Liverpool dan Manchester City dalam tiga musim terakhir sangat mendominasi Liga Inggris. Kedua tim ibarat Barcelona dan Real Madrid di Liga Spanyol satu dekade terakhir, juaranya sudah bisa ditebak.
Namun musim ini, status quo Liverpool dan Man City sebagai penguasa Liga Inggris dua sampai tiga tahun terakhir terancam goyah.
Man City juara dua kali beruntun pada musim 2017/2018 dan 2018/2019. Tiga musim lalu, The Citizens bahkan unggul jauh, 19 poin dari Manchester United di posisi kedua pada akhir klasemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musim berikutnya Man City kembali juara, namun hanya selisih 1 poin dengan Liverpool. Itu karena dalam dua musim belakangan Liverpool mengalami perkembangan signifikan. Pada 2017/2018, Liverpool mengakhiri musim di peringkat 4.
Mereka langsung melesat di musim 2018/2019 dan menjadi pesaing kuat anak asuh Josep Guardiola. Pada saat itu, gelar juara harus ditentukan sampai pekan terakhir. Sebab kedua tim hanya berselisih satu poin hingga pekan 37.
Di pertandingan terakhir Man City harus bertandang ke Brighton and Hove Albion dan Liverpool menjamu Wolverhampton Wanderers.
Kedua tim sama-sama meraih kemenangan di laga penutup Liga Inggris 2018/2019. Artinya tidak ada perubahan klasemen akhir, di mana Man City keluar sebagai juara.
Di musim berikutnya, 2019/2020, Liverpool yang gantian mendominasi. Seolah membalas kegagalan musim sebelumnya, The Reds tampil trengginas.
Pasukan Jurgen Klopp benar-benar tak ada lawan pada musim itu. Lihat saja di paruh musim, dari 19 pertandingan Liverpool mengesankan dengan 18 kali menang dan sekali imbang.
Mereka nyaman di pucuk klasemen dengan 55 poin, unggul 19 poin dari Leicester City di peringkat kedua dan 20 poin dari Man City di tempat ketiga.
Laju Liverpool kemudian semakin tak terbendung. Mereka bahkan sudah mengunci titel juara di pekan 29 dengan koleksi 86 poin. Jumlah itu sudah tak mungkin lagi dikejar Man City dengan apapun yang terjadi terhadap Liverpool di tujuh laga tersisa.
Di akhir musim, Liverpool punya 99 poin, sementara Kevin De Bryune dan kolega hanya 81 poin.
Tak cuma itu, Liverpool di musim 2019/2020 juga menjadi klub dengan juara liga tercepat sepanjang sejarah Liga Inggris. Mohamed Salah cs melampaui capaian Everton (1984/1985), Manchester United (1907/1908 dan 2000/2001), dan Man City (2017/2018).
![]() |
Musim 2020/2021 sudah memasuki pekan kedelapan. Liverpool saat ini di posisi ketiga, sementara Man City di posisi ke-10.
Meski tak dipungkiri kedua tim masih jadi favorit juara, namun peta kekuatan musim ini berbeda dengan musim lalu. Ditambah lagi, The Reds saat ini sedang krisis lini belakang. Virgil van Dijk, Trent Alexander-Arnold hingga yang terbaru Joe Gomez harus naik meja perawatan karena cedera.
Setidaknya Tottenham Hotspur, Chelsea, dan Leicester City bisa menjadi ancaman bagi Liverpool maupun Man City.
Tottenham di bawah kendali Jose Mourinho terlihat cukup menjanjikan menjegal laju tim favorit juara. Bahkan bukan tidak mungkin The Lillywhites bisa dibawa sebagai salah satu tim favorit juara jika melihat kualitas Mourinho.
Pengalaman The Special One menunjukkan hal tersebut. Bersama Chelsea, Inter Milan, maupun Real Madrid, Mourinho selalu bisa menjadi juara.
Mourinho punya kemampuan mengelola skuad dan tak munafik bermain dengan gaya pragmatis di lapangan untuk mencari kemenangan. Hal itu yang mulai ia tunjukkan bersama Tottenham.
Musim ini, Tottenham mendatangkan sejumlah pemain untuk menambah kekuatan. Misal Gareth Bale dan Sergio Reguilon didatangkan dari Madrid. Namun secara keseluruhan, muka-muka lama masih menghiasi seperti Harry Kane, Son Heung Min, Lucas Moura, Erik Lamela, Moussa Sissoko, Serge Aurier, Eric Dier hingga Hugo Lloris.
Hasilnya memang ciamik. Meski sempat kalah di laga awal dari Everton 0-1, namun mereka melaju dengan lima kemenangan dan dua seri di tujuh laga berikutnya. Bahkan tim sekelas Man United mereka hancurkan 1-6 di Old Trafford.
Mereka saat ini di peringkat kedua dengan 17 poin. Sementara Son dan Kane menjadi top skor dengan 8 dan 7 gol.
Leicester juga sama. Anak asuh Brendan Rodgers sejak musim lalu sudah menunjukkan kuda hitam bagi The Big Six. Musim lalu mereka finis di posisi kelima dan lolos ke Liga Europa.
The Foxes tak banyak mendatangkan pemain baru. Skuad mereka juga masih dihuni nama-nama lama seperti Kasper Schmeichel, Wes Morgan, Youri Tielemans, James Maddison, hingga Jamie Vardy.
Namun Rodgers mampu membuat timnya bermain dengan keseimbangan dan kedalaman skuad. Antarlini dibuat sama baiknya.
Sejauh ini Leicester yang memimpin klasemen sudah dua kali kalah. Namun mereka sudah memenangi enam laga. Gaharnya lagi, mereka menghajar tim kuat Man City 5-2.
Lalu Chelsea. Sempat diragukan di awal musim, namun Frank Lampard perlahan pasti mulai menunjukkan kualitasnya. Dengan belanja jor-joran, Lampard mendatangkan Hakim Ziyech, Timo Werner, Kai Havertz, Thiago Silva, hingga Eduardo Mendy.
Lampard mulai mampu meracik skuad yang diturunkan di tiap pertandingan. Lini belakang The Blues juga membaik belakangan ini, terutama setelah Lampard memutuskan menggeser Kepa Arrizabalaga dari posisi kiper utama dan diganti Mendy.
Chelsea di beberapa pertandingan terakhir juga mulai stabil, meski dua lawan terakhir mereka tim semacam Burnley dan Sheffield United. Setidaknya Chelsea sudah semakin baik dalam organisasi permainan di setiap pertandingan.
![]() |
Dua tim penghuni The Big Six sebelumnya, yakni Man Utd dan Arsenal sebaliknya. Mereka tampaknya akan sulit masuk ke dalam persaingan berburu gelar juara.
Arsenal misalnya, alih-alih menargetkan juara liga, berjuang finis di posisi lima besar untuk lolos ke kompetisi Eropa saja akan sangat berat.
Sementara Man Utd juga sama. Mereka yang kini tak jauh dari zona degradasi juga rasa-rasanya akan sangat bekerja keras demi lolos ke kompetisi Eropa ketimbang menargetkan kampiun di akhir musim.
Mandeknya kedua tim di awal-awal Liga Inggris ini tak lepas dari pelatih. Mikel Arteta belum punya kualitas untuk meracik strategi bagi Pierre-Emerick Aubameyang cs.
Arteta terlihat seperti bingung menciptakan lini tengah yang tanggung dan menyeimbangkan skuad. Lini belakang mereka tak begitu kokoh, namun penyerangan mereka juga mentok. Hilangnya faktor kreativitas menjadi penyebab Arsenal gagap.
Kreativitas yang sejatinya ada pada diri Mesut Ozil. Namun, pemain Jerman keturunan Turki itu kini justru dibekukan Arteta tanpa alasan jelas.
Sedangkan Man Utd lebih hancur lagi. Ole Gunnar Solskjaer tampak benar-benar tak mampu menerapkan strategi yang pas. Solskjaer boleh meyakinkan pada lini serang mereka, namun tidak dengan lini tengah dan belakang.
Secara khusus pertahanan Man Utd musim ini amburadul. Pertahanan yang dikomandoi Harry Maguire itu juga tampak begitu lemah, apalagi jika menghadapi serangan balik.
Saat menghadapi Istanbul Basaksehir contoh nyata betapa lini belakang Setan Merah sangat lembek.
Ketiadaan sosok jenderal di belakang seperti era Rio Ferdinand dulu membuat pertahanan Man Utd keropos. Solskjaer perlu memfokuskan pada pertahanan mereka.
(sry)