Saya sempat ditawari kesempatan bermain di klub Swedia Helsingborg. Kesempatan itu datang setelah para pemain PSSI Primavera pulang dari Italia.
Saya, Asep Dayat, Indriyanto Nugroho dipanggil untuk seleksi. Momennya seingat saya usai pertandingan Pra Olimpiade 1996. Kami bermain di Korea Selatan dan Hong Kong.
Saya bertemu Pak Nirwan Bakrie. Dia minta saya langsung berangkat ke Swedia untuk main di sana, tetapi saya menolak. Saya bilang ingin main di Indonesia saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya cari alasan bilang enggak mau jauh-jauh dari orang tua. Tetapi sebenarnya bukan itu alasan utamanya. Bukan karena orang tua tetapi karena saya sudah punya pacar yang kini jadi istri saya ha..ha..ha..
Pikir saya waktu itu saya sudah sembilan bulan di Italia. Kalau saya bermain di Swedia maka saya bisa bertahun-tahun di sana. Apalagi waktu itu belum ada telepon genggam, sulit untuk berkomunikasi. Paling hanya menulis surat saja.
Pak Nirwan waktu itu masih paksa saya. Dia katakan "Ini masa depan kamu. Kamu orang Papua pertama yang main di luar negeri. Kamu mengerti tidak ini". Saya seakan dipaksa untuk ke sana.
![]() |
Saya terus menolak dan Pak Nirwan tahu pada akhirnya tidak bisa memaksa saya. Saya kemudian bermain di Pelita Jaya, klub kedua saya setelah Persipura Jayapura di Indonesia.
Selain melewatkan kesempatan main di Helsinborg, saya pernah ramai diberitakan menderita rabun ayam di Piala Tiger 1996 di Singapura. Pemberitaan itu ramai muncul setelah pertandingan melawan Filipina.
Pelatih Danurwindo melihat ada yang aneh dengan saya karena ragu-ragu setiap kali duel bola atas. Biasanya karena selama di sana sulit tidur, saya isi waktu dengan mengisi teka-teki silang pakai lampu tidur. Saya pakai lampu tidur karena teman sekamar saya, Chris Yarangga biasa mematikan lampu saat tidur.
Saya sempat periksa ke dokter di Singapura dan tidak ada masalah apa-apa. Saya rasa persoalan ini agak dibesar-besarkan oleh media sehingga saya dikira benar kena penyakit rabun ayam, padahal tidak seperti itu.
Saya juga bingung kok jadi begini. Dokter dan pelatih juga sudah bilang tidak ada masalah. Efeknya penonton setiap kali pertandingan digelar malam hari minta saya tidak dimainkan karena tidak bisa melihat di malam hari.
Padahal saya main biasa saja, mental saya tidak terganggu karena pemberitaan dan komentar-komentar miring yang datang. Saya rasa waktu itu pemberitaannya agak berlebihan.
![]() |
Dari sekian banyak pengalaman membela Timnas Indonesia. Saya pribadi masih sulit melupakan dua kegagalan jadi juara di SEA Games 1997 dan Piala Tiger 2002. Di dua kesempatan itu kami sudah begitu dekat.
Skuad Timnas Indonesia di SEA Games 1997, saya rasa itu salah satu yang terbaik. Kami juga dilatih Henk Wullems, pelatih pintar, dan kami semua percaya bisa mengalahkan mereka dalam 2x45 menit.
Di final itu atmosfer stadion sangat menegangkan. Saat Thailand mencetak gol terjadi insiden penonton melempar sesuatu ke lapangan saat pemain lawan melakukan selebrasi.
Sebelum babak kedua dimulai kami agak lama masuk ke lapangan karena sempat ada insiden itu. Personel keamanan harus ditambah agar situasi pertandingan terkendali.
Pertandingan kemudian berlanjut hingga adu penalti. Pelatih bertanya siapa yang siap. Di situ baru kita kaget karena tidak ada persiapan untuk adu penalti. Ya sudah, siapa yang ngomong berani ambil penalti langsung ditulis.
Pemain senior seperti saya, Bima Sakti, jadi panik. Mau menendang tapi enggak dipersiapkan. Malah Agung Setyabudi enggak ikut jadi penendang penalti.
Kalau main tendangan penalti di luar sesi latihan, teknik keluar semua. Malah kiper dibuat patah pinggang, tetapi pas ada penonton dengan situasi begitu, enggak berani semua. Di Piala Tiger 2002 juga begitu. Kami persiapan maksimal hingga tur ke Sydney dan Perth. Persiapan bagus dan materi pemain juga bagus.
Saya sangat percaya diri di Piala Tiger itu kami pasti juara. Thailand juga tidak terlalu istimewa. Biasa-biasa saja.
Kalau dari penguasaan bola kami unggul 55 persen berbanding 45 persen, tapi ya mau bagaimana lagi. Kalau mengingat dua kegagalan itu, saya selalu bertanya-tanya hingga sekarang, kenapa waktu itu kami enggak bisa juara?
(jal)