Remuk Redam Keturunan Tionghoa di Olahraga Indonesia
Cerita besar tentang peranakan Tionghoa di Indonesia biasanya ada dua, tentang wirausaha dan olahraga. Dua bidang ini semacam spesialisasi.
Dalam urusan bisnis terbukti dengan daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes terbaru. Adapun dalam hal olahraga sudah banyak yang mengharumkan nama bangsa di pentas internasional.
Teranyar, Greysia Polii. Bersama Apriyani Rahayu, atlet 34 tahun ini meraih medali emas Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang. Ini satu-satunya medali emas Indonesia di pesta olahraga sejagat itu.
Bulutangkis memang cukup identik dengan olahraga keturunan Tionghoa. Dari masa ke masa ada saja atlet bulutangkis papan atas yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di planet bumi.
Sejatinya bukan hanya bulutangkis yang jadi jalan pedang keturunan Tionghoa. Sepak bola, tinju, angkat besi, renang, hingga bela diri jadi nomor yang juga ditekuni dan membuahkan prestasi.
Namun perjuangan keturunan Tionghoa untuk diakui 'punya nasionalisme' tak seperti keturunan suku bangsa lain. Mereka mengalami remuk redam yang panjang sejak era sebelum kemerdekaan.
Pra Kemerdekaan
Pada masa kolonial banyak Tionghoa digambarkan dekat dengan Belanda. Sebagai pedagang mereka punya orientasi dengan penguasa agar bisnis dan usahanya aman atau dilindungi.
Posisi ini membuat mereka bisa membuat perkumpulan layaknya Belanda. Karenanya pada 1920-an banyak organisasi olahraga Tionghoa muncul. Namun ada pula keturunan Tionghoa yang dianggap inlander.
Perkumpulan olahraga Tionghoa yang pertama tercatat adalah Gymnastiek en Sportvereniging Tionghoa di Surabaya pada 1908. Dari Surabaya organisasi serupa muncul di Jakarta dan kota lainnya.
Pada awal abad ke-20 ini sepak bola mulai hidup di bumi pertiwi. Mengacu buku Baji Ayi berjudul 'Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola' pada 1915 disebut sudah berdiri klub sepak bola Tionghoa.
Piala Dunia 1938 di Prancis jadi bukti lain. Dalam turnamen sejagat itu tim Hindia Belanda berisikan campuran Belanda, Tionghoa, dan bumiputera. Tan Hong Djien adalah salah satunya.
Olahraga basket, sebagaimana dikisahkan Perbasi, masuk ke Indonesia pada 1920 yang dibawa perantau dari Tiongkok. Mereka ini lantas membentuk komunitas bola basket sendiri di sejumlah kota.
Pada fase pra kemerdekaan ini bisa dibilang olahraga menjadi cara warga Tionghoa menyaingi Belanda. Pada saat yang sama ini menjadi sarana untuk mereka mengajak pribumi yang ditolak klub Belanda.
Pasca-Merdeka
Karena kecenderungan peranakan Tionghoa yang dekat dengan Belanda, posisi mereka agak sulit begitu Indonesia merdeka. Nasionalisme mereka dipertanyakan pada era penuh perjuangan ini.
Sebagai bentuk aktualisasi diri, banyak peranakan Tionghoa terjun di olahraga. Mereka sadar olahraga tak bisa menghidupi, tetapi mereka tetap menekuni untuk membuktikan jati diri kebangsaannya.
Karenanya tercatat banyak peranakan Tionghoa tampil di Pekan Olahraga Nasional (PON). Bahkan pada edisi-edisi awal PON ini yang dominan meraih medali adalah para keturunan dan peranakan Timur Jauh tersebut.
Klub-klub sepak bola hingga Timnas Indonesia bisa jadi cerminan. Hampir setiap klub, utamanya yang ikut mendirikan federasi sepak bola (PSSI), diisi beberapa pemain keturunan Tionghoa.
PSSI bahkan pernah memberi gelar Gold Category ke sembilan pemain Timnas Indonesia, yang lima di antaranya adalah Tionghoa, seperti Tan Liong Houw, Thio Him Chang, juga Kwee Kiat Sek.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini tak ada diskriminasi. Semua orang, sebagaimana semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
"Saat orde lama, tidak ada itu pengelompokan mana pribumi mana Tionghoa. Semua Indonesia," ucap Tan Joe Hok salah satu atlet bulu tangkis Indonesia mengenang masa pasca merdeka itu.
Baca lanjutan artikel ini di halaman kedua >>>