Awal mula karier saya sebagai wasit justru dari keinginan menjadi pemain bola. Dulu saat masih duduk di
SD saya ikut sekolah sepak bola (
SSB) Nur Sabab di Purwakarta.
Saya masih bermain bola saat di tingkat SMP, berlanjut ke SMA. Bahkan sempat masuk tim Soeratin Purwakarta. Semasa bermain posisi saya sebagai pemain belakang. Saya termasuk pemain tinggi, ya hitungannya pas-pasan untuk seorang bek. Ketika di tim Soeratin saya masih kelas 1 SMA.
Tetapi, saat turnamen Soeratin itu saya cedera kaki. Waktu itu saya cedera paha belakang sebelah kanan,
hamstring sepertinya. Awalnya pas main tidak apa-apa, tapi lama-lama sakit, dan tambah sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cedera hamstring lalu diurut, akhirnya ototnya pecah. Cederanya semakin parah. Karena cedera itu akhirnya saya berhenti main sepak bola. Saya benar-benar tidak bersemangat lagi bermain.
Setelah setop bermain sepak bola muncul keinginan jadi wasit. Mulanya waktu di kelas 3 SMA, saya melihat wasit asal Purwakarta di televisi namanya Mardi. Kemudian berpikir bagaimana kalau berhenti bermain bola lalu lanjut menjadi wasit. Jadi, saya cari tahu semua informasi tentang menjadi wasit.
 Thoriq Alkatiri cedera dan berhenti bermain sepak bola saat SMA. (Dok.Pribadi) |
Kebetulan saya punya tetangga wasit sepak bola juga namanya Pak Badar. Saya tanya kepada beliau bagaimana cara menjadi wasit.
Saya diminta kontak ke Asosiasi PSSI Purwakarta. Pada 2006 mulai latihan dan gabung dengan wasit-wasit dari Purwakarta. Beberapa bulan setelah gabung, saya ikut lisensi C3 di Sukabumi. Bayar kursus wasitnya Rp1 juta untuk waktu seminggu. Saya lulus dengan menempati peringkat kedua terbaik.
Saya benar-benar tidak kepikiran untuk menjadi wasit. Karena awalnya ingin jadi pemain bola. Ingin seperti Salim Alaydrus yang juga asal Purwakarta.
Padahal dulu saya berhenti saat sedang enak-enaknya bermain bola. Begitu jadi wasit, tidak ada wasit-wasit lain yang seumuran saya. Tapi saya malah ambil wasit, dianggap aneh dan akhirnya diejek teman-teman. Katanya 'ada anak-anak jadi wasit'.
Saya jadi wasit paling muda di Purwakarta saat 18 tahun. Dicemooh juga sama wasit yang lain, karena kan wasit terkenal banyak gosip.
Tapi orang tua saya tidak mempermasalahkan itu. Bagi mereka, selama positif-positif saja tidak apa-apa. Jangan jadi anak muda tukang nongkrong yang pulang malam karena enggak jelas tujuan hidupnya. Kalau memang itu pilihan, silakan, tidak ada kekangan dari orang tua.
Untuk meningkatkan pengetahuan, saya mendaftar kuliah di UPI Bandung. Saya ambil jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga pada 2007. Agar bisa tetap mendukung karier saya di wasit, saya pindah pengurus cabang (Pengcab) PSSI, dari Purwakarta ke Bandung. Di Bandung bertemu banyak teman wasit yang seumuran.
Setelah beberapa kali mendapat tugas wasit di Bandung, saya naik level ke C2 pada 2008. Saat di C2 saya banyak memimpin pertandingan antar-SSB di Purwakarta. Waktu itu dibayarnya Rp50 ribu untuk satu pertandingan.
Ketika baru awal-awal dapat kesempatan memimpin pertandingan masih grogi karena belum terbiasa. Untuk tunjuk bila bola keluar saja susah, saya salah tunjuk arah.
Hahaha.Setahun setelah ambil C2, saya naik ke C1 di 2009. Kali ini memilih pertandingan liga amatir nasional. Kemudian saya memimpin pertandingan divisi utama atau Liga Super Indonesia (ISL), karena waktu itu ISL gelar tiga pertandingan tiap minggu, jadi saya diperbantukan.
Pada 2011 itu saya ikut Project Future AFC tentang wasit di Sabah, Malaysia. Program itu dari PSSI. Jadi Project Future itu kelompok anak-anak muda se-Asia yang dikumpulkan, digembleng, secara bertahap oleh AFC. Tujuannya menciptakan wasit baru yang potensial. Usai ikut project future itu akhirnya dipilih buat pimpin di ISL.
Baru di ISL musim 2011/2012 saya bisa pimpin pertandingan. Persegres vs Persidafon jadi pertandingan ISL pertama saya. Itu big match papan bawah. Kali ini karena saya sudah terbiasa jadi wasit, sehingga tidak lagi grogi pimpin pertandingan besar.
Sedangkan untuk
big match papan atas saya pimpin Sriwijaya FC vs Persisam Samarinda. Setelah itu saya makin banyak memimpin pertandingan dan jam terbang. Tetapi sayangnya di musim tersebut ada dualisme kepengurusan.
Yang paling berkesan dari pimpin ISL waktu itu laga Arema FC vs Persipura 2012 di Malang. Musim itu baru pertama bagi saya promosi ke ISL, tapi sudah beberapa kali pimpin pertandingan. Kondisinya ketika itu baru peralihan dari dualisme dan ingin perebutan juara.
Tahu-tahu ada tim yang mogok bermain karena tidak puas terhadap keputusan saya, karena pemainnya saya kasih kartu kuning. Saya diamkan saja. Pertandingan juga ditunda selama lima menit, tapi setelah itu langsung dilanjutkan lagi.
 Thoriq Alkatiri memimpin pertandingan ISL. (Dok.Pribadi) |
Sehabis dari AFC saya ambil lisensi FIFA di Brunei Darussalam pada 2014. Sebenarnya materi di FIFA dengan AFC itu sama saja, sama dengan waktu 2011 dan 2012. Hanya ada update peraturan permainan. Jadi setiap tahun suka ada revisi peraturan permainan baru dari FIFA dan IFAB.
Meski punya lisensi FIFA, tapi kalau belum masuk AFC Elite, belum bisa pimpin pertandingan Asia. Saya sendiri baru masuk AFC Elite pada 2018. Kalau karier sebagai wasit ini, saya ingin setinggi-tingginya, masih banyak yang harus saya capai.
Saya sudah pimpin wasit Piala AFC, inginnya bisa sampai ke Liga Champions Asia, baru ke Piala Dunia. Minimal Piala Dunia U-17 dan U-20. Untuk ke Piala Dunia U-20 di Indonesia nanti saya sendiri belum bisa.
Karena wasit untuk Piala Dunia U-20 itu sudah disiapkan dari lima tahun sebelumnya. Mereka yang pimpin pertandingan di Piala Dunia U-20 adalah wasit yang juga bakal tampil di Piala Dunia 2022 di Qatar. Saya paling jadi partisipan saja belajar dari wasit-wasit itu. Jadi tidak bisa sembarangan.
Untuk bisa pimpin pertandingan di AFC dan FIFA itu sudah ada lisensi dan levelnya, caranya dengan memperbanyak pertandingan yang dipimpin. Jam terbang itu tercatat semuanya, sudah cukup atau belum untuk naik tingkat.
(ttf/har)