TESTIMONI

Mia Audina: Dongeng Kehebatan Pebulutangkis 14 Tahun

Mia Audina | CNN Indonesia
Rabu, 05 Jan 2022 19:00 WIB
Mia Audina adalah salah satu bagian manis dari sejarah badminton dan olahraga Indonesia. Piala Uber 1994 jadi awal namanya meroket.
Mia Audina mencatat sejarah luar biasa saat jadi penentu kemenangan Indonesia di Piala Uber 1994. (AFP/TOMMY CHENG)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nama saya diumumkan terdaftar di susunan pemain Piala Uber 1994. Tentu tegang sekali, tetapi saya sudah bertekad untuk melakukan yang terbaik.

Indonesia lalu unggul 2-0 atas China di final. Satu kemenangan lagi, Indonesia akan jadi juara dan saya tentu tidak perlu main.

Tetapi ternyata tunggal putri kedua kalah, lalu ganda putri kedua bermain, saya sudah mulai pemanasan. Ternyata skor berubah jadi 2-2 dan bagi saya bebannya berat. Laga yang saya mainkan adalah penentuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya coba tidak terlalu banyak berpikir macam-macam. Saya hanya fokus dan memikirkan cara main seperti apa yang bakal di tampilkan di lapangan.

Saya belum pernah bertemu Zhang Ning sebelumnya. Saya lihat kami berdua sama-sama tegang. Begitu permainan dimulai, tak semua taktik yang saya siapkan bisa berjalan.

Dengan kondisi itu, fokus saya hanya berusaha sekeras tenaga untuk dapat poin.

Saya menang di set pertama dan terasa ada angin segar untuk saya. Saat itu Istora Senayan sudah penuh sekali, namun fokus saya tidak teralihkan. Fokus saya tetaplah bagaimana cara memenangkan set kedua.

Di set kedua saya memimpin dan mendapat match point pada angka 10-6. Saat itu ada kesempatan besar untuk menang, tetapi gagal saya lakukan.

Saya melompat dan kesal karena malah gagal menyelesaikan pertandingan. Usai kegagalan itu, saya kemudian malah kalah di set kedua.

Dalam momen keunggulan tersebut, saya sama sekali tidak merasa over confident dan menganggap sudah menang. Sampai akhirpun saya masih merasa tegang.

Saya masih merasa lawan memiliki kesempatan. Kalau saya sampai kalah di set kedua, dari sisi psikologis, efeknya akan terkena pada saya.

Kalau atlet set pertama menang lalu set kedua hampir menang dan kemudian kalah, biasanya dari sisi psikologis sang atlet tersebut tidak akan bisa menjalankan set ketiga dengan baik. Yang sering saya dengar seperti itu. Apalagi saya tidak punya pengalaman.

Tetapi saya yakin bahwa di lapangan tidak selalu semua logika bisa keluar. Tidak selalu yang terpikir bisa terjadi. Walaupun down, saya harus bisa bangkit di set ketiga. Semua harus saya kerahkan di lapangan.

Indonesian badminton player Mia Audina serves to Kim Ji Hyun of South Korea during the Uber Cup finals in Hong Kong 23 May. Audina lead Indonesian teams into the 25 May grand finals against China's teams by winning 11-6, 11-12, 11-4.                        AFP PHOTO   Thomas CHENG (Photo by TOMMY CHENG / AFP)Mia Audina menunjukkan bakat besar sejak masih balita. (AFP/TOMMY CHENG)

Saat memulai set ketiga, saya tidak mendengar apa-apa dari penonton. Suara teriakan kencang tidak terdengar oleh saya, begitu juga celetukan-celetukan. Saya coba untuk kembali fokus.

Mau tidak mau dari nol lagi. Saya harus bisa bangkit lagi, coba lupakan set kedua. Jangan dipikirkan kenapa kalah di set kedua. Zhang Ning pasti dalam kondisi lebih percaya diri.

Usaha keras dan maksimal yang saya lakukan membuahkan hasil. Saya memenangi set ketiga. Indonesia juara!

Perasaan saya lega banget. Susah untuk menerangkan detail perasaan satu per satu. Senangnya tidak terbayang. Tegangnya hilang. Menangis dan tertawa bisa bersamaan, jadi itulah yang keluar ekspresinya.

Saya tidak terlalu ingat dengan detail yang terjadi. Tahu-tahu semua tim masuk. Karena sedang gembira, saya tidak terlalu memperhatikan sekitar. Tahu-tahu lapangan sudah full. Saya bahkan tidak tahu raket yang saya pegang ke mana. Lalu saya digendong dan dibawa hingga masuk ke ruangan atlet.

Kemenangan di Piala Uber 1994 itu benar-benar booming. Sebelumnya nama saya memang sudah mulai dikenal seiring perjalanan Indonesia di Piala Uber karena tiap hari disiarkan di televisi dan banyak pemberitaan.

Namun setelah jadi penentu kemenangan, baru benar-benar booming. Saya sempat diragukan. Apa benar 14 tahun?

Lalu banyak yang bertanya ke sekolah. Benar atau tidak, dia anak umur segini. Dari situlah lalu muncul istilah bocah ajaib.

Bila ditanya rahasianya, karena saya itu sosok yang tak gampang menyerah meski ada banyak faktor lainya. Bila saya dibilang tampil percaya diri, sebenarnya itu hanya terlihat dari luarnya.

Saya saja sampai pegang shuttlecock gemetaran dan bahkan sampai jatuh. Saya berusaha untuk tidak gampang menyerah. Fokus untuk menang, bukan fokus untuk terkenal. Intinya fokus terhadap tujuan, soal terkenal itu efek belakangan.

Soal kematangan di usia 14 tahun, rasanya memang saya jatuhnya jadi lebih dewasa dibandingkan orang lain yang seumuran. Saya memang merasa lebih gampang bergaul dengan yang lebih tua dari saya.

Menengok ke belakang, saya mulai bermain badminton karena diajak keluarga. Papa saya suka badminton, begitu juga keluarga saya.

Waktu umur tiga tahun, saya disuruh pegang raket lalu dikasih shuttlecock. "Ayo coba pukul", kata keluarga saya. Ternyata kena. Pertama kali coba, langsung kena. Dari situ banyak yang berpikir bahwa saya punya talenta.

Sebagai perbandingan di kemampuan lain, di usia empat tahun saya sudah bisa membaca. Jadi sebelum masuk TK sudah bisa membaca. Mungkin memang saya termasuk anak yang bisa cepat untuk itu.

Mulai belajar umur tiga tahun, saat usia lima tahun saya sudah ikut pertandingan pertama. Terus di usia tujuh tahun saya sudah juara di level nasional untuk kategori usia di bawah 10 tahun.

Mulai dari situ, saya sudah berpikir untuk serius di badminton dan ingin jadi juara dunia. Pertama kali saya diminta PBSI untuk masuk pelatnas di usia 11 tahun. Saat itu saya sudah bisa jadi juara nasional untuk kategori usia di bawah 18 tahun. Di setiap pertandingan saya sudah sering juara.

Permintaan PBSI itu tidak dipenuhi oleh orang tua saya. Mereka bilang saya masih belum lulus SD. Saya harus lulus SD dulu baru boleh masuk pelatnas.

Akhirnya saya masuk pelatnas di usia 13 tahun pada 1993 setelah saya lulus SD. Sudah tidak ada lagi penolakan dari orang tua karena sudah lulus SD. Bagi mereka, ini juga saat yang tepat untuk saya mengalihkan fokus untuk go international. Semakin muda, tentu bakal punya peluang untuk semakin berprestasi dan bakal semakin bagus.

Sejak masuk pelatnas, saya langsung berpikir untuk bisa langsung masuk ke persaingan internasional. Saya bertekad untuk mencoba memberikan kemampuan maksimal. Harus bisa berprestasi saat dikirim ke pertandingan manapun.

Saat persiapan Piala Uber, saya terpilih untuk ikut seleksi. Setelah melewati sejumlah pertandingan, saya akhirnya terpilih masuk skuad Piala Uber.

Saya baru dipasang saat melawan Denmark. Saya selalu bertekad bila sudah dipasang harus menang. Saat melawan Denmark saya bisa menang. Ketika melawan Korea Selatan di semifinal, saya juga bisa menang.

Walaupun Indonesia sudah pasti menang lawan Korea Selatan, saya tetap tidak mau kalah dan merasa santai. Pikiran saya, bila saya kalah, saya tidak akan dipasang di babak final. Itulah yang akhirnya membuat saya bisa menang dan terpilih kembali dalam susunan pemain di babak final.

Indonesian Mia Audina, playing for Netherlands returns the shuttle cock to Malaysian Wong Mew Choo during semi-final match in the Indonesia Open championship in Jakarta, 24 September 2005. Mia Audina won 11-8, 9-11, 11-8.  AFP PHOTO/ ADEK BERRY (Photo by ADEK BERRY / AFP)Mia Audina mengukir banyak prestasi baik sebagai wakil Indonesia maupun Belanda. (AFP/ADEK BERRY)

Cedera Parah dan Perak Olimpiade 1996

Selepas Piala Uber 1994, karier saya makin meningkat. Kalau tidak salah di akhir 1994 atau awal 1995 saya sudah sempat naik ke peringkat lima dunia.

Saat persiapan lancar tersebut, tiba-tiba saya mengalami cedera di Badminton Grand Prix Finals di akhir 1995. Saya salah posisi saat bermain dan mengalami cedera di lutut kanan, tepatnya di meniscus.

Karena cedera itu bahkan saya sempat divonis tidak akan bisa main badminton lagi. Saya divonis seperti itu, tetapi Tuhan berkehendak lain.

Meski saya bisa sembuh, namun bisa tampil di Olimpiade tetap merupakan sebuah kejutan.

Saya baru bisa kembali bermain pada bulan Maret 1996 tetapi itu juga kalah. Barulah pada Piala Uber 1996 di bulan Mei, saya mulai bisa mencatat hasil positif.

Saya bisa kembali menang dan membawa Indonesia juara. Dari situ kepercayaan diri saya untuk menghadapi Olimpiade mulai bangkit.

Soal cedera, kondisi saya belum pulih total saat Olimpiade tiba. Memang cedera sudah sembuh tetapi masih ada perasaan trauma. Sangat sulit.

Dari segi permainan, bila saya sedang berada pada posisi mengambil shuttlecock seperti saat mengalami cedera, hal itu susah bagi saya. Saya harus mengatasi perasaan seperti itu. Saya terus menekankan pada diri saya bahwa hal ini bukanlah masalah.

Rasanya saat itu Kak Susy Susanti yang lebih diharapkan untuk meraih medali emas Olimpiade. Tetapi saya adalah tipe orang yang perfeksionis. Tujuan saya selalu jadi yang terbaik.

Saya mau emas Olimpiade walaupun logikanya tidak masuk karena saya baru sembuh cedera. Tetapi itu tetap tujuan saya.

Kami berdua masuk semifinal namun kemudian saya menang lalu Kak Susy kalah. Meski Olimpiade bukan turnamen beregu, kalau Kak Susy menang, Indonesia sudah pasti emas. Setelah itu tentu tinggal saya dan Kak Susy bertanding menentukan juaranya.

Saat Kak Susy kalah, berarti otomatis Indonesia belum pasti emas. Otomatis pasti berat dan tegang bagi saya apalagi Olimpiade hanya empat tahun sekali.

Di final akhirnya saya kalah dari Bang Soo Hyun. Ada dua sisi saya merespons kekalahan tersebut. Satu, adalah hal yang membanggakan saya bisa bangkit dari cedera. Ada rasa bangga juga pasti bisa meraih perak Olimpiade di usia 16 tahun.

Banner Testimoni

Namun saya tak memungkiri bahwa bagi saya yang perfeksionis, kekalahan di Olimpiade ini membuat sedih. Karena itu saya terus menangis.

Padahal seharusnya saya bisa gembira tidak usah menangis karena meraih medali perak setelah melalui masa sulit.

Bagi saya, tetap ada rasa disayangkan kenapa dapat perak. Mungkin karena saya orangnya tidak gampang puas.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>

Memutuskan Pindah ke Belanda

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER