Jakarta, CNN Indonesia --
Tampil dalam dua Olimpiade, di Olimpiade 2008 Beijing dan 2012 di London, pasti berkesan bagi saya.
Olimpiade itu kan benar-benar yang dinanti semua atlet. Olimpiade itu ajang yang paling puncak untuk pesta olahraga.
Saya ini ikut defile waktu di Olimpiade Beijing, bersama kontingen Indonesia. Perasaan saya waktu itu, wah sekali, karena memang ramai banget ini kejuaraan, pembukaannya luar biasa, spektakuler.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pokoknya perasaan ini campur aduk bisa mewakili Indonesia di Olimpiade.
Dulu di Olimpiade 2008, cabang angkat besi tidak terlalu ditarget emas, tapi untuk Eko Yuli ditarget emas. Kalau untuk saya tidak. Pelatih waktu itu, Pak Lukman, tidak menargetkan apa-apa dalam setiap pertandingan.
Dia cuma bilang angkatan dalam latihan itu harus bisa tercapai di setiap pertandingan, jadi atlet tidak terlalu terbebani.
Lagipula waktu 2008 itu saya memang mendapatkan keuntungan besar, beruntung sekali, karena kawan-lawan saya pada gagal melakukan angkatan, sehingga DNF (did not finish) atau dianggap tidak selesai.
 Asian Games 2018 jadi salah satu pengalaman buruk Triyatno tampil di ajang besar. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Kalau di angkat besi itu kan dalam tiga angkatan gagal, maka dianggap DNF, sehingga saya naik ke peringkat ketiga dan dapat medali perunggu (kelas -62kg).
Saya merasa beruntung sekali, karena pertama, saya tidak diunggulkan, dan kedua lawan-lawan saya gagal melakukan angkatan.
Karena sejak awal saya tidak ditarget medali, saya benar-benar tanpa beban di sana, dan setiap selesai pertandingan saya dengan pelatih selalu menonton lawan-lawan bertanding sampai selesai.
Lawan-lawan saya itu mendapatkan kesempatan mengangkat pada sesi terakhir. Setelah saya itu masih banyak yang belum kebagian angkatan, total ada sekitar enam lifter lagi yang harus melakukan angkatan.
Setelah bertanding saya hanya tinggal menunggu mereka selesai. Saya tinggal menunggu keajaiban saja. Mereka akhirnya selesai, dan saya mendapatkan medali perunggu Olimpiade 2008.
Nasib di Olimpiade 2008 berbeda dengan Olimpiade 2012. Kalau Olimpiade 2012 saya harus berjuang keras, ketara banget perjuangan di 2012.
Dalam angkatan snatch saya ada di peringkat kesembilan. Saat itu Pak Lukman bilang ke saya, "ya sudah kamu enggak usah pikirkan snatch, kita masih ada angkatan clean and jerk".
Ya sudah saya kembali fokus untuk clean and jerk dan mengatur strategi sedemikian rupa dengan Pak Lukman. Sampai akhirnya saya jadi orang kedua terakhir yang melakukan angkatan penentuan untuk emas dan perak.
Lifter China (Lin Qingfeng) yang jadi pesaing saya itu gagal di angkatan terakhir, dia nembak 198 kg, saya berhasil di 188kg. Tetapi karena dia sudah unggul jauh di snatch, jadi tetap dapat emas, saya dapat perak (kelas -69kg).
Medali perak Olimpiade 2012 itu jadi yang paling berkesan bagi saya. Karena tidak ada keberuntungan, kekuatan lawan juga sudah kita petakan, ditambah lagi hanya angkat besi yang dapat meraih medali di 2012.
Apalagi waktu persiapan dan bertanding saya dalam kondisi cedera juga. Cedera meniscus di lutut.
Saya dapat cedera itu saat latihan rutin dalam persiapan ke Olimpiade 2012. Saat pertandingan masih terasa sakit. Tapi karena Olimpiade, sakit itu jadi tidak dirasa.
Dalam persiapan saya masih tahan-tahan itu cedera. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera. Sampai sekarang yang namanya cedera itu momok bagi atlet, mengganggu sekali. Sebisa mungkin jangan cedera.
Sayangnya prestasi pada Olimpiade 2008 dan 2012 tidak terulang di Asian Games 2018 di rumah sendiri. Sebenarnya angkatan saya sudah bagus, seperti di London, hanya tinggal diterapkan di pertandingan. Eh, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ya kesalahan komunikasi itu.
Angkatan pertama saya di 175kg, seharusnya dinaikkan 5kg, karena lawan-lawan juga sudah dinaikkan. Setelah angkatan pertama itu saya tidak bisa mengejar yang lain.
Saya akhirnya di peringkat empat, hanya selisih 1kg dari peraih perunggu, beda 2kg dengan peraih perak.
Kalau dibilang kepikiran karena kegagalan itu, ya pasti kepikiran. Apalagi saya dapat perunggu waktu Asian Games 2010. Tapi ya sudahlah, move on saja, masih ada kejuaraan-kejuaraan lain.
Buat saya pribadi, kalau pengalaman pahit seperti itu saya buang jauh-jauh. Karena kan kejuaraan tidak itu saja. Jadi untuk diri sendiri lupakan saja, masih ada kejuaraan lain yang lebih penting juga.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>
Saya bisa jadi atlet angkat besi itu karena doktrin dari pelatih. Ditunjukkan foto-foto peraih medali Olimpiade 2000 dan dibilang bisa dapat segala fasilitas kalau juara.
Awal kenal angkat besi, saya diajak teman untuk melihat latihan di sasana angkat besi di Metro Lampung pada 2000, karena masih kecil belum tahu apa-apa jadinya ikut-ikutan saja.
Sebelum ke angkat besi kegiatan masa kecil saya sama seperti anak-anak lain di kampung. Main sama teman-teman, main di sawah.
Setelah melihat-lihat, sama pelatih yang di sasana itu disuruh masuk ke dalam diajakin latihan.
"Sini-sini masuk, mau dikasih uang enggak tiap minggu? Kalau mau, sini latihan."
Awalnya seperti itu sehingga bisa direkrut. Jadi setiap minggu itu dikasih uang Rp5.000. Bayaran itu untuk yang baru-baru latihan saja, kalau yang sudah senior ya dapat gaji per bulan.
Waktu pertama latihan belum kepikiran ingin jadi atlet. Mulai kepikirannya itu waktu sudah latihan seminggu-dua minggu.
 Triyatno masih berhasrat juara di angkat besi demi keluarga. (ANTARA FOTO/INASGOC/Dhemas Reviyanto/YU/18) |
Jadi saat itu dibilangin sama Mas Yon Haryono (pelatih). Kita dikasih lihat gambar-gambar juara Olimpiade 2000: Winarni, Lisa Rumbewas, dan yang lainnya.
Kita semua didoktrin, "Kamu mau seperti ini gak? Juara Olimpiade. Dapat juara, kamu dibiayain semuanya, kamu menginap di hotel".
Nah dari situ pikiran saya langsung, "wah enak juga ya semua-semuanya dibayarin, trus menginap di hotel". Ya termotivasi menjadi atlet. Lalu selang berapa bulan masuk ke mess.
Sebenarnya ketika awal latihan itu orang tua saya tidak tahu kalau saya latihan angkat besi. Orang tua saya tahunya, saya pergi main saja.
Ketahuannya saya latihan angkat besi waktu pulang ke rumah, orang tua lihat celana SD saya sobek. Jadi waktu awal-awal latihan itu saya baru lulus SD.
Latihan pakai celana SD, karena kan latihan belum pakai celana ketat, jadi sobek sampai kaya rok.
"Kamu ini kenapa kok bisa sampai sobek?", kata orang tua saya bertanya. Ya akhirnya bilang kalau latihan angkat besi. Setelah tahu, orang tua mendukung. Pas latihan pagi saya dibangunin subuh, disuruh solat subuh dahulu sebelum latihan.
Setelah latihan sekitar tiga bulan, saya ikut kejuaraan invitasi nasional di Indramayu, tahun 2000 juga.
Tetapi latihan di Metro Lampung itu tidak lama. Di sana seperti ada sengketa, sehingga enggak boleh latihan lagi. Karena kan latihan di sana (Lampung), tapi atas nama Kalimantan Selatan.
Latihan di Lampung tidak sampai setahun, cuma enam bulan doang. Akhirnya kita dipindah ke Parung Panjang dan sekolah dipindah ke sana semua.
Untuk dapat izin dari orang tua karena harus merantau tidak susah. Orang tua menyetujui saja, asal semua itu baik untuk anak, ya mereka setuju saja.
Apalagi anak cowok kan. Orang tua juga mengantar saya sampai ke tempat latihan di Parung Panjang. Dari tahun 2001 awal saya udah merantau.
Pulang ke Lampung hanya setahun sekali, pas Lebaran saja. Kalau libur panjang tidak pulang, hanya Lebaran saja pulangnya, naik travel.
Di Parung Panjang itu dilatih oleh Jony Firdaus, karena pelatih yang awal tidak bisa meninggalkan keluarganya di Metro Lampung.
Setelah enam bulan latihan, saya dibawa ke kejuaraan nasional dan dapat perunggu, dari situ saya makin mantap mau jadi atlet.
Sejak 2000 awal latihan itu saya mulai berprestasi dapat medali emas di kejuaraan nasional tahun 2004. Empat tahun itu termasuk cepat untuk pengalaman dari awal latihan sampai mendapat juara di nasional.
Selanjutnya saya terus berprestasi di kejuaraan nasional. Tahun 2004, 2005, 2006 selalu dapat emas di kejuaraan nasional.
Nah pada 2006 itu ada seleksi nasional. Setelah mengalahkan juara nasional akhirnya ditarik ke pelatnas, persiapan Asian Games 2006 di Doha, Qatar. Semenjak itu terus di pelatnas.
Dalam karier selama ini, yang saya sayangkan setelah operasi, prestasi saya terus menurun. Sempat ingin naik lagi pada 2018, tapi ada kejadian seperti itu. Jadi trauma lagi.
Pada SEA Games 2019, persiapan sudah bagus-bagus ternyata orang lain yang diberangkatkan.
Untuk pemulihan mental seperti itu, saya hanya memikirkan keluarga. Saya harus bangkit untuk keluarga, karena ingat dengan istri dan anak-anak.
Karena anak dan istri sudah sering saya tinggal. Pulang ke rumah cuma seminggu sekali. Masa sih enggak ada titel juara lagi yang bisa saya dapat? Itu saja sih yang masih benar-benar saya kejar sampai sekarang.
[Gambas:Video CNN]