Saya lahir di keluarga yang memang mencintai badminton dan sudah mengenal olahraga ini sejak enam tahun. Saya kemudian dimasukkan ke klub lokal oleh orang tua di usia delapan, di situ saya sudah latihan intensif. Tiga tahun kemudian saya masuk PB Djarum. Waktu itu ada orang dari Djarum yang memantau dan saya pun mendapat kesempatan masuk dan berlatih di sektor tunggal putra.
Mengenal badminton dari kecil tak lantas membuat saya benar-benar fokus dan tergila-gila pada latihan. Ada masa saya tak menikmati latihan, bosan istilahnya. Ketika lulus SMP saya memutuskan hengkang dari PB Djarum di Kudus untuk kembali ke Solo dan fokus sekolah.
Saya sempat tiga-empat bulan di kampung halaman. Sampai kemudian pelatih saya di Solo menyarankan saya agar bermain ganda dan ke PB Djarum di Jakarta yang khusus melatih ganda putra. Kebetulan pelatih PB Djarum yang di Jakarta itu orang Solo, namanya Chafidz Yusuf, yang sekarang bekerja sama dengan saya di tim pelatih ganda putri Pelatnas PBSI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok itu memang tidak asing, karena saya kenal keluarganya sejak kecil. Pak Chafidz juga meyakinkan bahwa saya punya potensi dan bakat yang sayang jika tidak dipoles dan dikembangkan.
Selain saran dari pak Chafidz, orang tua pun memberi masukan dan dorongan saya agar kembali berlatih.
"Coba dulu lah setahun," begitu kata orang tua waktu itu yang membuat saya menekuni badminton di Jakarta sekaligus melanjutkan sekolah.
Saya bisa menyabet prestasi cukup baik di sektor ganda putra. Ketika masih membela PB Djarum, sekitar 1994 saya bersama Hermono Yuwono mulai bisa menjadi juara sirkuit nasional yang merupakan kalender PBSI untuk seleksi masuk pelatnas. Pintu pelatnas kemudian terbuka untuk saya dan Hermono pada 1995.
Duet Eng Hian/Hermono Yuwono pun kemudian menjadi salah satu pasangan muda di tengah persaingan ketat di PBSI. Ketika itu masih ada senior dengan nama besar seperti Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky dan Antonius Ariantho/Deny Kantono. Sementara di level yang seangkatan dengan saya ada Tony Gunawan, Sigit Budiarto, Candra Wijaya, dan Halim Heryanto.
Sejarah bagus ganda putra Indonesia yang ditorehkan para senior tidak membuat saya terbebani. Justru saya termotivasi ingin lekas unjuk gigi. Saya tak sabar untuk segera membuktikan kalau saya mampu mengalahkan para senior.
Sementara persaingan dengan rekan seangkatan pun berlangsung dengan sehat sehingga membuat kami saling berlomba. Bahkan masing-masing ingin menambah porsi latihan tanpa ingin diketahui satu sama lain. Saya rasa persaingan ketat di level internal ini menjadi salah satu kunci sukses ganda putra Indonesia dalam kancah internasional.
![]() |
Bersama Hermono saya bisa menempati peringkat tujuh dunia pada 1997 atau 1998. Namun saya merasa karier saya stagnan. Saya pun berkomunikasi dengan dia untuk berpisah demi masa depan yang lebih baik. Saya pun curhat dengan pelatih, pak Christian [Hadinata] mengenai masalah yang saya hadapi.
Seiring dengan itu, saya juga berkawan baik dengan Flandy di luar lapangan dan mengetahui dia sedang jomblo tidak punya pasangan di sektor ganda campuran. Saya pun menilai Flandy bisa menjadi partner saya.
Keinginan saya bertandem dengan Flandy saya komunikasikan dengan pelatih, pak Christian dan pengurus. Pak Christian pun menyambut baik ide saya bersanding dengan Flandy yang saya anggap memiliki skill bagus untuk menemani saya yang memiliki tipe sebagai playmaker. Seandainya waktu itu pak Christian enggak merestui, saya tentu tidak akan memaksa juga.
Karier saya kemudian berkembang dan meraih berbagai gelar di kejuaraan-kejuaraan bergengsi. Jelas Olimpiade menjadi capaian terbesar kami. Jika memang ada penyesalan terbesar karena kami gagal merebut emas Olimpiade 2004, padahal saya dan Flandy cukup yakin bisa ke partai final.
Di semifinal kami sudah sempat memimpin 8-0, namun saat itu tiba-tiba bahu Flandy mengalami cedera. Kami bermain tidak maksimal lagi setelah Flandy cedera, tetapi kami berusaha untuk tetap main. Karena kalau kami mundur [kalah WO], maka tidak akan ada kesempatan bermain di partai perebutan perunggu. Yah, itulah jalan Tuhan.
Hal lain yang tidak terlupakan ketika menjadi pemain adalah ketika saya membela Inggris di All England 2002. Saya dan Flandy menyulap hall di Inggris itu seperti di Istora Senayan karena kami membuat suporter tuan rumah meramaikan venue tersebut, hal yang jarang terjadi karena Inggris sudah cukup lama tak punya andalan di ajang badminton yang bisa menembus final All England.
Mengenai kepindahan kami ke Inggris, memang tak dipungkiri ada faktor pemicu pada 2001 yang membuat saya dan Flandy kecewa. Ketika kami masih bisa memberi prestasi, kami merasa ada kebijakan yang membuat kami merasa dirugikan dan disingkirkan. Imbasnya prestasi kami menurun.
Puncaknya pada saat Kejuaraan Dunia 2001 di Sevilla. Saya mau berhenti waktu itu dan kemudian saya bertemu dan mengobrol dengan Rexy Mainaky yang ketika itu menjadi pelatih di Inggris dan lantas menawarkan saya bekerja sama dengannya. Gayung bersambut, saya dan Flandy menerima pinangan main membela negara lain dan PBSI juga tak keberatan dengan langkah yang kami ambil.
Dengan kostum berbendera Inggris, saya kemudian beberapa kali bertemu pasangan-pasangan Indonesia. Tak jarang kami menang. Wajar jika kemudian ada orang-orang Indonesia yang memberi cap buruk kepada kami lantaran membela negara lain dan mengalahkan andalan-andalan Cipayung. Jujur, rasanya benar-benar membuat kami jengah dengan segala label dan cap buruk yang disuarakan orang-orang.
Tetapi itulah yang memang harus saya lakukan. Sebagai pemain, seorang profesional, saya harus memberi yang terbaik. Kalau saya kalah kan saya tidak dapat prestasi dan tak diapresiasi.
![]() |
Performa saya dan Flandy yang masih gres saat membela Inggris membuat PBSI, yang waktu itu diketuai pak Chairul Tanjung, mencoba menawarkan saya kembali ke Cipayung. Ketika kami juara di Jepang, ada pengurus PBSI yang menunggu kami di hotel.
"Lo enggak mau balik ke Indonesia, mau jadi kompeni? Lo dicari pak Chairul tuh," ujar salah satu pengurus PBSI tersebut setengah berseloroh ketika mengajak saya kembali.
Pada akhirnya saya dan Flandy balik membela Indonesia setelah proses tawar menawar yang begitu alot. Kira-kira ada empat kali dalam durasi empat bulan kami bolak-balik bertemu dengan pak Chairul Tanjung membicarakan negosiasi kembali menjadi wakil Indonesia. Bukan soal uang yang kami bicarakan. Saya dan Flandy hanya tidak mau kembali berurusan dengan hal-hal yang dua tahun sebelumnya memicu kami pindah ke Inggris.
Saya dan Flandy lantas membuktikan kami bisa bertahan di level atas persaingan ganda putra dunia, termasuk dengan meraih perunggu Olimpiade 2004. Namun kemudian pada 2005 saya mendapat panggilan tiba-tiba. Saya disuruh memilih antara mundur dari pelatnas atau didegradasi. Sementara Flandy waktu itu masih mendapat kesempatan main di ganda campuran.
Saya kaget, bingung, campur aduk. Saya kemudian berkonsultasi dengan PB Djarum dan kemudian memilih bermain secara profesional, tidak di bawah Pelatnas, dan berpasangan dengan Rian Sukmawan. Sampai 2007 saya gantung raket.
Bukan faktor usia atau fisik yang membuat saya mengakhiri karier di lapangan. Ketika itu saya masih 30 tahun, masih kepingin main. Tetapi ada faktor lain berupa aturan larangan sponsor pribadi bagi pemain profesional yang membuat saya setop bermain.
Saya hanya diperbolehkan mendapat gaji bulanan dari Djarum yang menurut saya sulit bagi seorang yang sudah berkeluarga dan punya anak. Kebetulan ada tawaran melatih ke Singapura, saya pun berangkat ke negara tetangga.
Sempat menjadi pemain di Inggris dan melatih Singapura tidak melunturkan nasionalisme saya. Jujur ketika menjadi juara bersama Inggris atau mengantar pemain Singapura ke podium teratas, tidak ada rasa apa-apa. Saya hanya merasakan kebanggaan dan kesuksesan sebatas keprofesionalan pekerjaan saja.
Ketika membela Indonesia dan menjadi juara, melihat Merah Putih berkibar, mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang, itu adalah perasaan yang begitu luar biasa. Ketika bendera naik, lagu diputar, di situ muncul rasa kebanggaan luar biasa sebagai warga negara Indonesia. Kemampuan saya memberi sesuatu untuk negara adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dan tidak bisa dibayar dengan apapun.
Dan itulah yang saya kembali rasakan kemarin ketika Greysia/Apriyani juara Olimpiade 2020.