TESTIMONI

Mia Audina: Dongeng Kehebatan Pebulutangkis 14 Tahun

Mia Audina | CNN Indonesia
Rabu, 05 Jan 2022 19:00 WIB
Mia Audina adalah salah satu bagian manis dari sejarah badminton dan olahraga Indonesia. Piala Uber 1994 jadi awal namanya meroket.
Mia Audina berhasil mempersembahkan medali perak Olimpiade untuk Belanda. (AFP PHOTO/GOH CHAI HIN)

Dari sebelum Olimpiade 1996 hingga 1999, mami saya sakit keras. Selama itu sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah dari Indonesia.

Dari dulu fokus saya main untuk mami, membanggakan mami, dan juga membiayai mami.

Setelah mami meninggal di 1999, karena apapun yang saya lakukan selama ini untuk mami, begitu mami tidak ada rasanya jadi hampa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya sangat kehilangan, begitu kehilangan, karena saya dan mami dekat sekali. Saya masih 19 tahun. Saya tahu karier saya masih panjang tetapi saya tahu bahwa saya butuh sesuatu yang baru untuk berprestasi.

Karena mami saya meninggal dan butuh motivasi baru untuk berprestasi, itulah alasan saya pindah ke Belanda. Saya pindah bukan karena mengikuti suami.

Waktu saya bicarakan keputusan saya dengan PBSI, mereka menyayangkan tetapi mereka menghargai pilihan saya. Mereka menghargai apa yang saya pilih karena memang tidak gampang keadaannya.

Mia Audina Tjiptawan, the former Indonesian player who now lives and plays for the Netherlands after her marriage to Tylio Twajana, a Dutch Gospel singer, keeps her eye on the shuttlecock late 10 March 2000, as she powered to a 11-3, 11-7 win over Denmark`s Mette Sorensen in the Yonex All England Open Badminton Championships in Birmingham, to go into today's semi-finals. (ELECTRONIC IMAGE) AFP PHOTO MARTYN HAYHOW (Photo by Martin HAYHOW / AFP)Mia Audina sudah jadi warga negara Belanda sejak tahun 2000. ( AFP/MARTIN HAYHOW)

Di Belanda, perjuangan tidak gampang karena Belanda bukan negara yang akrab dengan badminton. Di Belanda tidak ada pelatnas tempat atlet berkumpul secara bersama-sama dan tinggal di sana.

Di Jakarta, lingkungan pelatnas mendukung. Untuk latihan, tiap atlet hanya tinggal menyeberang ke lapangan. Sedangkan di Belanda, kami harus bolak-balik naik mobil. Tempat latihan ada di dekat perbatasan Jerman, sekitar 220 km.

Semuanya berbeda di Belanda. Tentu berat karena harus adaptasi latihan, bahasa, dan kehidupan. Tetapi saya adalah orang yang bila sudah memilih sebuah hal, saya akan konsekuen terhadap hal tersebut.

April 2000, saya sudah resmi jadi warga negara Belanda. Saya mendapatkan prioritas karena mungkin punya prestasi bagus. Saya juga bisa adaptasi lumayan cepat. Dengan menjadi warga negara Belanda, saya bisa membela Belanda di Olimpiade.

Saat sudah membela Belanda dan bertemu pemain-pemain Indonesia, tidak ada rasa canggung dan kami tetap ngobrol bila bertemu. Teman tetap teman dan mereka menghargai pilihan saya.

Saya merasa efek kehadiran saya besar di Belanda seiring dengan prestasi internasional yang saya raih. Kalau prestasi di sebuah cabang olahraga bagus, tentu bakal disorot, entah oleh NOC setempat ataupun dari media.

Berbicara Olimpiade bersama Belanda, saya merasa posisi saya sangat bagus jelang Olimpiade 2004 di Athena. Peluang meraih emas di Athena menurut saya juga lebih besar dibandingkan saat di Atlanta. Saat Olimpiade 1996, bisa dibilang saya masih underdog dibandingkan pemain senior seperti Bang Soo Hyun.

Di Olimpiade 2004, saya bisa mengalahkan semua lawan sebelum Olimpiade berlangsung. Gong Ruina yang selama ini sulit dikalahkan, bisa saya taklukkan di bulan April 2004.

Kemenangan atas Gong Ruina di Jepang itu yang membuat kepercayaan diri saya meningkat dan dia menurun. Saya akhirnya bisa mengalahkan Gong Ruina di semifinal Olimpiade dan melaju ke final.

Selama saya berkarier, penampila melawan Gong Ruina di semifinal Olimpiade itu menurut saya merupakan penampian terbaik. Semua strategi saya berjalan baik. Kemenangan yang saya dapat begitu telak dan begitu mengejutkan.

Di blok semifinal lain, Zhou Mi juga sempat saya kalahkan di semifinal Jepang terbuka. Karena itu kemudian saat itu sempat ramai kabar Zhou Mi disuruh melepas dan tidak bermain ketika melawan Zhang Ning. Zhang Ning yang akhirnya ke final dan jadi lawan saya.

Dalam persiapan melawan Zhang Ning, sebenarnya setelah kemenangan saya di Piala Uber 1994, Zhang ning ngedrop banget. Setelah kalah di laga itu, Zhang ning ngedrop selama bertahun-tahun. Saya malah bisa dibilang paling gampang menang bila bertemu Zhang Ning dibanding saat menghadapi pemain China lainnya.

Namun setahun sebelum Olimpiade, tepatnya di Kejuaraan Dunia 2003, di situlah pertama kalinya Zhang Ning menang lawan saya setelah bertahun-tahun.

Saya tidak sedang mencari alasan, tetapi sebelum Kejuaraan Dunia itu digelar, tiba-tiba ada SARS dan dibatalkan semua jadwal yang sudah disusun. Sebenarnya saat itu saya sudah persiapan dengan baik dan sangat siap tempur di Kejuaraan Dunia.

Karena belum jelas soal penundaan Kejuaraan Dunia, akhirnya saya liburan dan tidak latihan. Saya datang ke Indonesia untuk berjumpa keluarga. Saya makan segala macam makanan yang saya kangenin.

Kemudian tiba-tiba datang pengumuman Kejuaraan Dunia jadi berlangsung di Agustus. Persiapan saya kurang. Di situlah pertaa kali Zhang Ning mengalahkan saya ketika kami berjumpa di semifinal. Zhang Ning lalu akhirnya bisa jadi juara dunia.

Smenjak itu dia jadi lebih berani. Percaya dirinya naik setelah biasanya tertekan. Bila tidak begitu, tak mungkin Zhang Ning dipasang, bisa jadi jatuhnya ke Zhou Mi.

Saya kalah di final Olimpiade Athena 2004. Saya lebih sedih bila dibandingkan Atlanta 1996. Di atas kertas, saya punya kesempatan menang lebih baik tetapi saya sadar bahwa sebagai pemian, saya tidak bisa memberi lebih dari yang terbaik yang telah ditunjukkan di lapangan.

Mia Audina of the Netherlands returns the shuttle against Lu Lan of China during their first round match in the Japan Open badminton tournament in Tokyo, 07 April 2005. Lu won 11-9, 7-11, 13-11.      AFP PHOTO/Toru YAMANAKA (Photo by TORU YAMANAKA / AFP)Mia Audina puas dengan keberhasilannya melakukan beberapa kali comeback di dunia badminton setelah sempat diragukan. (AFP/TORU YAMANAKA)

Kekalahan di Athena tentu disayangkan karena saya maunya emas. Tetapi selama saya sudah melakukan yang terbaik, tidak ada penyesalan.

Setelah mendapat perak Olimpiade, saya sangat disambut ketika pulang ke Belanda. Mereka begitu menghargai. Dari kacamata orang lain, mereka memberi penghargaan. Mereka begitu senang. Namun dari diri saya sendiri, sebagai sosok yang perfeksionis, ada rasa sedih terkait hasil tersebut.

Saya memutuskan pensiun dari badminton pada 2006. Bila menilik perjalanan karier saya, tidak ada hal yang disesali. Namun apakah ada yang disayangkan? Ya, seperti di Athena dan Atlanta.

Kalau yang disesali tidak ada, karena saya sudah melakukan yang terbaik. Penyesalan tidak ada.

Soal kebanggaan terbesar, saya tidak akan sebut tentang prestasi yang diraih. Kebanggaan terbesar saya itu adalah karena saya bisa comeback beberapa kali.

Comeback itu sulit. Itu yang membanggakan bagi saya, bisa comeback walaupun situasi begitu berat.

Kalau mencoba comeback, berarti harus dari nol lagi. Misal sebelumnya ranking 1 dunia, berarti harus dari kualifikasi lagi.

Saya beberapa kali berhasil comeback, mulai dari saat cedera, mulai dari saat mami saya meninggal, hingga waktu pindah ke Belanda. Semua berat sekali.

Karena itulah, keberhasilan melakukan comeback adalah hal yang paling membanggakan bagi saya.



(ptr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER