Badminton World Federation (BWF) dan panitia penyelenggara menggelar All England dalam kebingungan. Alhasil, Indonesia dipaksa mundur di tengah jalan dengan situasi ketidakjelasan.
Ketika publik tengah menikmati kemenangan yang diraih oleh Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, Jonatan Christie, dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh kabar Indonesia harus mengundurkan diri dari All England.
20 dari 24 orang yang ada dalam rombongan skuad All England Indonesia mendapat pemberitahuan via email tentang kewajiban isolasi. Ke-20 orang tersebut wajib isolasi setelah ada penumpang yang positif covid-19 dalam penerbangan yang mereka tumpangi dari Istanbul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BWF menegaskan tidak bisa apa-apa karena ini kewenangan dari Pemerintah Inggris. Indonesia pun meradang lantaran merasa tidak diperlakukan adil dalam hal ini.
Dalam pedoman BWF Safety Protocols - Operating Procedures - All England 2021, terdapat aturan yang menjelaskan tentang Close Contact Tracing yang didasarkan pada Prosedur Pemerintah Inggris.
![]() |
Di sana disebutkan bahwa 'Travelled in the same vehicle or a plane (even on a short journey)' dikategorikan sebagai close contact tracing. Lalu disebutkan bahwa 'Kontak dekat harus isolasi mandiri selama 10 hari penuh terhitung pada hari terakhir sejak mereka kontak dengan orang tersebut [penumpang yang positif covid-19].
Peraturan tersebut tentu berlaku mutlak. Sulit untuk digugat.
Pada akhirnya, BWF hanya bisa berkata tidak bisa berbuat apa-apa.
Merujuk pada pasal-pasal di pedoman tersebut, BWF sepertinya hanya berharap semua baik-baik saja, tanpa punya prosedur penanganan darurat.
BWF tidak mempersiapkan sistem bubble seperti halnya di Thailand dengan meminta peserta datang lebih awal jauh-jauh hari. Padahal merujuk peraturan ketat yang diterapkan oleh Pemerintah Inggris, BWF seharusnya bisa menerapkan pedoman tersebut pada peserta turnamen.
Andai ada jeda 10 hari atau lebih untuk penerapan sistem bubble sebelum turnamen, kasus seperti yang dialami Indonesia bisa diantisipasi karena ada jarak untuk isolasi diri.
Namun BWF dan panitia penyelenggara dalam Calendar Action Plan hanya mencantumkan agenda tercepat adalah penyerahan tes Covid-19 sebelum keberangkatan yaitu yang harus dilakukan pada 11 Maret lalu.
Kondisi itu membuat BWF tentu hanya mengandalkan doa dan harap bahwa seluruh peserta yang datang ke All England tidak berada satu pesawat dengan satu pun penumpang yang terinfeksi Covid-19.
Ketidakcakapan BWF atau lemahnya posisi mereka makin terlihat karena mereka tidak bisa melakukan lobi agar ada kelonggaran untuk ajang khusus seperti All England.
Andai BWF punya kedudukan kuat, saat mereka dan panitia penyelenggara All England memutuskan tak ada sistem bubble sebelum turnamen, seharusnya mereka sejak awal bisa memuluskan negosiasi agar ada jalan bila terjadi hal-hal darurat.
Misal dalam kasus Indonesia, bila saja BWF bisa meyakinkan Pemerintah Inggris bahwa yang perlu dilakukan setelah tracing NHS adalah tes ulang Covid-19 pada seluruh skuad Indonesia, tentu hal tersebut bisa lebih diterima.
Andai nantinya dalam tes ulang ditemukan kasus positif pada skuad Indonesia, tentu Indonesia bakal legowo untuk mengundurkan diri dari All England.
Sedangkan yang terjadi pada Rabu (17/3) adalah ketidakjelasan. Indonesia sudah dinyatakan negatif Covid-19 pada saat tiba di Birmingham dan tidak punya kesempatan untuk tes ulang. Kabar tersebut juga baru datang empat hari setelah Indonesia tiba di Birmingham.
Situasi makin membingungkan karena Neslihan Yigit dari Turki yang berada di pesawat yang sama tidak langsung dipaksa mundur dari turnamen. Neslihan Yigit baru dinyatakan WO beberapa saat babak kedua dimulai. Mohammad Ahsan dan tiga orang lainnya dalam skuad Indonesia juga tidak mendapat email kewajiban isolasi.
![]() |
Tentang siapa yang positif di pesawat, posisi duduk, dan kapan tes dilakukan juga belum diungkap NHS. Hal tersebut makin menjelaskan ketidakcakapan BWF dalam mengatur penyelenggaraan dan penanganan situasi darurat di All England.
Situasi kemudian semakin ruwet lantaran kasus positif temuan tes BWF di tim Thailand, India, dan Denmark kemudian berubah menjadi negatif pada tes berikutnya.
Sementara untuk PBSI, dengan asumsi bahwa mereka sudah membaca BWF Safety Protocols - Operating Procedures - All England 2021, tentu sejak awal juga menerapkan prinsip bertaruh dalam keberangkatan ke Birmingham. Hal itu juga dilakukan oleh pebulutangkis dari negara-negara lain yang menggunakan pesawat komersial.
Dengan menggunakan pesawat komersial, tentu bukan hanya persiapan fisik dan teknik yang dilakukan sebelum keberangkatan. Harapan bahwa tidak ada penumpang yang positif, di antara puluhan atau ratusan penumpang di pesawat tentu terus harus diapungkan.
Hal-hal itu jelas sulit untuk dikendalikan, karena yang bisa dilakukan hanyalah menjaga diri sendiri.
Indonesia Dipaksa Mundur, PR Besar BWF
Saat pandemi corona melanda dunia tahun lalu, mudah diprediksi bahwa badminton adalah salah satu olahraga yang sulit untuk bangkit dan cepat memulai roda kompetisi.
Ada beberapa karakteristik dari badminton yang membuat kompetisi sulit untuk cepat diputar kembali.
Badminton memang bukan olahraga kontak fisik langsung. Risiko penularan kecil di lapangan bila dibandingkan sepak bola atau basket yang bersentuhan langsung.
Badminton juga olahraga individu, bukan tim. Maksimal hanya ada empat pemain di lapangan dengan dipisahkan jarak dan nyaris tidak pernah bersinggungan langsung.
Meski sebagai olahraga individu, badminton cenderung masuk dalam kategori olahraga rombongan besar. Indonesia, China, Jepang, dan Korea Selatan adalah negara-negara yang biasa mengirim pemain dalam jumlah banyak ke tiap turnamen.
Walaupun hitungannya olahraga individu, pemain-pemain dari negara tersebut, juga negara-negara lain bakal pergi bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Hal ini bakal jadi rumit bila membicarakan soal kontak langsung, jaga jarak, dan hal lain.
![]() |
Kedua, karakter kompetisi badminton di bawah BWF adalah seri turnamen dari negara ke negara. Biasanya BWF menyelenggarakan rangkaian 2-3 turnamen di 2-3 negara yang berbeda tiap pekan secara berurutan.
Segala macam pembatasan dan peraturan ketat terkait masuk-keluar di tiap negara saat masa pandemi corona yang berbeda-beda, membuat segala macam mekanisme administrasi dan birokrasi untuk menggelar turnamen jadi rumit.
Terbukti, kompetisi BWF terhenti lama dan hanya menyelenggarakan Denmark Open yang tidak banyak diikuti pemain Asia di Oktober 2020. Di luar itu, tidak ada turnamen yang bisa digelar.
Barulah di awal 2021, BWF mengumumkan bakal menggelar tiga rangkaian turnamen di Thailand dengan menerapkan sistem bubble. Turnamen tersebut berhasil berjalan baik meski tidak diikuti China dan Jepang yang membatalkan keikutsertaan mereka setelah Kento Momota terbukti positif Covid-19 jelang keberangkatan.
Sukses di Thailand tak lepas dari peran dan dukungan maksimal Asosiasi Badminton Thailand dan juga negara tersebut. Dengan sistem bubble, pemain diminta datang 4 Januari, lebih dari sepekan sebelum turnamen dimulai.
Hal itu dilakukan demi pemeriksaan menyeluruh sekaligus persiapan andai terjadi kasus positif dan kontak erat dalam sistem bubble yang dibuat.
Setelah sukses di Thailand, BWF ternyata tidak mengadopsi sistem di Thailand. Tentu butuh biaya besar untuk bisa mengadakan sistem bubble seperti di Thailand, namun hal itu jadi pilihan paling logis di tengah pandemi corona yang belum jelas akhirnya.
BWF bisa mencontoh Dorna di MotoGP yang menerapkan dua seri dalam satu sirkuit pada tahun lalu demi meminimalisir pergerakan masuk-keluar negara sekaligus meminimalisir penularan Covid-19.
Namun BWF ternyata tetap tak punya kekuatan untuk mendorong terciptanya rangkaian dua turnamen di satu negara dengan sistem bubble. Seri turnamen masih berlangsung di tiap negara dan BWF juga sempat mengundurkan jadwal turnamen seperti Malaysia Open, Singapore Open, dan Indonesia Open yang sampai saat ini belum jelas jadwalnya.
![]() |
Ketidakmampuan BWF dalam hal negosiasi terhadap otoritas berwenang di tiap negara dan penerapan aturan BWF yang kurang baik bakal menyulitkan penyelenggaraan turnamen badminton dalam beberapa waktu ke depan.
Pasalnya, para pemain badminton nantinya akan selalu berangkat dengan kecemasan, kekhawatiran, dan hal-hal lain di luar persiapan fisik dan teknik setiap berangkat ke suatu negara.
Tentu menyedihkan bila pada akhirnya mereka terhambat peraturan sebuah negara terkait covid-19 sedangkan BWF tak bisa melakukan apa-apa.
(har)