Jakarta, CNN Indonesia --
Badminton merupakan jalan saya mendapat ketenaran dan kesuksesan, tetapi sebenarnya saya mengawali karier dengan rasa malas dan jemu latihan. Semua berubah ketika saya mulai bisa mencicipi hasil jerih payah keringat saya.
Ayah saya adalah comblang antara saya dan badminton. Beliau memang hobi badminton dan saya suka diajak bermain dan berlatih.
Ketika saya masih kelas 3 SD, waktu lagi senang-senangnya bermain bersama teman-teman, justru didaftarkan bapak ke klub badminton bernama PB Kusuma di Kota Klaten, Jawa Tengah. Masuk klub rasanya biasa saja, karena saya sebenarnya lebih suka main sepak bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kecil saya sudah akrab dengan latihan berat menjadi atlet badminton. Itu pula yang membuat saya merasa kurang sreg. Selain itu faktor lokasi tempat latihan yang jauh dari rumah juga menjadi ganjalan bagi saya.
Dulu itu kalau naik sepeda motor butuh waktu 30 menit. Kalau naik sepeda bareng teman-teman bisa sampai satu jam. Makanya dulu sering bolos, ha ha ha. Kalau saya tidak hadir latihan, pasti dicari sama ayah.
Meski ada rasa malas latihan, saya terus ikut klub. Sejak SD sampai kelas 1 SMP saya di PB Kusuma. Setelah itu saya pindah.
Waktu itu ada orang Klaten yang punya klub di Jakarta, namanya pak Rambat Mochtar, sedang liburan dan mencari-cari pemain. Melalui beliau saya kemudian dibawa ke PB Tangkas di Jakarta.
Saya yang waktu itu masih menjadi pemain tunggal putra, dites di Tangkas melawan pemain senior. Kalah jauh saya. Saya sama sekali tidak berpikir bakal masuk, tetapi ternyata tetap diterima. Kaget juga saya. Mungkin waktu itu mereka tidak lihat hasil, tetapi cara main dan prospek.
 Nova Widianto sempat menuai sukses saat berpasangan dengan Vita Marissa. (Photo by TOSHIFUMI KITAMURA / AFP) |
Sampai di Tangkas, saya juga ibaratnya masih setengah hati berlatih. Rasa malas terus mengikuti.
Meskipun tidak terlalu mencolok, bisa dibilang saya cukup lumayan ketika membela Tangkas di sektor tunggal putra. Namun pelatih ganda putra di Tangkas ketika itu sudah menyuruh saya pindah dari tunggal putra.
Kebetulan saya juga lebih sreg di ganda karena di tunggal latihannya lebih keras lantaran dituntut menguasai lapangan sendirian, berbeda jika kita bermain dobel.
Sementara pelatih tunggal putra belum mau melepas saya, jadilah saya bermain di dua sektor. Dalam masa itu, saya lebih sering menjadi juara di sektor ganda putra. Tarik menarik antara sektor ganda dan tunggal baru berakhir ketika saya dilepas ke ganda putra ketika masuk kategori dewasa atau sekitar 18-19 tahun.
Keinginan masuk pelatnas PBSI pun terkendala karena sejak awal seleksi saya masuk kategori tunggal dan baru di pertengahan pindah ke ganda. Selain itu faktor lain yang membuat saya belum bisa masuk pelatnas adalah kekalahan saya di Kejuaraan Nasional.
Pada saat itu, menjelang akhir 1990-an, Kejurnas adalah syarat mutlak seorang pemain bisa masuk pelatnas. Saya yang sudah mulai serius main di ganda putra justru kalah di final. Di situ mental saya sempat jatuh.
Beruntung bagi saya kemudian juga bermain di ganda campuran karena jalan menuju pelatnas Cipayung terbuka dari situ. Kemenangan saya di Seleknas (Seleksi Nasional) ganda campuran membuat saya masuk pelatnas pada awal 2000.
Impian terwujud, tetapi rasa malas latihan tidak hilang begitu saja. Jujur saja latihan di klub itu beratnya bukan main, kemudian masuk pelatnas tentu latihannya lebih berat lagi. Rasa enggan latihan itu perlahan hilang setelah saya mulai bisa meraih prestasi.
Dengan meraih prestasi, mendapatkan hadiah, dan mulai dipandang orang, saya mulai menyadari bahwa badminton adalah jalan hidup saya. Dari pemikiran itu rasa malas sudah tidak ada dalam kamus saya.
Sebenarnya saya masuk pelatnas itu tergolong sudah terlambat, waktu itu kira-kira usia 20 atau 21. Ketika masuk pelatnas saya agak minder juga karena ada pemain seumuran saya yang sudah tembus ranking lima besar dunia.
Tetapi ada hikmah di balik telat bergabung ke pelatnas, yakni saya sudah matang dan tidak perlu banyak penyesuaian serta cepat bisa bersaing. Dalam latih tanding pun ternyata saya bisa mengimbangi rekan-rekan yang sudah lebih dulu masuk pelatnas.
Karier saya mulai menanjak setelah dipasangkan dengan Vita Marissa, tetapi saya dan Vita tidak langsung dijodohkan. Semula saya berpasangan dengan pemain lain dan lebih banyak bermain di ajang-ajang Sirnas karena belum dipercaya main di luar negeri.
Sangat sulit mendapat kepercayaan dikirim membela Indonesia di event kelas dunia. Tetapi saya buktikan bahwa saya mampu meraih sukses di Sirnas dengan menjadi juara.
Setelah berjaya di event-event lokal nasional, saya kemudian diduetkan dengan Vita dan dipercaya main di luar negeri. Dipasangkan dengan Vita adalah berkah bagi saya. Saya tidak tahu pasti alasan pelatih menduetkan saya dengan Vita, tetapi yang saya tahu waktu itu Vita adalah pemain berbakat dan dia merupakan salah satu pemain yang sudah lama menghuni pelatnas meski usianya lebih muda dari saya.
[Gambas:Video CNN]
Ketika awal tampil, kami langsung membuat kejutan. Sebagai pasangan baru berhasil menembus semifinal di Belanda dan Denmark dengan mengalahkan pasangan-pasangan top pada zamannya. Salah satu hasil terbaik di masa awal saya dengan Vita adalah emas ganda campuran di SEA Games 2001.
Torehan positif itu kemudian membuat saya optimistis bermain di ganda campuran, apalagi waktu itu saya bersaing di pelatnas dengan mas Tri Kusharjanto dan mas Bambang Supriyanto yang lebih senior. Saya yang masih muda pun melihat celah persaingan.
Bersama Vita saya meraih hasil yang cukup lumayan, bisa masuk final beberapa kali meskipun tidak bisa meraih kemenangan, karena memang lawan-lawannya adalah pemain senior dan masuk kategori unggulan seperti mas Tri dan mas Bambang serta Kim Dong Moon/Ra Kyung Min dari Korea Selatan yang menjadi idola saya.
Perjalanan saya bersama Vita harus berakhir pada 2004. Menjelang persiapan ke Olimpiade Athena, Vita mengalami cedera bahu. Saat itu sudah mepet ke Olimpiade sehingga Vita tidak bisa dioperasi. Kami menuju Olimpiade 2004 dengan persiapan seadanya karena kondisi Vita tersebut. Mendapat target perunggu, kami hanya sanggup sampai babak delapan besar.
Pulang dari Olimpiade saya dan Vita masih sempat bermain di PON dan dapat emas. Setelah itu kami mulai dipisah karena Vita cedera dan harus menjalani perawatan yang cukup lama sekitar enam bulan. Sementara saya tidak mungkin menunggu sampai Vita benar-benar fit. Pelatih kemudian mencarikan saya pasangan baru.
Saya sempat diproyeksikan main bareng dengan Jo Novita, tetapi tidak mendapat restu karena Jo waktu itu juga diandalkan di sektor ganda putri sehingga tidak diperbolehkan pindah ke ganda campuran.
Waktu itu saya tidak memilih pasangan, saya pikir saya masih muda dan siap dijodohkan dengan siapa saja yang ditentukan pelatih. Akhirnya saya dipertemukan dengan Liliyana Natsir. Butet ini juga awalnya dari ganda putri, tetapi kemudian diperbolehkan jadi partner saya di ganda campuran.
Pilihan pelatih tidak salah. Saya dan Butet cocok dan langsung dapat hasil yang memuaskan bersama Butet. Kali pertama main di China Open itu semifinal dan Singapore Open juara. Bisa dibilang itu debut yang luar biasa dan dari situ pelatih kemudian memilih cari partner baru yang bagus untuk Vita, sementara saya tetap bersama Butet.
Dari situ malah Indonesia jadi punya dua kekuatan di ganda campuran karena Vita yang kemudian dipasangkan dengan Flandy Limpele juga ternyata bisa bersaing di pentas dunia.
Sementara saya dan Butet juga bisa rutin tampil sebagai juara atau paling tidak runner up di turnamen-turnamen top badminton. Bersama Butet saya pernah jadi juara Asia, juara dunia, dan juara Piala Dunia.
Tentu kesuksesan menjadi juara dunia adalah pencapaian terbaik, karena berbicara pencapaian terbaik pasti kan harus jadi juara. Ketika saya masih aktif bermain, ada dua kejuaraan kategori juara dunia yaitu Piala Dunia dan Kejuaraan Dunia BWF. Tercatat tiga tahun beruntun saya bisa jadi juara di dua agenda tersebut.
Belum terlalu lama bersama Butet, kami sukses di Kejuaraan Dunia BWF 2005. Jadi satu-satunya wakil Indonesia dan menempati unggulan keempat, kami cukup mulus ke final dan menang lawan Xie Zhongbo/Zhang Yawen. Tapi di Piala Dunia Badminton 2005 kami kalah dari Zhongbo/Yawen. Pada saat itu kami memang saling mengalahkan.
Kekalahan dari pasangan China itu kami balas setahun kemudian di Piala Dunia 2006. Kami kalahkan Zhongbo/Yawen dan setelah itu tidak ada lagi Piala Dunia. Ibaratnya kami yang terakhir dan gelarnya tidak akan direbut ganda lain.
Setahun selanjutnya kami juara lagi di Kejuaraan Dunia BWF. Boleh dibilang itu adalah duel Indonesia vs China karena di semifinal dua pasangan Indonesia bertemu dua pasangan China. Saya dan Butet ketemu Zhongbo/Yawen, Flandy/Vita lawan Zheng Bo/Gao Ling. Di final saya dan Butet mengalahkan Bo/Ling.
Keberhasilan saya jelas bukan usaha sendiri. Ada peran besar Butet. Dia itu memang pemain luar biasa. Tidak dipungkiri dia punya bakat, tetapi yang paling penting itu karakternya yang tidak pernah mau kalah dan tidak cepat puas.
Dengan modal permainan yang bagus dan ditopang karakter yang kuat, saya menyesal tidak bisa mengantar Butet jadi juara Olimpiade dan mempersembahkan emas untuk Indonesia.
Setelah saya dan Vita gagal di Olimpiade 2004, tentu ada keinginan kuat jadi juara di Olimpiade kedua saya. Saya dan Butet unggulan pertama. Waktu itu masih sistem gugur dari babak pertama, belum setengah kompetisi seperti sekarang.
Pertandingan babak pertama alot lawan pasangan Korea tapi menang dua gim, babak perempat final juga menang dua gim. Di semifinal kami ketemu He Hanbin/Yu Yang main tiga gim.
Di final ketemu Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung yang bukan unggulan, tapi mereka mengalahkan Flandy/Vita di semifinal.
Dari semifinal, di mana kami main cukup dramatis, tidak ada waktu istirahat. Besoknya kami langsung main di final. Saya merasa persiapan sudah oke, tidak ada gangguan tidur, tetapi begitu sampai final saya seperti tidak ada tenaga. Kami kalah di final dan nyesek-nya bukan main.
 Nova Widianto (kiri) meraih perak di Olimpiade 2008. (Photo by INDRANIL MUKHERJEE / AFP) |
Jujur setelah Olimpiade 2008 saya sudah merasa tidak bisa mengimbangi kemauan Butet yang kuat, yang bisa terus bangkit, masih mau gelar ini-itu, di sisi lain juga ada faktor usia yang berpengaruh pada fisik saya.
Di situ saya mulai ada pikiran untuk mundur jadi partner Butet. Dari segi umur kami berbeda jauh dan saya sudah mulai kehilangan rasa lapar jadi juara.
Setelah Olimpiade kami masih dipasangkan. Masih bisa jadi juara di beberapa turnamen, tetapi juga tak bisa membawa pulang gelar juara All England.
Kekalahan di All England juga jadi hal yang tidak mengenakkan, apalagi yang 2010. Setelah kalah dari Zheng Bo/Gao Ling di final All England 2008, saya dan Butet bisa tembus final lagi di 2010. Waktu itu ketemu Zhang Nan/Zhao Yunlei, pasangan ini baru muncul dan mereka juga dari kualifikasi, kami kalah.
Padahal saya sudah optimistis, sudah sempat memimpin dan saya juga berpikir, "Wah ini All England pertama saya". Tapi nyatanya nasib berkata lain. Mungkin saya over confidence waktu itu.
Saya kemudian resmi mundur dari pelatnas setelah Japan Open menjelang Asian Games 2010. Ketika itu sudah mulai kalah-kalah terus dan pelatih sempat berpikir untuk ganti pasangan. Tetapi saya memilih mundur dari pelatnas.
Setelah saya mundur, Butet sempat dipasangkan dengan beberapa pemain sampai akhirnya Tontowi Ahmad yang jadi pasangan. Jauh sebelum Owi menjadi partner Butet, saya pernah bilang sama Owi dia akan jadi pemain bagus. Saya lihat Owi ini mirip-mirip Butet yang tidak gampang menyerah dan tidak mau kalah.
Prestasi di ajang badminton kelas dunia saya dapat bersama Vita dan Butet, tetapi pasangan ganda campuran terbaik dalam hidup saya jelas Eny Widiowati yang sekarang menjadi pasangan di luar lapangan sekaligus ibu dari anak saya.
Saat masih di klub saya pernah berpasangan dengan istri saya sampai kemudian dia masuk pelatnas lebih dulu dibanding saya, jadi bisa dibilang salah satu motivasi saya menyusul dia ke pelatnas.
Kehidupan pelatnas tidak bisa lepas dari diri saya. Setelah belasan tahun tinggal di asrama, saya kemudian masuk pelatnas lagi sebagai pelatih. Dulu saya dilatih kak Richard Mainaky, sekarang jadi asistennya. Dulu saya main bareng Liliyana, sekarang pindah posisi.
Berkaca pada pengalaman sebagai pemain, sebagai pelatih saya tidak hanya melihat bakat seorang pemain, tetapi juga karakternya seperti ketika saya memandang Butet yang punya karakter kuat.
Kalau soal bakat dan teknis, Indonesia jelas punya banyak harapan. Enggak ada kekurangan dari sisi itu, karena banyak sumber daya manusia. Tetapi itu tadi masalah karakter jadi ganjalan buat banyak pemain, termasuk di top level.
Jika dilihat misalnya Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti atau Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja, karena lebih sering tampil dan terlihat, mereka bisa mengalahkan pasangan kuat dan sekaligus bisa dikalahkan pasangan junior atau yang berada di bawah secara ranking.
Bukan cuma Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria, pemain-pemain lain yang di bawahnya juga dituntut tampil konsisten. Kadang ada yang bagus di level junior, mulai masuk ranking 20 besar, kemudian susah bersaing dan mandek. Mereka harus paham ketika mulai menuai sukses maka akan ada harapan-harapan lebih dan itu harus di-manage.
Semua pemain harus lebih serius di latihan. Penampilan yang konsisten muncul dari latihan yang konsisten juga. Karena apa yang ditampilkan di pertandingan itu adalah hasil dan kebiasaan di latihan. Kadang ada pemain yang berpikir, "Nanti di pertandingan saja saya serius dan 100 persen". Padahal pemain akan lebih bagus tampil di latihan karena di dalam pertandingan pasti ada rasa tegang dan rasa beban.
Para pemain ini juga harus memunculkan keinginan memperbaiki penampilan, kemauan maju, dan rasa mau jadi juara di latihan itu. Semua rasa seperti itu ada di dalam diri masing-masing pemain. Saya dan tim pelatih hanya mengarahkan dan mengingatkan dari luar, soal teknik, soal makanan sehat, soal jaga kondisi.
Faktor lain yang saya lihat menghambat perkembangan pemain-pemain di pelatnas adalah rasa cepat puas. Sekarang para pemain ini sudah punya kontrak sponsor pribadi, bisa jadi itu membuat mereka terlena. Padahal dari uang yang didapat, mereka harusnya bisa termotivasi. Semua itu kembali ke pola pikir masing-masing pemain.
Sementara kalau saya lihat sekarang ini, dan saya sering katakan ke pemain-pemain, ganda campuran di dunia tidak ada yang luar biasa. Hanya saja pemain-pemain luar negeri memiliki konsistensi.