Tapi tidak ada yang tahu kalau kemarin itu sebenarnya saya sedang cedera. Jadi Mei [2021] saya divonis terkena cedera meniscus, jadi otot lutut kiri saya robek. NPC pun panik mendengar kabar tersebut, tanpa disadari air mata saya pun menetes ketika mendengar kabar itu dari dokter.
Saya langsung berpikir: 'Tuhan ini event sudah dekat, beberapa waktu yang lalu saat sejumlah event batal karena pandemi Covid-19, saya tidak cedera. Tapi kenapa event sudah dekat saya dinyatakan cedera'. Wah, saat itu saya langsung down.
Dokter dan tim fisioterapis sampai memegang pundak saya dan berkata 'kami tahu bebanmu berat, tampil di tiga nomor, kamu tumpuan, kamu baiknya didampingi psikolog saja'. Tetapi saya menolak karena menurut saya tidak perlu didampingi psikolog.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, saya bilang saya tidak mau keluarga, suami, masyarakat, dan lawan tahu saya cedera. Saya bilang ke semuanya, saya tidak mau berita ini diekspos.
Dokter juga bilang seharusnya saya tidak boleh gerak sama sekali selama enam bulan. Tapi saya bilang saya bisa gila kalau tidak latihan.
Pada akhirnya pengurus mengizinkan saya berlatih dengan jadwal tertentu tapi dengan didampingi fisioterapis. Saya pun mengikuti arahan pengurus, tapi lama-kelamaan kok saya tidak nyaman ke mana-mana didampingi fisioterapis.
Misal latihan jam 8, saya harus datang jam 7 dengan diawali latihan bersama fisioterapis dengan gerakan-gerakan yang membosankan. Akhirnya saya bilang ke tim fisioterapis 'Niat kalian baik, tapi saya kurang nyaman'.
Tetapi kami pun bisa saling mengerti. Saya mengerti itu tanggung jawab mereka, karena kalau saya melakukan gerakan yang berlebihan bisa membuat cedera saya makin parah. Mereka juga selalu mengingatkan kalau latihan saya berlebihan.
Memang rasa sakit itu baru muncul ketika selesai latihan. Akibatnya, saya harus rutin melakukan terapi setiap hari. Jadi hari-hari saya jelang Paralimpiade yaitu latihan dan terapi.
Saya juga tidak mau memakai deker saat bertanding di Paralimpiade, karena saya tidak mau lawan tahu kalau saya sedang cedera. Walaupun hal itu tidak bisa saya hindari saat pertandingan final yang mengharuskan saya memakai deker.
![]() |
Saya memang tidak ingin menunjukkan kalau saya sedang sakit, padahal di belakang itu saya masih harus recovery dan tim fisioterapi juga selalu mendampingi. Selesai Paralimpiade barulah tim fisioterapi cerita ke semua orang kalau saya cedera.
Di final sebenarnya saya juga sudah tidak kuat, bahkan dari awal Paralimpiade saya sudah menghemat-hemat tenaga karena masih dalam masa pemulihan. Tetapi saya selalu berusaha meyakinkan diri saya sendiri. Saya pasti bisa. Termasuk di final tunggal putri, saya sebenarnya mau ngotot.
Cuma karena saya terkena agenda tes doping [random] yang tesnya itu berlangsung hingga dini hari, sehingga membuat saya kurang istirahat. Secara mental saya kuat, tapi secara kondisi saya tidak membohongi. Saya tidur jam 2 dini hari dan harus bangun jam 6 pagi untuk berangkat ke venue.
Sampai tim fisioterapi meminta maaf kepada saya karena tidak bisa memberikan recovery semaksimal mungkin, tapi mau bagaimana lagi itu harus dijalani. Karena menolak tes doping itu tidak mungkin, karena itu suatu pelanggaran.
Andai saya bisa istirahat lebih cukup dari itu, saya yakin hasilnya bisa lebih baik dari medali perak tunggal putri Paralimpiade.
Tetapi kejadian itu memotivasi saya untuk lebih giat berlatih ke depannya, karena kalau saya bisa meraih tiga emas mungkin beda ceritanya lagi. Karena dengan meraih tiga medali emas di tiga nomor berbeda, apa lagi yang mau saya kejar?
Namun apapun hasil yang telah didapatkan, saya selalu bersyukur. Apalagi saat saya memenangi medali emas Paralimpiade saya mendapatkan ucapan selamat dari idola saya Carolina Marin [pebulutangkis asal Spanyol].
Jadi kemarin lewat aplikasi Helo dia ngetag saya dengan mengucapkan congratulations. Saya terkejut dan juga sangat senang. Saya mengidolakan Carolina Marin karena dia selalu tampil semangat dan ngotot di setiap pertandingan.
Untuk tampil di Paralimpiade Paris 2024 mendatang, tentu kalau saya diberikan kesehatan dan panjang umur, saya ingin ke sana. Terutama untuk pecah telur medali emas di tunggal putri itu.
Saya juga belum berpikir soal pensiun, karena rekan-rekan saya juga masih ada yang bermain hingg usia 40-50. Jadi selama saya masih mampu bersaing, saya akan main terus.
Di sisi lain saya juga berharap media dan masyarakat bisa menyetarakan mengenai atlet difabel dan atlet non difabel. Karena dengan media mengekspos atlet difabel, paling tidak kami mudah untuk mendapatkan sponsor.