Saya menikmati karier ini. Termasuk dengan segala persaingan di dalamnya. Bahkan, dengan Triyatno yang juga rekan satu tim saya bersaing.
Saya itu dengan Triyatno sama-sama sejak awal, di klub di Metro bareng-bareng, masuk pelatnas juga sama-sama sampai sekarang. Cuma masalah rezeki dan prestasi saja yang tidak bisa disamakan. Jadi kami punya 'tulisannya' masing-masing, rezekinya ada di mana.
Dahulu, waktu di Olimpiade 2012 London, Triyatno sudah dapat perak, saya dapatnya perunggu. Saya baru dapat perak di Olimpiade 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, karena dia kelasnya di atas saya, jadi lawannya juga agak berat, peluangnya juga sedikit susah. Triyatno juga sempat cedera lutut dan dioperasi tahun 2013, sampai sekarang belum pulih benar.
Walaupun saya dengan Triyatno beda kelas, tapi saya tetap berusaha mengejar dia. Dan Triyatno juga tidak mau saya kejar.
Saya tidak memikirkan soal nanti angkatan lawan berapa. Yang penting, adalah angkatan Triyatno, karena dia kelasnya di atas saya, jadi bisa lebih kuat.
Kalau saya bisa menyamai angkatan dia, berarti kan di atas kertas saya bisa juara ketika di kelas saya. Sedangkan Triyatno sendiri yang kelasnya ada di atas juga enggak mau kalah dengan yang di bawah.
Maka dari itu dia tetap terpancing untuk tidak kalah dengan kelas yang di bawahnya. Dalam latihan, saya dan Triyatno selalu kejar-kejaran dalam catatan angkatan.
![]() |
Sama seperti atlet-atlet lainnya. Banyak hal tidak enak atau sebaliknya yang saya alami sejauh ini. Mulai dari lulus SD sudah jauh dari orang tua saja itu jadi hal yang tidak enak bagi saya.
Sejak lulus SD saya harus merantau ke Parungpanjang, Bogor, untuk berlatih angkat besi, sedangkan orang tua di Metro, Lampung. Tapi kami beruntung, semua dibiayai, uang makan dan sekolah ditanggung. Dengan begitu, orang tua tidak perlu repot-repot lagi. Orang tua hanya perlu mengurusi adik-adik saja.
Selain itu, namanya olahraga pasti pernah cedera, ada momen susahnya juga. Kalau momen sukanya tentu saja ketika juara dan diapresiasi. Seperti sekarang ini, paling tidak punya tabungan, dibanding waktu-awal-awal yang tidak punya apa-apa.
Orang tua juga sudah bisa haji, sudah dibuatkan rumah. Yang awalnya rumah kami berada di atas tanah orang, sekarang alhamdulillah sudah punya rumah, jadi sudah tenang.
![]() |
Atlet seperti saya ini pernah berada di titik terendah dalam karier, pernah punya rasa frustrasi dalam karier, apalagi waktu cedera. Ketika cedera kita tidak bisa berlatih, saat sedang kesusahan, pasti ada rasa ingin berhenti.
Kalau saya di kelas 62 kg itu kan harus diet terus. Ingin sekali-sekali lepas dari aturan itu. Jadi suka muncul rasa ingin lepas dahulu dan istirahat, agar tidak diet terus.
Terkadang, cedera juga memberikan tekanan. Karena latihan jadi tidak maksimal, tetapi harus terus latihan dan target jalan terus. Orang awam dan pemerintah kan tidak tahu kalau kondisi atlet sedang cedera atau tidak.
Orang-orang itu tahunya dari awal target angkat besi harus seperti ini, seperti itu. Mau enggak mau, kami terbebani dengan hal itu, karena yang seperti itu pasti kepikiran sama saya.
Dalam situasi sulit itu, terkadang kepikiran dengan target awal karier, bahwa saya harus dapat emas Olimpiade. Emas Olimpiade saja belum tercapai, masa mau berhenti di tengah jalan.
Ya sudah, akhirnya pelan-pelan diskusi dengan pelatih. Setelah berbagi cerita dengan pelatih, akhirnya dipaksakan berpikiran positif dahulu saja. Mula-mula kondisi membaik, cedera juga membaik, motivasi naik lagi karena sudah bisa latihan lagi.
Momen-momen itu terjadi bukan waktu di awal-awal karier, saya merasakan itu dalam beberapa tahun belakangan, setelah tahun 2015 ke sini. Ada dua kali momen saya ingin berhenti sebagai atlet.
Yang paling terasa itu waktu kejuaraan Islamic Solidarity Games tahun 2017. Itu bukan kejuaraan besar. Cuma saya harus ikut itu dan tiba-tiba harus diet lagi.
![]() |
Kalau masuk pelatnas harusnya kan tujuan kami itu di akhir. Kalau SEA Games ya di SEA Games, kalau Asian Games ya di Asian Games. Tapi Islamic Solidarity Games ini kan sama saja dengan try out.
Ditambah lagi Eko Yuli yang bertanding, pasti targetnya harus emas. Padahal kejuaraannya levelnya bukan Olimpiade atau Kejuaraan Dunia. Bukan juga level SEA Games atau regional, cuma ajang internasional dengan negara-negara Islam, tapi seolah-olah Eko Yuli sudah wajib emas.
Nanti kalau Eko cedera terus enggak dapat emas jadi cemoohan, meskipun sudah maksimal, tetap saja akan ada omongan orang di belakang. Karena tidak ada yang tahu kondisi atlet sedang cedera atau sakit. Mereka tidak tahu.
Maka dari itu, dalam kondisi tersebut kadang pikiran ingin berhenti itu muncul. Tapi setelah tenang, lalu disuruh mikir lagi bahwa saya belum dapat emas Olimpiade.
Banyak masalah cedera yang mengganggu saya. Waktu menjelang Olimpiade 2008 saya cedera hamstring, tahun 2009 cedera lutut, tahun 2012 tulang kering retak. Saat 2016 cedera lutut juga. Terakhir ingin Asian Games 2018 sempat tifus.
Oleh sebab itu, sejak awal kami memang tidak menargetkan apa-apa, karena memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Kalau masalah ingin dapat emas, siapa yang tidak mau medali emas.
(sry/jun)