Jakarta, CNN Indonesia --
Sepanjang keikutsertaan saya di SEA Games, saya punya empat medali emas dan satu medali perak. Setiap medali punya cerita dan kesan yang berbeda-beda.
Medali pertama saya di SEA Games adalah medali perak pada SEA Games 2011. Saat itu Indonesia jadi tuan rumah dan saya sangat antusias untuk mengikutinya.
SEA Games 2011 adalah SEA Games pertama saya dan saya berpikir bahwa kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Saya latihan habis-habisan dan bisa jadi yang tercepat di antara atlet Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jelang SEA Games datang, saya terkena cacar air. Dalam kondisi tersebut, saya berusaha keras untuk bisa ikut pertandingan. Saya minum obat agar bisa meredakan nyeri yang saya rasakan.
Tetapi saat hari pertandingan tiba, kondisi saya belum berubah 100 persen. Saya masih bertanding dengan badan gatal dan lemas. Kondisi saya seperti orang yang baru sembuh dari demam.
Hal itu masih ditambah kondisi cuaca panas di Palembang. Saat balapan memasuki kilometer ke-16, saya sudah merasa tidak sanggup. Suporter Indonesia pun sudah tidak terlihat di jalan. Hanya ada pelatih yang mendampingi saya.
Puji Tuhan, justru saya bisa melesat ke urutan kedua dan meraih medali perak. Saya hanya tertinggal 40 detik dari atlet yang meraih medali emas.
"Kalau kamu tidak cacar air, saya yakin kamu medali emas." Itulah yang dikatakan pelatih pada saya.
 Hendro Yap punya koleksi empat emas dan satu perak dari ajang SEA Games. (AFP/JUNI KRISWANTO) |
Keberhasilan meraih medali perak menimbulkan kehebohan di lingkungan rumah saya. Orang tua saya masih tidak menyangka anaknya bisa muncul di televisi dan meraih medali perak SEA Games. Pemberitaan juga lumayan ramai karena saya meraih perak dalam kondisi sakit. Tetangga ramai-ramai datang memberikan ucapan selamat.
Pada SEA Games 2013, saya mengalami masalah pada ACL saya. Ada peradangan di sana. Setelah menjalani pemeriksaan, saya dinyatakan punya risiko tidak bisa jalan. Bila saya memaksa berlomba, ada kemungkinan saya lumpuh.
Dalam kondisi seperti itu, saya menegaskan rela menghadapi semua risiko. Bila SEA Games 2013 jadi SEA Games terakhir saya, saya rela melakukannya. Saya siap dengan risiko lumpuh. Akhirnya saya berangkat dengan segala macam risiko yang siap saya tanggung.
Puji Tuhan, saya bisa mendapat medali emas. Saya berlomba dengan kondisi kaki yang sakit dan merasakan derita yang amat sangat.
Karena dalam pikiran saya, ini adalah SEA Games terakhir, saya berusaha keras untuk memberikan semaksimal mungkin. Ini SEA Games terakhir saya, saya harus lakukan yang terbaik. Itulah yang menjadi motivasi saya hingga akhirnya bisa meraih medali emas.
Di SEA Games 2015, saya hampir keluar dari Indonesia. Waktu itu salah seorang pengurus PASI menyatakan saya sudah tidak lagi dibutuhkan. Lalu saya meminta surat pengunduran diri dari tim nasional bila memang sudah tidak dibutuhkan.
Saya sudah sempat berpikir untuk pindah negara kalau memang saya sudah tidak lagi dibutuhkan di Indonesia. Seorang teman di Singapura sudah menawarkan agar saya pergi ke sana. Saya pun sudah mulai serius mencari informasi-informasi yang dibutuhkan untuk syarat pindah ke sana.
Tetapi kemudian hal itu batal karena saya dipanggil oleh pelatih dan mengingatkan saya hal seperti itu tidak usah diambil hati. Saya diminta untuk terus berlatih dan nanti bakal ada jalan.
Beruntung bagi saya, SEA Games 2015 dipegang oleh Prima alias Program Indonesia Emas, bukan induk organisasi. Jadi yang menentukan seorang atlet berangkat atau tidak langsung dari sana. Akhirnya saya berangkat dan sukses meraih medali emas.
Di SEA Games 2017, menurut saya ini adalah SEA Games paling menarik buat saya. Saya baru pulang dari Spanyol dan saya ingin ditemani oleh pacar saya, Sherly Metta Dewi, karena saya ingin bertanding dengan ditonton langsung oleh orang yang saya sayang.
 SEA Games 2017 jadi salah satu momen menarik karena ia bisa juara saat ditonton oleh sang kekasih. (Arsip Pribadi) |
Saya baru latihan dua bulan, namun saya bertekad harus menang karena pacar saya menonton. Bagi saya itu SEA Games kejutan karena saya bisa meraih medali emas, memecahkan rekor SEA Games.
Itu kali pertama saya berselimutkan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya terdengar dari official ceremony. Di dua kesempatan sebelumnya, mungkin saya tidak diprediksi bisa meraih medali emas. Karena itu saat itu Indonesia Raya yang diputar dari telepon genggam yang disambungkan ke microphone. Barulah di 2017, lagu Indonesia Raya benar-benar ada dari official.
Pada 2019 saya kembali mengalami masalah sebelum keberangkatan. Sebulan sebelum berangkat, saya diberitahu bakal dicoret setelah SEA Games karena PASI ingin fokus ke atlet-atlet muda.
Saya bingung dan menyayangkan pemberitahuan itu datang sebelum SEA Games. Lalu saya berhasil meraih medali emas. Itu semua karena motivasi saya ingin membahagiakan orang-orang yang saya sayang termasuk mengumpulkan uang agar bisa lekas menikah karena saya ingin berkeluarga.
Selain prestasi, perjalanan karier saya juga tentu berisi hal-hal yang mengecewakan. Misalnya dalam pemilihan seleksi SEA Games 2009. Saat itu saya diminta seorang pelatih untuk cukup berada di urutan ketiga demi salah seorang senior saya.
Kata pelatih, bila saya di nomor dua dan senior saya di urutan ketiga, maka senior saya tidak akan berangkat ke SEA Games. Tetapi bila senior saya di urutan kedua dan saya di urutan ketiga, maka saya tetap akan berangkat SEA Games dan Indonesia bakal mengirimkan tiga wakil.
Saat seleksi dilakukan, saya sudah ada di nomor urut kedua dan saya ingat pesan pelatih saya. Lalu saya mundur dan membiarkan senior saya menyalip dan finis di urutan kedua.
Namun nyatanya, yang diberangkatkan ke SEA Games cuma dua atlet. Saya tidak berangkat. Saya kecewa dengan pelatih yang tidak bisa memperjuangkan saya. Akhirnya saya sempat keluar dari pelatnas saat itu dan kembali latihan di Jawa Barat.
Momen lain yang mengecewakan bagi saya adalah Islamic Solidarity Games. Saat itu saya sudah finis di urutan kedua, lalu saya lihat Hakmal Lisauda sedang bersaing dengan atlet Kamerun, Gabriel Ngnintedem, untuk berebut medali perunggu
Saya masuk ke tengah lapangan dan berteriak-teriak memberi semangat. Wasit menghampiri saya dan saya didiskualifikasi. Saya seharusnya tidak boleh mengganggu jalannya pertandingan saat saya sudah finis dan menyelesaikan perlombaan.
Saya didiskualifikasi di kejuaraan level dunia saat saya sudah seharusnya meraih perak. Namun hal itu juga yang membuat saya kemudian termotivasi untuk memberikan yang terbaik di SEA Games 2013.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Saya lahir di Medan, Sumatera Utara pada 1990. Nama asli saya Yap Kim Lung, namun itu nama Chinese yang tidak bisa saya pakai.
Kalau saya pakai, saat itu saya tidak bisa sekolah di zaman saya waktu kecil. Saya sekolah di negeri, jadi harus menggunakan nama Indonesia.
Zaman saya kecil, diskriminasi masih tinggi. Entah apakah saya bisa pakai nama saya itu bila sekolah di swasta. Namun yang pasti di sekolah negeri tidak boleh. Sedangkan saya harus sekolah di SD Negeri karena keterbatasan ekonomi orang tua. Saya pun langsung masuk SD tanpa TK karena keterbatasan ekonomi.
Setelah di Medan, saya pindah ke Cileungsi saat kelas 4 SD. Saya lalu melanjutkan ke SMP 1 Cileungsi. Sejak SD saya selalu ingin mencari teman. Saya ingin mencari teman yang pintar dan baik, tetapi mereka tak mau berteman dengan saya. Saya kurang diterima di lingkungan itu.
Akhirnya saya bergaul di lingkungan yang bisa dibilang nakal. Hidup di terminal dan pasar serta minum minuman keras. Itu semata karena saya ingin punya teman dan saat itu dunia itu yang bisa menerima perbedaan saya.
Keinginan untuk punya teman terus berlanjut. Saya ikut olahraga demi bisa punya banyak teman. Namun saat masuk sekolah sepak bola, saya malah jadi bahan perundungan dan perlakuan kasar dari teman-teman saya.
 Hendro Yap awalnya menekuni dunia olahraga demi bisa punya banyak teman. (Arsip Pribadi) |
Walau saya hidup di pasar dan terminal, bukan berarti saya suka kekerasan. Saya tidak suka kekerasan. Melihat orang berkelahi saja saya takut. Diajak berkelahi pun tentu takut.
Saya masuk SMPN 1 Cileungsi karena melihat sosok Pak Anang Suryana. Dia guru terkenal dan merupakan wasit sepak bola yang punya lisensi tingkat Asia.
Dia sering lari dan hal itu yang membuat saya berminat untuk ikut lari dan mendalami dunia olahraga. Saya lebih dulu menekuni lari 100 meter, tetapi saya sudah kalah di level kecamatan. Soal seleksi tim sepak bola dan basket, saya juga tidak terpilih.
Dalam situasi itu, saat kelas 3 SMP pada 2004, orang tua saya berkata untuk tidak lagi melanjutkan sekolah karena sudah tidak ada biaya. Kalau saya mau lanjut sekolah, saya harus cari biaya sendiri.
Saya ceritakan hal itu pada Pak Anang. Lalu saya diminta ikut olahraga jalan cepat. Tujuannya agar saya bisa masuk PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar).
"Apa itu PPLP pak?" kata saya waktu itu.
Dia bilang di PPLP itu saat saya bisa sekolah gratis, latihan gratis, dan makan gratis. Saya pun bersedia dan punya tekad untuk bisa masuk PPLP.
Beliau tunjukkan caranya dan saya coba lakukan. Ternyata saya langsung disuruh latihan dan ikut kejuaraan junior di Bandung. Saya langsung bisa meraih peringkat ketiga di kejuaraan se-Jawa Barat itu.
Untuk bisa masuk PPLP, saya harus lebih dulu berprestasi di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Demi bisa berprestasi di Popnas, saya harus latihan keras.
Namun latihan diselenggarakan di Cibinong, sedangkan rumah saya di Cileungsi. Butuh ongkos Rp7.000 untuk pergi-pulang sedangkan uang jajan saya hanya Rp2.000 sehari.
Alhasil saya harus kerja keras selepas pulang sekolah. Saya kumpulkan kardus, barang bekas, besi lalu naik sepeda ke Bantar Gebang. Karena saat itu 1kg masih dihargai Rp250, setidaknya saya harus bisa dapat 20kg sehari untuk ongkos ke Cibinong.
Saya punya kenangan yang selalu saya ingat soal latihan di Cibinong. Pada suatu hari, saya sangat haus dan posisi sudah pukul tujuh malam.
Biasanya sebelum pulang saya minum air keran yang ada di kamar mandi stadion untuk menghilangkan haus. Tetapi hari itu, stadion sudah tutup dan saya pun tidak bisa minum sebelum pulang.
Ketika saya sedang menunggu angkot di minimarket, saya sangat haus dan membayangkan alangkah segarnya bila bisa makan es krim saat itu. Es krim yang saya bayangkan ada di kotak berwarna merah, kuning, dan hijau.
Tetapi tidak mungkin saya beli es krim itu karena uang saya hanya tersisa untuk ongkos pulang. Di saat saya sedang membayangkan, ada seorang anak yang masuk ke minimarket itu dengan ibunya dan keluar dengan membeli es krim yang saya inginkan.
Saya hanya bisa melihat anak itu, tetapi ternyata baru satu kali mencicip es krim, anak itu membuang es krimnya ke tanah dan jatuh di dekat kubangan air. Lalu anak itu berteriak meminta es krim baru kepada ibunya.
Dalam hati saya berpikir,'Kok dia bisa membuang es krim yang saya inginkan?'. Saya terus perhatikan es krim itu sampai ketika angkot saya datang, saya memilih untuk tidak naik.
Ketika tidak ada orang yang melihat, saya pungut es krim itu. Saya bersihkan bagian yang kotor dengan baju saya lalu saya makan es krim itu sambil menitikkan air mata.
Saat itu saya bertekad untuk bisa membeli es krim ini dengan keringat sendiri. Saya bertekad tidak akan lagi memungut makanan seperti ini.
 Peristiwa es krim jadi salah satu momen yang membangkitkan semangat Hendro Yap dalam meniti karier. (Arsip Pribadi) |
Sebulan kemudian dengan segala rintangan, termasuk sempat kecelakaan motor sebelum berangkat, saya bisa jadi juara pertama di kelompok umur di bawah 18.
Keinginan jadi atlet juga tak semuanya mulus karena orang tua saya khawatir lantaran saya punya asma dan hernia. Jadi sejak saat latihan di Cibinong saya sering dimarahi dan dipukul karena mulai serius berolahraga.
Saya sudah tak ambil pusing dengan hal itu. Jadi kalau dipukul ya sudah, lalu saya mandi makan dan tidur. Ketika masuk PPLP pun, orang tua sempat tidak merestui dan saya kabur dari rumah. Orang tua baru tahu sebulan kemudian.
Seiring tahun berjalan, saya akhirnya bisa menembus masuk pelatnas pada 2007. Saya mulai menekuni jalan cepat di 2004 lalu berhasil masuk pelatnas di 2007.
Meski terbilang cepat dalam proses, bagi saya, olahraga itu bukan soal berbakat. Olahraga itu soal kerja keras dan konsistensi. Saya selalu berpikir bila saya kalah hari ini, saya akan menjadikan hal itu sebagai tambahan motivasi untuk lebih semangat berlatih. Saya akan berlatih ketika orang-orang tidak berlatih.
Merangkum perjalanan saya, saya memang belum sepenuhnya puas karena sebenarnya saya ingin tampil di Olimpiade. Namun setidaknya saya bisa senang melihat olahraga jalan cepat makin dikenal orang meski masih jauh dari nomor olahraga favorit.
Sejak 2019, saya juga memberanikan diri untuk menempatkan nama Hendro Yap dalam nama saya. Saya tidak perlu menutup diri soal ini. Bila bangsa ini menerima saya, mereka juga tentu bisa menerima bahwa saya ini etnis Tionghoa dan jadi salah satu bagian Indonesia.
Saya lahir di Indonesia. Orang tua dan kakek nenek saya juga sudah lahir di Indonesia.
Saya memang keturunan Tionghoa, tetapi bukan berarti saya bukan orang Indonesia. Tolong jangan membedakan orang dari etnis. Saya orang Indonesia dan membela serta membawa nama negara ini sejak 2007 hingga saat ini.
[Gambas:Video CNN]