Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2032. Langkah ini bakal terasa indah andai Indonesia memang sudah memenuhi kewajiban-kewajiban sebelumnya pada dunia olahraga yang diharapkan berprestasi.
Indonesia sudah rutin mengikuti Olimpiade sejak 1952 dan juga banyak gelaran SEA Games dan Asian Games. Tak hanya sebagai peserta, Indonesia juga sudah beberapa kali jadi tuan rumah SEA Games dan Asian Games.
Pengalaman itu yang kemudian mendorong Indonesia untuk jadi tuan rumah ajang olahraga terbesar, Olimpiade.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di balik itu, olahraga Indonesia masih sering dilanda permasalahan klasik. Dalam satu dekade terakhir, seringkali didengar berita tentang persiapan atlet menuju multi event yang tak optimal.
Permasalahan-permasalahan itu meliputi uang saku atlet yang tersendat, peralatan latihan dan peralatan pertandingan yang telat datang, minim biaya pembinaan dan PB yang masih cenderung mengandalkan ketokohan, hingga alokasi APBN untuk olahraga yang tidak besar.
Salah satu contoh, saat Asian Games 2018 misalnya, 30 hari menjelang pembukaan alat-alat untuk atlet senam belum datang. Hasilnya bisa ditebak, senam artistik Indonesia gagal meraih emas. Indonesia hanya meraih satu perak dan perunggu di cabor ini.
 Setelah sukses jadi tuan rumah Asian Games dan Asian Para Games 2018, Indonesia membidik sot tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade 2032. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain soal biaya pembinaan dan persiapan, hal lain yang patut diperhatikan adalah pembentukan infrastruktur agar pembinaan olahraga Indonesia didukung oleh kemajuan teknologi terkini.
Tigor Tanjung, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB PASI, gembira dengan keinginan Indonesia menjadi tuan rumah. Namun, Tigor juga mengingatkan pemerintah agar tak melupakan unsur paling dasar dan utama di dalam negeri.
"Infrastruktur olahraga kita harus diperbaiki. Bukan hanya infrastruktur fisik, tetapi juga fasilitas teknologi, fasilitas kesehatan, fasilitas nutrisi, dan fasilitas sport science. Tanpa kemajuan fasilitas-fasilitas ini, prestasi rasanya hanya akan jadi angan-angan," ucap Tigor.
Tak kalah penting, Tigor berharap ada ekosistem yang dibuat menuju Olimpiade. Jangan sampai, gaung Olimpiade-nya besar akan tetapi untuk mendapatkan atlet sangat susah karena tak adanya masa depan yang cerah dari dunia olahraga Indonesia.
 Tigor Tanjung menyoroti sulitnya mencari sumber daya atlet di Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Dulu saya berpikir, apa susahnya mencari 11 pemain sepak bola andal dari 300 juta penduduk. Setelah masuk PB PASI saya sadar, jangankan 11 pemain mencari 1 atlet lari yang semua orang bisa lari saja susahnya setengah mampus," kata Tigor Tanjung menjelaskan.
Selain ekosistem yang membuat profesi atlet disegani dan diserbu banyak peminat, infrastruktur olahraga adalah hal-hal yang patut diperbaiki dan dikerjakan lebih dulu.
Pengamat olahraga nasional Mohamad Kusnaeni mengatakan, Indonesia semestinya memperbaiki infrastruktur olahraga di 34 provinsi dan menghidupkan industri olahraga. Ini untuk menciptakan ekosistem sekaligus membuat atmosfer kompetisi yang merata, tidak hanya di sepak bola dan bulutangkis.
Lelaki yang akrab disapa Bungkus ini menambahkan, prestasi dan infrastruktur olahraga di Indonesia dari Asian Games 2018 tidak menjadi tolak ukur. Indonesia butuh hal lebih besar untuk ajang paling bergengsi di dunia.
"Kalau bagi saya, lebih penting memperkuat fondasi olahraga nasional dulu. Ini lebih bermanfaat dan membawa dampak positif jangka panjang. Mimpi menjadi tuan rumah olimpiade tak perlu dipadamkan, tapi lebih baik kita tunggu giliran Asia berikutnya, mungkin pada 2052 atau kesempatan lainnya," katanya.
"Fondasi olahraga yang saya maksud adalah penyediaan infrastruktur pembinaan yang merata di seluruh Tanah Air. Termasuk pembentukan 34 SKO di seluruh provinsi dengan standar SKO Ragunan. Fondasi lain yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan industri olahraga nasional yang berkelanjutan," ucap Kusnaeni menambahkan.
[Gambas:Video CNN]
Dalam sejarah tuan rumah Olimpiade, mayoritas tuan rumah adalah negara-negara yang punya banyak koleksi emas Olimpiade. Sementara itu Indonesia sendiri baru meraih tujuh emas yang semuanya berasal dari bulutangkis. Cabang olahraga yang bisa menyumbangkan medali pun baru panahan, bulutangkis, dan angkat besi.
"Saya kira kita harus melihat sejarah lagi. Waktu Australia jadi tuan rumah [1956] mereka belum punya rangkaian prestasi seperti yang mereka miliki hari ini. Demikian pula dengan Korea Selatan," kata Raja Sapta saat jumpa pers di Kemenpora, Jumat (30/4).
"Jadi kita tak bisa melihat sejarah. Apa yang dimiliki Indonesia ini akan menjadi daya dorong untuk meraih prestasi-prestasi di 2032. yang pasti, kalau sukses sebagai pelaksana dan prestasi, sudah bisa kita lihat dalam potret Asian Games," tuturnya menambahkan.
 Ketua NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari. Indonesia bakal bersaing dengan Australia untuk perebutan status tuan rumah Olimpiade 2032. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA) |
Menpora Zainudin Amali berpendapat serupa. Menurutnya, dalam Olimpiade-olimpiade selanjutnya, tidak termasuk Olimpiade 2020 di Tokyo pada Juli 2021, Indonesia sangat mungkin meraih minimal 10 medali emas. Ia menegaskan ini bukan asumsi.
Keyakinannya bahwa atlet Indonesia bisa meraih hal tersebut, kata Amali, didukung analisis dan kajian mendalam. Kajian tersebut diungkapkan para pakar ilmu pengetahuan dan teknologi serta orang-orang yang sudah terlibat dengan olahraga Indonesia dalam tempo yang cukup lama.
"Tentu kita sadar, kita tidak hanya mau menjadi tuan rumah yang baik tetapi juga bisa meraih prestasi. Kami menetapkan target 10 besar untuk Olimpiade dan Paralimpiade. Dan itu bukan bukan karangan saya, tetapi dengan kajian ilmiah dengan melihat potensi dan melihat pengalaman sebelumnya."
"Jadi, saya kira bukan hanya sudah pernah jadi tuan rumah Olimpiade dan berprestasi dalam hal ini tradisi medali, tetapi kita bisa memproyeksikan posisi itu pada 2032," tutur Amali.
Ucapan Menpora Amali tentu terbilang bombastis dan fantastis. Merujuk pada kondisi terkini, Indonesia masih kekurangan atlet level dunia yang cabang olahraganya dipertandingkan di Olimpiade.
Untuk bisa masuk 10 besar, berkaca pada klasemen Olimpiade 2016, hanya butuh delapan emas seperti yang dilakukan oleh Australia. Namun merebut delapan emas di Olimpiade bukan perkara mudah mengingat tren yang dibuat Indonesia di Olimpiade sejauh ini.
 Eko Yuli Irawan saat beraksi di Olimpiade 2016. Sejauh ini masih sedikit atlet Indonesia yang bisa bersaing di level Olimpiade dan merebut medali. (AFP/STOYAN NENOV) |
Tanpa program jangka panjang yang terstruktur dan terukur, jelas sulit bagi Indonesia untuk bisa meraih minimal delapan emas di Olimpiade 2032 bila Indonesia terpilih jadi tuan rumah. Terkecuali, Indonesia bisa memasukkan cabang andalan baru yang bisa jadi tambang medali emas di luar cabang olahraga yang selama ini dipertandingkan di Olimpiade.
Mimpi jadi tuan rumah Olimpiade memang sebuah mimpi yang menarik untuk dinyalakan dan dihidupkan. Tetapi mimpi melihat prestasi olahraga Indonesia maju secara signifikan dan konsisten dalam tahun-tahun ke depan semestinya tetap berada di posisi terdepan.
Mimpi paling indah tentunya melihat Indonesia jadi tuan rumah Olimpiade dengan banyak atlet bisa bersaing kompetitif di berbagai arena. Namun bila diharuskan memilih, mempertajam kualitas atlet-atlet Indonesia terlebih dulu termasuk seluruh pendukung di dalamnya haruslah didahulukan.
Karena yang terpenting adalah ketika Indonesia sudah punya banyak atlet berkualitas yang bisa bersaing di level dunia, harapan rakyat mendengar 'Indonesia Raya' bisa semakin besar, entah itu Olimpiade berlangsung di Indonesia maupun di negara luar.