TESTIMONI

Nova Widianto: Rasa Malas, Butet, dan Gelar Juara Dunia

Nova Widianto | CNN Indonesia
Rabu, 17 Mar 2021 19:01 WIB
Nova Widianto yang meraih sukses di ganda campuran bersama Liliyana Natsir mengaku malas latihan ketika memulai karier di badminton.
Nova Widianto kini menjadi asisten pelatih ganda campuran di Pelatnas PBSI. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah)

Pilihan pelatih tidak salah. Saya dan Butet cocok dan langsung dapat hasil yang memuaskan bersama Butet. Kali pertama main di China Open itu semifinal dan Singapore Open juara. Bisa dibilang itu debut yang luar biasa dan dari situ pelatih kemudian memilih cari partner baru yang bagus untuk Vita, sementara saya tetap bersama Butet.

Dari situ malah Indonesia jadi punya dua kekuatan di ganda campuran karena Vita yang kemudian dipasangkan dengan Flandy Limpele juga ternyata bisa bersaing di pentas dunia.

Sementara saya dan Butet juga bisa rutin tampil sebagai juara atau paling tidak runner up di turnamen-turnamen top badminton. Bersama Butet saya pernah jadi juara Asia, juara dunia, dan juara Piala Dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentu kesuksesan menjadi juara dunia adalah pencapaian terbaik, karena berbicara pencapaian terbaik pasti kan harus jadi juara. Ketika saya masih aktif bermain, ada dua kejuaraan kategori juara dunia yaitu Piala Dunia dan Kejuaraan Dunia BWF. Tercatat tiga tahun beruntun saya bisa jadi juara di dua agenda tersebut.

Belum terlalu lama bersama Butet, kami sukses di Kejuaraan Dunia BWF 2005. Jadi satu-satunya wakil Indonesia dan menempati unggulan keempat, kami cukup mulus ke final dan menang lawan Xie Zhongbo/Zhang Yawen. Tapi di Piala Dunia Badminton 2005 kami kalah dari Zhongbo/Yawen. Pada saat itu kami memang saling mengalahkan.

Kekalahan dari pasangan China itu kami balas setahun kemudian di Piala Dunia 2006. Kami kalahkan Zhongbo/Yawen dan setelah itu tidak ada lagi Piala Dunia. Ibaratnya kami yang terakhir dan gelarnya tidak akan direbut ganda lain.

Setahun selanjutnya kami juara lagi di Kejuaraan Dunia BWF. Boleh dibilang itu adalah duel Indonesia vs China karena di semifinal dua pasangan Indonesia bertemu dua pasangan China. Saya dan Butet ketemu Zhongbo/Yawen, Flandy/Vita lawan Zheng Bo/Gao Ling. Di final saya dan Butet mengalahkan Bo/Ling.

Keberhasilan saya jelas bukan usaha sendiri. Ada peran besar Butet. Dia itu memang pemain luar biasa. Tidak dipungkiri dia punya bakat, tetapi yang paling penting itu karakternya yang tidak pernah mau kalah dan tidak cepat puas.

Dengan modal permainan yang bagus dan ditopang karakter yang kuat, saya menyesal tidak bisa mengantar Butet jadi juara Olimpiade dan mempersembahkan emas untuk Indonesia.

Setelah saya dan Vita gagal di Olimpiade 2004, tentu ada keinginan kuat jadi juara di Olimpiade kedua saya. Saya dan Butet unggulan pertama. Waktu itu masih sistem gugur dari babak pertama, belum setengah kompetisi seperti sekarang.

Pertandingan babak pertama alot lawan pasangan Korea tapi menang dua gim, babak perempat final juga menang dua gim. Di semifinal kami ketemu He Hanbin/Yu Yang main tiga gim.

Di final ketemu Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung yang bukan unggulan, tapi mereka mengalahkan Flandy/Vita di semifinal.

Dari semifinal, di mana kami main cukup dramatis, tidak ada waktu istirahat. Besoknya kami langsung main di final. Saya merasa persiapan sudah oke, tidak ada gangguan tidur, tetapi begitu sampai final saya seperti tidak ada tenaga. Kami kalah di final dan nyesek-nya bukan main.

(From L) Silver medallists Nova Widianto and liliyana Natsir from Indonesia, gold medallists Lee Hyojung and Lee Yongdae of South Korea and bronze medallists He Hanbin and Yu Yang of China celebrate on the podium of  the mixed doubles badminton of the 2008 Beijing Olympic Games on August 17, 2008, at the Beijing University of Technology Gymnasium.  AFP PHOTO/Indranil MUKHERJEE (Photo by INDRANIL MUKHERJEE / AFP)Nova Widianto (kiri) meraih perak di Olimpiade 2008. (Photo by INDRANIL MUKHERJEE / AFP)

Jujur setelah Olimpiade 2008 saya sudah merasa tidak bisa mengimbangi kemauan Butet yang kuat, yang bisa terus bangkit, masih mau gelar ini-itu, di sisi lain juga ada faktor usia yang berpengaruh pada fisik saya.

Di situ saya mulai ada pikiran untuk mundur jadi partner Butet. Dari segi umur kami berbeda jauh dan saya sudah mulai kehilangan rasa lapar jadi juara.

Setelah Olimpiade kami masih dipasangkan. Masih bisa jadi juara di beberapa turnamen, tetapi juga tak bisa membawa pulang gelar juara All England.

Kekalahan di All England juga jadi hal yang tidak mengenakkan, apalagi yang 2010. Setelah kalah dari Zheng Bo/Gao Ling di final All England 2008, saya dan Butet bisa tembus final lagi di 2010. Waktu itu ketemu Zhang Nan/Zhao Yunlei, pasangan ini baru muncul dan mereka juga dari kualifikasi, kami kalah.

Padahal saya sudah optimistis, sudah sempat memimpin dan saya juga berpikir, "Wah ini All England pertama saya". Tapi nyatanya nasib berkata lain. Mungkin saya over confidence waktu itu.

Saya kemudian resmi mundur dari pelatnas setelah Japan Open menjelang Asian Games 2010. Ketika itu sudah mulai kalah-kalah terus dan pelatih sempat berpikir untuk ganti pasangan. Tetapi saya memilih mundur dari pelatnas.

Setelah saya mundur, Butet sempat dipasangkan dengan beberapa pemain sampai akhirnya Tontowi Ahmad yang jadi pasangan. Jauh sebelum Owi menjadi partner Butet, saya pernah bilang sama Owi dia akan jadi pemain bagus. Saya lihat Owi ini mirip-mirip Butet yang tidak gampang menyerah dan tidak mau kalah.

Prestasi di ajang badminton kelas dunia saya dapat bersama Vita dan Butet, tetapi pasangan ganda campuran terbaik dalam hidup saya jelas Eny Widiowati yang sekarang menjadi pasangan di luar lapangan sekaligus ibu dari anak saya.

Saat masih di klub saya pernah berpasangan dengan istri saya sampai kemudian dia masuk pelatnas lebih dulu dibanding saya, jadi bisa dibilang salah satu motivasi saya menyusul dia ke pelatnas.

Banner Live Streaming MotoGP 2021

Kehidupan pelatnas tidak bisa lepas dari diri saya. Setelah belasan tahun tinggal di asrama, saya kemudian masuk pelatnas lagi sebagai pelatih. Dulu saya dilatih kak Richard Mainaky, sekarang jadi asistennya. Dulu saya main bareng Liliyana, sekarang pindah posisi.

Berkaca pada pengalaman sebagai pemain, sebagai pelatih saya tidak hanya melihat bakat seorang pemain, tetapi juga karakternya seperti ketika saya memandang Butet yang punya karakter kuat.

Kalau soal bakat dan teknis, Indonesia jelas punya banyak harapan. Enggak ada kekurangan dari sisi itu, karena banyak sumber daya manusia. Tetapi itu tadi masalah karakter jadi ganjalan buat banyak pemain, termasuk di top level.

Jika dilihat misalnya Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti atau Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja, karena lebih sering tampil dan terlihat, mereka bisa mengalahkan pasangan kuat dan sekaligus bisa dikalahkan pasangan junior atau yang berada di bawah secara ranking.

Bukan cuma Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria, pemain-pemain lain yang di bawahnya juga dituntut tampil konsisten. Kadang ada yang bagus di level junior, mulai masuk ranking 20 besar, kemudian susah bersaing dan mandek. Mereka harus paham ketika mulai menuai sukses maka akan ada harapan-harapan lebih dan itu harus di-manage.

Semua pemain harus lebih serius di latihan. Penampilan yang konsisten muncul dari latihan yang konsisten juga. Karena apa yang ditampilkan di pertandingan itu adalah hasil dan kebiasaan di latihan. Kadang ada pemain yang berpikir, "Nanti di pertandingan saja saya serius dan 100 persen". Padahal pemain akan lebih bagus tampil di latihan karena di dalam pertandingan pasti ada rasa tegang dan rasa beban.

Para pemain ini juga harus memunculkan keinginan memperbaiki penampilan, kemauan maju, dan rasa mau jadi juara di latihan itu. Semua rasa seperti itu ada di dalam diri masing-masing pemain. Saya dan tim pelatih hanya mengarahkan dan mengingatkan dari luar, soal teknik, soal makanan sehat, soal jaga kondisi.

Faktor lain yang saya lihat menghambat perkembangan pemain-pemain di pelatnas adalah rasa cepat puas. Sekarang para pemain ini sudah punya kontrak sponsor pribadi, bisa jadi itu membuat mereka terlena. Padahal dari uang yang didapat, mereka harusnya bisa termotivasi. Semua itu kembali ke pola pikir masing-masing pemain.

Sementara kalau saya lihat sekarang ini, dan saya sering katakan ke pemain-pemain, ganda campuran di dunia tidak ada yang luar biasa. Hanya saja pemain-pemain luar negeri memiliki konsistensi.

(nva/har)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER