga ikut sedih bila pemain yang sempat saya tangani tidak mendapatkan prestasi seperti yang diharapkan. Namun perjalanan tiap orang tentu berbeda-beda dan tidak semuanya bisa berhasil meski saya berharap semuanya bisa seperti Kevin dan Praveen.
Saya tekankan satu hal pada mereka yang belum berhasil bahwa meski mereka tidak berhasil jadi juara dan keluar dari pelatnas, mereka punya badminton sebagai modal. Mereka bisa jadi mahasiswa dan mendapat beasiswa dari keahlian badminton yang mereka miliki.
Setelah lebih dari satu dekade jadi pelatih, tentu terkadang ada rasa jenuh namun hal itu jarang muncul. Salah satu tantangan dan motivasi bagi saya adalah karena generasi terus berubah sehingga pemain yang saya pegang pun berbeda-beda.
Sekarang saya ditugaskan pegang sektor pemula, pemain dengan usia paling kecil. Saya tertantang untuk berusaha memberikan yang terbaik, memberikan modal bagus bagi mereka untuk masa depan.