Tes Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan metode swab jadi syarat wajib jika PSSI melalui PT Liga Indonesia ingin kembali menggelar Liga 1 dan 2.
Sebelumnya, Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, menyampaikan syarat itu untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).
"Kalau mau dilakukan, maka metode yang disiapkan semua pemain bola harus PCR test, harus betul-betul bebas Covid-19."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalu tidak boleh ada penonton. Tapi untuk hal ini belum kami bicarakan dengan PSSI," ujar Doni dalam rapat virtual dengan Komisi X DPR RI, Selasa (17/6).
Tak bisa dimungkiri lagi, tes PCR sebagai salah satu rangkaian protokol kesehatan merupakan beban berat jika kompetisi kembali bergeliat.
Memperkirakan 'kocek' operator sampai klub-klub, tampaknya Liga Indonesia belum siap menggelar kembali kompetisi di tengah pandemi dengan syarat wajib tes swab.
![]() |
Tes PCR masih belum menjadi hal murah. Di Indonesia, biaya sekali tes swab secara mandiri dan perorangan tentu beragam.
Jika dirata-rata, biaya sekali tes PCR per orang mencapai Rp2 juta. Sementara itu, total ada sekitar 30 orang dari pemain, pelatih, hingga ofisial tim yang harus menjalani tes PCR per klub.
Dengan demikian, setiap klub harus menanggung biaya Rp60 juta sekali tes jika beban itu ditanggung masing-masing klub.
Belum lagi, syarat tes swab seperti di kompetisi Eropa macam Liga Inggris, harus dilakukan berkala. Pengecekan berkala itu setidaknya dua pekan sekali sesuai aturan masa inkubasi virus corona.
Bisa dibayangkan total biaya yang harus dikeluarkan klub apabila tes dilakukan berkala. Apalagi, Liga 1 saja baru memulai tiga laga sebelum kompetisi dibekukan karena pandemi.
Gaji pemain dan operasional untuk laga kandang dan tandang saja sudah menjadi momok bagi klub-klub.
Seandainya mengecualikan tes PCR, klub-klub Liga 1 atau 2 sudah kepayahan untuk membayar gaji para pemain mereka. Belum lagi biaya operasional, sebut saja menggelar laga kandang.
Subsidi komersial dari hak siar Liga 1 yang pernah dijanjikan Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, sebesar Rp15 miliar per klub tak cukup untuk membayar gaji pemain, pelatih, staf, dan biaya operasional pertandingan.
Biaya tes PCR ini pula belum jelas akan dibebankan ke klub-klub atau operator. Jika pun PT LIB yang harus menanggung beban tes swab, bakal sangat memberatkan operator Liga 1 dan 2 itu.
Ambil contoh di Liga 1 yang terdiri dari 18 klub. Biaya yang harus dikeluarkan PT LIB sekali tes bisa mencapai Rp1 miliar. Tes juga harus dilakukan berkala.
Itu belum termasuk di Liga 2 jika PT LIB juga berencana membuka kembali kompetisi itu dengan syarat wajib tes PCR. Jumlah peserta di Liga 2 pun jauh lebih banyak ketimbang kompetisi kasta di atasnya.
Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Yoyok Sukawi, juga tak memungkiri betapa berat tes PCR meski menjadi syarat wajib.
"Dengan situasi Covid-19 kami juga meminta supaya dilalukan tes PCR supaya aman juga kesehatannya. Tapi dari sisi bisnis itu jadi beban tambahan yang berat buat klub," kata Yoyok melalui sambungan telepon, Rabu (17/6).
Sekadar pembanding, biaya tes PCR di Liga Inggris dibebankan di operator liga. Tujuannya adalah meringankan beban klub-klub yang sudah kesulitan karena kehilangan pemasukan dari tiket penonton.
Operator Liga Inggris sendiri harus merogoh kocek hingga 4 juta poundsterling atau setara Rp71,7 miliar untuk biaya total tes PCR. Pihak operator bekerja sama dengan perusahaan asal Hong Kong untuk melakukan ribuan tes Covid-19.
Meski demikian, pemasukan selangit Liga Inggris dari hak siar sudah bisa menutupi biaya tes tersebut jika dibandingkan dengan pendapatan Liga 1 dari hak siar.
Lagi pula, Liga Inggris diklaim mengalami kerugian yang jauh lebih besar jika kompetisi berhenti.
![]() |
Direktur Eksekutif Premier League, Richard Masters, pernah menyebut kerugian bisa mencapai 1 miliar poundsterling atau setara Rp17,8 triliun.
Tentu saja kepentingan pemegang hak siar yang paling diperjuangkan agar kompetisi tetap berjalan. Pasalnya, pihak televisi pemegang hak siar sudah menggelontorkan investasi hingga setara triliunan rupiah di kompetisi itu.
Biaya PCR sebesar Rp71,7 miliar jelas tak akan membuat isi dompet operator Liga Inggris langsung tandas.
Geografis Inggris yang tak seluas dan berpulau-pulau seperti Indonesia pun membuat mobilitas setiap laga serumit di Liga 1.
Sebenarnya, PT LIB masih bisa melanjutkan kompetisi dengan syarat wajib tes PCR dengan format turnamen di satu wilayah atau kota. Pergerakan setiap klub di daerah masih bisa diatur sedemikian rupa.
Dengan format turnamen, kompetisi hanya memakan waktu paling lama dua bulan. Biaya operasional pun masih bisa dipangkas, termasuk tes Covid-19.
Meski demikian, ketersediaan stadion dan lapangan latihan di suatu wilayah calon tuan rumah juga harus dipertimbangkan dengan seksama.
Jika tetap ingin memaksakan Liga 1 dengan sistem kompetisi penuh tanpa beban besar, operator tentu harus meminta bantuan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di masing-masing provinsi. Bantuan itu berupa tes PCR gratis.
Meski demikian, menjadi akan menjadi pertanyaan soal urgensi kompetisi sepak bola Indonesia jika meminta bantuan tes PCR gratis.
Gugus Tugas tentu sudah terlalu sibuk melakukan tes PCR secara luas sesuai dengan prinsip kedaruratan pandemi.
Seperti diketahui Gugus Tugas melakukan tes PCR secara gratis dengan metode sampel acak atau berdasarkan penelusuran kontak di daerah zona merah. Sementara sisanya yang dilakukan secara mandiri harus bayar.
(bac)