Dari aspek finansial, kantong 12 klub itu memang akan semakin tebal andai European Super League bisa berjalan sesuai rencana pada 2023/2024. Hitungan gampangnya klub yang jadi juara European Super League bisa mendapatkan hampir 400 juta euro (Rp6,9 triliun).
Jumlah pemasukan ini nyaris tiga kali lipat nilainya daripada setiap klub yang harus berjuang di Liga Champions. Setiap klub harus melalui fase grup, fase 16 besar, 8 besar, empat besar, hingga final hanya untuk mendapatkan uang hadiah 120 juta euro.
Belum lagi, seluruh peserta European Super League dilaporkan bakal mendapat 3,5 miliar euro (Rp61 triliun) sebagai permulaan dari raksasa perbankan asal AS, JP Morgan Chase & Co. Itu ditambah pemasukan tambahan 1,95 miliar euro (Rp34 triliun) dengan rincian 488 juta euro pada termin pertama dan 585 juta euro pada termin kedua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian sebanyak 30 persen pembayaran lainnya akan dibagikan berdasarkan koefisien klub yang dicapai selama 10 tahun terakhir. Sisanya, 292 juta euro akan dibagikan sebagai hadiah tambahan.
Bahkan, diperkirakan hak siar yang dihasilkan European Super League bisa mencapai 10 miliar euro (Rp174 triliun), dibandingkan dengan empat juta euro yang didapat UEFA pada tahun 2020.
![]() |
Angka-angka fantastis ini yang membuat UEFA kalang kabut. Apalagi, klub-klub tersebut memiliki nama besar di Eropa dan dunia. Nama-nama tim tersebut tentu berpengaruh signifikan untuk UEFA ketika hendak melakukan negosiasi dengan sponsor atau berbicara soal hak siar televisi.
Tanpa 12 klub tersebut maka sponsor dan pendapatan dari hak siar UEFA niscaya akan berkurang signifikan. Hal itu tentu akan berdampak pada pembagian kue iklan atau hak siar yang lebih kecil buat tim-tim peserta.
Munculnya niatan membentuk European Super League juga sudah selayaknya membuat UEFA berbenah. Utamanya tentu bagaimana menjadi pihak yang lebih adil dan bijak, bukan hanya soal hak yang mesti didapatkan oleh klub tetapi juga memanusiakan para pesepak bola yang jadi tokoh utama di lapangan hijau.
Gelandang Real Madrid dan timnas Jerman, Toni Kroos pernah mengecam habis UEFA dan FIFA. Kroos mengatakan para pemain diperlakukan layaknya boneka oleh dua organisasi sepak bola terkemuka itu.
Banyaknya turnamen dinilai Kroos melelahkan buat pemain. Pada 2018, UEFA menggagas turnamen UEFA Nations League yang menambah padat kalender pertandingan untuk pemain yang memperkuat klub dan timnas.
"Pada akhirnya, ketika kompetisi baru ditetapkan, kami cuma boneka FIFA dan UEFA. Mereka cuma mengeruk uang sebanyak mungkin dan menguras fisik pemain," kata Toni Kroos dalam podcast Einfach mal Luppen, yang digagasnya bersama sang adik Felix Kroos.
Belum lagi, kasus korupsi yang terjadi di tubuh UEFA. Persoalan itu sudah pernah menimpa Gianni Infantino yang pernah menjabat sebagai Direktur Urusan Hukum UEFA, hingga mantan Presiden mereka, Michel Platini.
Skandal korupsi FIFA dan UEFA pernah mencuat setelah dibongkar oleh Panama Papers. Dalam hal ini, Infantino diduga terlibat korupsi dalam penjualan hak siar Liga Champions, Liga Europa, dan Piala Super Eropa ke Amerika Selatan kepada perusahaan Cross Trading. Cross Trading menjual hak siar itu ke pihak lain dengan biaya tiga sampai empat kali lipat.
Kemudian Platini ditangkap terkait dugaan korupsi terpilihnya Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia 2022 yang terus dikaitkan sejak 2015. Mantan pemain Juventus itu dituduh menerima uang US$2 juta dari mantan Presiden FIFA Sepp Blatter untuk mendukung Qatar menjadi tuan rumah.
Keberhasilan UEFA menahan European Super League memang jadi kemenangan mereka. Namun UEFA, dan juga FIFA, harus ingat bahwa ada gelombang besar yang siap mengancam mereka, terutama lewat protes keras dan boikot, andai mereka tak melakukan pembenahan berkaca pada percobaan pemberontakan kali ini.