TESTIMONI

Nova Widianto: Rasa Malas, Butet, dan Gelar Juara Dunia

Nova Widianto | CNN Indonesia
Rabu, 17 Mar 2021 19:01 WIB
Nova Widianto pernah menjadi andalan Indonesia di cabor badminton nomor ganda campuran. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badminton merupakan jalan saya mendapat ketenaran dan kesuksesan, tetapi sebenarnya saya mengawali karier dengan rasa malas dan jemu latihan. Semua berubah ketika saya mulai bisa mencicipi hasil jerih payah keringat saya.

Ayah saya adalah comblang antara saya dan badminton. Beliau memang hobi badminton dan saya suka diajak bermain dan berlatih.

Ketika saya masih kelas 3 SD, waktu lagi senang-senangnya bermain bersama teman-teman, justru didaftarkan bapak ke klub badminton bernama PB Kusuma di Kota Klaten, Jawa Tengah. Masuk klub rasanya biasa saja, karena saya sebenarnya lebih suka main sepak bola.

Sejak kecil saya sudah akrab dengan latihan berat menjadi atlet badminton. Itu pula yang membuat saya merasa kurang sreg. Selain itu faktor lokasi tempat latihan yang jauh dari rumah juga menjadi ganjalan bagi saya.

Dulu itu kalau naik sepeda motor butuh waktu 30 menit. Kalau naik sepeda bareng teman-teman bisa sampai satu jam. Makanya dulu sering bolos, ha ha ha. Kalau saya tidak hadir latihan, pasti dicari sama ayah.

Meski ada rasa malas latihan, saya terus ikut klub. Sejak SD sampai kelas 1 SMP saya di PB Kusuma. Setelah itu saya pindah.

Waktu itu ada orang Klaten yang punya klub di Jakarta, namanya pak Rambat Mochtar, sedang liburan dan mencari-cari pemain. Melalui beliau saya kemudian dibawa ke PB Tangkas di Jakarta.

Saya yang waktu itu masih menjadi pemain tunggal putra, dites di Tangkas melawan pemain senior. Kalah jauh saya. Saya sama sekali tidak berpikir bakal masuk, tetapi ternyata tetap diterima. Kaget juga saya. Mungkin waktu itu mereka tidak lihat hasil, tetapi cara main dan prospek.

Nova Widianto sempat menuai sukses saat berpasangan dengan Vita Marissa. (Photo by TOSHIFUMI KITAMURA / AFP)

Sampai di Tangkas, saya juga ibaratnya masih setengah hati berlatih. Rasa malas terus mengikuti.

Meskipun tidak terlalu mencolok, bisa dibilang saya cukup lumayan ketika membela Tangkas di sektor tunggal putra. Namun pelatih ganda putra di Tangkas ketika itu sudah menyuruh saya pindah dari tunggal putra.

Kebetulan saya juga lebih sreg di ganda karena di tunggal latihannya lebih keras lantaran dituntut menguasai lapangan sendirian, berbeda jika kita bermain dobel.

Sementara pelatih tunggal putra belum mau melepas saya, jadilah saya bermain di dua sektor. Dalam masa itu, saya lebih sering menjadi juara di sektor ganda putra. Tarik menarik antara sektor ganda dan tunggal baru berakhir ketika saya dilepas ke ganda putra ketika masuk kategori dewasa atau sekitar 18-19 tahun.

Keinginan masuk pelatnas PBSI pun terkendala karena sejak awal seleksi saya masuk kategori tunggal dan baru di pertengahan pindah ke ganda. Selain itu faktor lain yang membuat saya belum bisa masuk pelatnas adalah kekalahan saya di Kejuaraan Nasional.

Pada saat itu, menjelang akhir 1990-an, Kejurnas adalah syarat mutlak seorang pemain bisa masuk pelatnas. Saya yang sudah mulai serius main di ganda putra justru kalah di final. Di situ mental saya sempat jatuh.

Beruntung bagi saya kemudian juga bermain di ganda campuran karena jalan menuju pelatnas Cipayung terbuka dari situ. Kemenangan saya di Seleknas (Seleksi Nasional) ganda campuran membuat saya masuk pelatnas pada awal 2000.

Impian terwujud, tetapi rasa malas latihan tidak hilang begitu saja. Jujur saja latihan di klub itu beratnya bukan main, kemudian masuk pelatnas tentu latihannya lebih berat lagi. Rasa enggan latihan itu perlahan hilang setelah saya mulai bisa meraih prestasi.

Dengan meraih prestasi, mendapatkan hadiah, dan mulai dipandang orang, saya mulai menyadari bahwa badminton adalah jalan hidup saya. Dari pemikiran itu rasa malas sudah tidak ada dalam kamus saya.

Sebenarnya saya masuk pelatnas itu tergolong sudah terlambat, waktu itu kira-kira usia 20 atau 21. Ketika masuk pelatnas saya agak minder juga karena ada pemain seumuran saya yang sudah tembus ranking lima besar dunia.

Tetapi ada hikmah di balik telat bergabung ke pelatnas, yakni saya sudah matang dan tidak perlu banyak penyesuaian serta cepat bisa bersaing. Dalam latih tanding pun ternyata saya bisa mengimbangi rekan-rekan yang sudah lebih dulu masuk pelatnas.

Karier saya mulai menanjak setelah dipasangkan dengan Vita Marissa, tetapi saya dan Vita tidak langsung dijodohkan. Semula saya berpasangan dengan pemain lain dan lebih banyak bermain di ajang-ajang Sirnas karena belum dipercaya main di luar negeri.

Sangat sulit mendapat kepercayaan dikirim membela Indonesia di event kelas dunia. Tetapi saya buktikan bahwa saya mampu meraih sukses di Sirnas dengan menjadi juara.

Setelah berjaya di event-event lokal nasional, saya kemudian diduetkan dengan Vita dan dipercaya main di luar negeri. Dipasangkan dengan Vita adalah berkah bagi saya. Saya tidak tahu pasti alasan pelatih menduetkan saya dengan Vita, tetapi yang saya tahu waktu itu Vita adalah pemain berbakat dan dia merupakan salah satu pemain yang sudah lama menghuni pelatnas meski usianya lebih muda dari saya.

Ketika awal tampil, kami langsung membuat kejutan. Sebagai pasangan baru berhasil menembus semifinal di Belanda dan Denmark dengan mengalahkan pasangan-pasangan top pada zamannya. Salah satu hasil terbaik di masa awal saya dengan Vita adalah emas ganda campuran di SEA Games 2001.

Torehan positif itu kemudian membuat saya optimistis bermain di ganda campuran, apalagi waktu itu saya bersaing di pelatnas dengan mas Tri Kusharjanto dan mas Bambang Supriyanto yang lebih senior. Saya yang masih muda pun melihat celah persaingan.

Bersama Vita saya meraih hasil yang cukup lumayan, bisa masuk final beberapa kali meskipun tidak bisa meraih kemenangan, karena memang lawan-lawannya adalah pemain senior dan masuk kategori unggulan seperti mas Tri dan mas Bambang serta Kim Dong Moon/Ra Kyung Min dari Korea Selatan yang menjadi idola saya.

Perjalanan saya bersama Vita harus berakhir pada 2004. Menjelang persiapan ke Olimpiade Athena, Vita mengalami cedera bahu. Saat itu sudah mepet ke Olimpiade sehingga Vita tidak bisa dioperasi. Kami menuju Olimpiade 2004 dengan persiapan seadanya karena kondisi Vita tersebut. Mendapat target perunggu, kami hanya sanggup sampai babak delapan besar.

Pulang dari Olimpiade saya dan Vita masih sempat bermain di PON dan dapat emas. Setelah itu kami mulai dipisah karena Vita cedera dan harus menjalani perawatan yang cukup lama sekitar enam bulan. Sementara saya tidak mungkin menunggu sampai Vita benar-benar fit. Pelatih kemudian mencarikan saya pasangan baru.

Saya sempat diproyeksikan main bareng dengan Jo Novita, tetapi tidak mendapat restu karena Jo waktu itu juga diandalkan di sektor ganda putri sehingga tidak diperbolehkan pindah ke ganda campuran.

Waktu itu saya tidak memilih pasangan, saya pikir saya masih muda dan siap dijodohkan dengan siapa saja yang ditentukan pelatih. Akhirnya saya dipertemukan dengan Liliyana Natsir. Butet ini juga awalnya dari ganda putri, tetapi kemudian diperbolehkan jadi partner saya di ganda campuran.

Sukses dan Mencari 'Butet' Baru


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :