Tampil di pertandingan tak resmi model tarkam (antarkampung) kerap di pandang sebelah mata. Tapi bagi bek Persela Lamongan, Eky Taufik Febriyanto, main tarkam tak sekadar soal uang.
Terhentinya kompetisi Liga 1 2020 akibat pandemi Covid-19 membuat banyak pesepakbola profesional menerima tawaran bermain di tarkam, termasuk Eky.
Menurut Eky, tarkam tak hanya sekadar mencari uang tambahan. Pertandingan tak resmi itu justru bisa dimanfaatkan untuk menjaga stamina dan kebugaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau saya ikut tarkam lebih untuk menjaga feeling bermain bola saja. Kalau latihan sendiri yang susah menjaga feeling bermain di pertandingan, termasuk tekanan dari lawan. Kalau di tarkam pas dapat musuh yang bagus lumayan juga. Jadi saya ambil sisi positifnya saja," kata Eky kepada CNNIndonesia.com.
Sejak kompetisi dihentikan karena pandemi pada Maret lalu, jarang ada tawaran yang datang ke Eky. Namun, sejak kondisi new normal diberlakukan, tawaran tarkam mulai bermunculan.
![]() |
Bahkan menurut Eky, sebagian pemain asing juga tergiur main tarkam. Padahal kalau dilihat dari sisi pendapatan, bayaran dari tarkam tidak besar.
"Uangnya enggak gede-gede amat sih. Saya juga tidak milih-milih pertandingan. Cuma lihat situasi saja. Kalau tarkam di Jawa Tengah bayarannya tidak besar. Kalau di Bekasi, Jabodetabek lumayan besar biasanya," ujarnya.
Lebih lanjut, pemain kelahiran 15 Februari 1991 mengaku dibayar per pertandingan. Misalnya, di babak penyisihan per pertandingan ia dibayar sekitar Rp800 ribu.
Tapi jika tim yang dibelanya lolos ke semifinal, bayarannya meningkat. Semakin jauh tim melangkah di turnamen, semakin besar bayaran yang didapatkan pemain. Sejauh ini pendapatan terbesar Eky di tarkam hanya mencapai Rp2 juta per laga.
Walaupun tidak meminta izin secara resmi, tapi Persela sendiri dianggap Eky tidak masalah dengan pilihannya main di tarkam.
"Sementara ini pemain dibebaskan karena kepastian kompetisi simpang siur. Kalau merujuk regulasi kontrak, ya jelas tidak boleh. Tapi bagaimana lagi, kompetisi tidak jelas. Manajemen juga paham kondisinya," ungkap pemain berusia 29 tahun itu.
Meski demikian, Eky juga mengakui ada risiko cedera yang menanti di tarkam. Ia memilih bermain aman dan tidak terlalu ngotot di lapangan.
"Setiap pemain pasti punya risiko cedera. Tidak cuma di tarkam, tapi saat di liga maupun saat latihan sendiri juga ada risiko cedera. Kita pemain harus super hati-hati, main aman. Tidak harus tampil 100 persen karena kan tarkam beda sama liga, bahaya. Tarkam tidak ada ikatan yang bisa ditanggung kalau cedera, tidak ada asuransi juga," jelas Eky.
![]() |
Eky menambahkan main di tarkam hanya menambah sedikit pemasukan dari pendapatan 25 persen dari gaji yang diterimanya dari Persela selama pandemi Covid-19. Ia lebih mengandalkan pemasukan tambahan dari usaha ternak lele yang sudah digelutinya sejak sebelum pandemi.
Semula, ternak lele dibuat untuk membantu anak-anak muda di kampung halamannya, Sragen, yang belum memiliki pekerjaan. Saat ini, pendapatan dari usaha yang ditekuninya itu tak jauh beda dengan 25 persen gaji dari Persela.
Pemasukan tambahan juga datang dari sang istri, Ardita Widya, yang merintis usaha konveksi khusus daster berdasarkan pesanan konsumen.
"Tujuannya bikin ternak lele dulu untuk mempekerjakan teman-teman di kampung yang tidak kerja saya kasih kegiatan dan sedikit pemasukan. Tapi alhamdulillah lancar sampai sekarang. Jika dibandingkan pemasukannya hampir sama-sama dengan 25 persen gaji dari Persela walaupun lebih besar dari Persela. Tapi yang penting dapur bisa ngebul saja," terangnya.
Eky sadar, tampil di tarkam memang berisiko. Namun, ia berharap penyebaran Covid-19 bisa teratasi dan sepak bola bergulir kembali seperti biasa.
"Semoga PSSI dan LIB bisa cepat memastikan waktu kapan liga bergulir karena banyak yang terlibat di dalamnya. Yang mencari nafkah tidak hanya pemain dan pelatih tapi banyak yang mata pencariannya bergantung dari sepak bola," tutup Eky.
(ttf/jun)