Jakarta, CNN Indonesia --
"Basketball is my blood." Bahkan saya berharap suatu saat ketika sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, jenazah saya bisa disemayamkan di lapangan basket dulu baru ke kuburan.
Kalau disuruh memilih satu kata yang mewakili basket, maka saya pilih kata 'cinta'. Tanpa kecintaan pada olahraga ini, saya rasa apa yang saya lakukan tidak bisa berjalan lancar.
Saya cinta olahraga basket yang sudah puluhan tahun saya lakoni, ya jadi pemain, asisten pelatih, kepala pelatih, sampai sekarang jadi wakil presiden klub basket.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan karena saya dapat julukan Jordan makanya jadi cinta sama basket, jauh-jauh sebelum itu saya sudah lebih dulu kenal, suka dan cinta.
Dari tahun 1980-an kenal basket sampai sekarang, masa-masa yang saya paling suka adalah saat menjadi pemain. Dengan jadi pemain itu saya bisa mengekspresikan secara langsung apa yang ada di otak. Kalau sebagai wakil presiden klub, seperti sekarang misalnya, belum tentu apa yang ada di pikiran saya bisa terealisasi.
Zaman jadi atlet, sama seperti hidup manusia, ada naik turunnya. Saya benar-benar merasa di puncak ketika menjadi satu-satunya wakil Indonesia di ajang Asia All Star 1998. Di saat Indonesia sedang dilanda kerusuhan waktu itu, saya pergi ke Taiwan.
[Gambas:Instagram]
Saya enggak tahu kenapa waktu itu bisa terpilih. Kalau enggak salah waktu itu Asosiasi Federasi Basket Internasional (FIBA), lewat scouting talent, memasukkan nama saya dalam nominasi atlet terbaik dari Indonesia untuk mendapat kesempatan main di Asia All Star.
Dalam sebuah forum pertemuan di Thailand, FIBA kemudian bertanya mengenai pemilihan saya kepada sosok basket yang tak asing di Tanah Air, Kim Hong. Koh Kim Hong ini adalah bos tim Aspac, dia merasa saya layak menjadi pilihan FIBA. Padahal saya waktu itu bermain di tim Pelita Bakrie, bukan tim Aspac di mana dia menjadi pemimpin.
Saya sendiri bermain di Asia All Star bersama 11 bintang basket Asia lainnya melawan dua tim tuan rumah, Chinese Taipei All Star dan timnas Taiwan. Seharusnya saya bermain bersama bintang basket China, Yao Ming, tapi hubungan Taiwan dan China yang panas membuat mantan pemain Houston Rockets itu batal datang.
Seperti saya sebut di atas, masuk tim Asia All Star adalah puncak karier saya yang paling top. Enggak bakal ada pemain Indonesia lagi yang bisa main di situ. Bukannya sombong, tapi ajangnya memang sudah enggak ada sekarang...hehehe.
Tapi sebenarnya setahun setelah saya main, ada dua nominasi lagi dari Indonesia untuk Asia All Star 1999. Tetapi dua orang tersebut sebatas menjadi nominasi saja, mereka enggak main.
Saya merasa itu catatan spesial. Di Indonesia saya kira cuma ada nama om Sonny Hendrawan yang pernah menorehkan prestasi terhebat sampai level Asia di tahun 1960-an. Beliau ini top skor kejuaraan Asia, dan saya merasa enggak ada apa-apanya dibanding beliau.
[Gambas:Instagram]
Menurut saya tampil di Asia All Star adalah sejarah, dan seperti saya bilang di atas tidak akan bisa diikuti oleh orang-orang lain lagi dari Indonesia karena ajangnya sudah enggak ada. Itulah kenapa menurut saya tampil di Asia All Star adalah capaian tertinggi.
Lagi pula itu adalah catatan di level Asia dan sementara Indonesia belum pernah sampai tampil di Asian Games, kecuali kemarin saat jadi tuan rumah pas 2018.
Selain prestasi di Asia All Star, saya juga ikut membuat sejarah-sejarah di blantika basket Indonesia. Bedanya dengan Asia All Star, sejarah-sejarah yang saya torehkan bisa dipecahkan oleh pemain-pemain lain yang masih aktif saat ini.
Yang pertama waktu meraih perunggu pertama di SEA Games 1993. Itu adalah medali pertama tim basket putra Indonesia di SEA Games. Yang kedua adalah ketika dapat perak di SEA Games 2001. Itu juga sejarah karena pertama kali Indonesia bisa main di final dan dapat perak.
Saya juga sempat membawa Indonesia juara SEABA tahun 1996. Waktu itu menang lawan Filipina, sebuah prestasi yang luar biasa karena kita tahu Filipina kan raja basket di Asia Tenggara yang sampai sekarang terus jadi tembok buat kita untuk bisa dapat emas.
Sejarah lain yang menurut saya bisa dibanggakan adalah ketika saya masuk timnas senior pas umur 17 tahun 11 bulan. Itu saya enggak tahu apakah sekarang sudah pecah rekornya atau belum. Sudah atau belum enggak masalah, yang saya ingin tekankan adalah saya bisa melakukan itu murni dengan kemampuan, pengorbanan, dan kerja keras.
Saya mendapat kesempatan itu bukan karena hal-hal lain, misalnya jalur belakang, atau karena saya terkenal atau istilahnya jaman sekarang viral begitu.
Satu lagi sejarah adalah ketika saya jadi pelatih. Pas SEA Games 2019 terakhir kemarin saya bawa tim 3X3 meraih medali perak ketika cabang tersebut untuk kali pertama dipertandingkan.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>
Soal nama Jordan, dan kemudian dikenal banyak orang dengan nama Budi Jordan, ini asal-usulnya sekitar tahun 1993 atau 1995. Waktu itu ada ajang Asian Basketball Championship di Indonesia. Saya main di situ, kemudian diwawancara sama mas Arbain Rambey dari Kompas.
Wawancaranya saya lupa soal apa, macam-macam pertanyaannya. Ternyata pas terbit, Kompas itu menyebut saya Michael Jordan-nya Indonesia. Mulai dari situ nama Budi Jordan kemudian melekat.
Buat saya ya senang-senang saja dengan julukan itu, meskipun saya enggak ada apa-apanya sama Jordan. Gaya main pun enggak sama, dibilang Jordan style jauh lah. Cuma mungkin saya mengidolakan Jordan dan ada gerakan-gerakan signature-nya Jordan yang saya ikuti. Ada gerakan reverse atau nge-hang yang juga saya tiru.
Salah satu signature-nya Jordan yang saya ikuti itu adalah ketika nge-dunk. Tetapi itu juga cuma satu saja. Kalau yang dari tengah (garis lemparan bebas) ya enggak bisa, hahaha.
Saya cukup lama jadi pemain, sampai umur 36. Sementara kenal basket sendiri sudah dari umur 7-8 tahun. Awalnya saya lebih dulu kenal sepak bola. Lingkungan juga yang bikin saya tahu basket.
Dulu waktu saya masih kecil saya dan teman-teman seumuran itu main sepak bola sampai jam 4 sore di lapangan Guntur, Menteng. Setelah itu baru lapangan dipakai sama anak-anak yang lebih gede buat main basket.
Dari situ saya diajak langsung sama kakak saya, Bambang Hermansyah. Saya dilatih dan serius main di klub juga di sekolah dari usia SD. Banyak piala yang saya sumbang juga buat klub atau sekolah.
 Ali Budimansyah menjadi salah satu ikon olahraga basket Indonesia pada 1990-an hingga 2000-an. (Tangkapan Layar Instagram/@alibudi31) |
Basket dan sekolah ternyata enggak bisa bersatu. Mungkin seharusnya bisa, tetapi di kasus saya enggak. Waktu itu saya dipanggil membela timnas pelajar. Itu memang bertepatan dengan masa akhir saya di kelas 3 SMP. Pas banget waktunya sama EBTANAS, kalau anak sekarang ujian akhirlah namanya.
Main di Filipina selesai, pas pulang langsung ujian susulan. Ya karena memang fokus sebelumnya adalah berlatih basket dan ya memang saya enggak buka-buka buku pas tanding, jelas saya enggak bisa dapat nilai bagus.
Sebenarnya ada jalan agar saya bisa lulus, tetapi karena pertimbangan ibu saya yang juga guru memutuskan saya tinggal kelas. Karena toh nanti ketika saya masuk 1 SMA bisa jadi saya enggak mengerti apa-apa. Akhirnya saya kemudian pindah ke SMP 9.
Pas di SMA lebih kurang begitu juga. Karena sudah mulai sibuk dengan program pemusatan latihan nasional. Bisa dibilang pas kelas 3 SMA itu saya cuma masuk kurang lebih 20 hari. Akhirnya atas saran Wakil Kepala Sekolah SMA 3, lima bulan sebelum EBTANAS saya pindah ke SMA Ragunan yang memang khusus atlet.
Kuliah di Perbanas pun harus terhenti di tengah jalan karena metode pelatihan di tim nasional waktu itu yang makan waktu berbulan-bulan, berbeda sama sekarang yang lebih singkat.
[Gambas:Instagram]
Kalau karier di klub saya mulai di Mitra Guntur, terus ke Indonesia Muda. Setelah itu main di Dwi Dasa yang ada di divisi satu. Dari Dwi Dasa lanjut gabung ke Bali Jeff, Pelita Bakrie, Aspac, dan berakhir di Kalila yang kemudian berubah nama lagi jadi Pelita Jaya.
Kompetisi paling top pas saya main itu namanya Kobatama, Kompetisi Bola Basket Utama. Di situ saya mendapat dua gelar bersama Aspac tahun 2001 dan 2002.
Selama jadi pemain tentu ada kenangan indah, kenangan buruk, dan kenangan lucu. Yang terindah ya sudah saya sebut di awal-awal. Kalau yang terburuk ini adalah ketika saya ribut di lapangan sama Kiki Susilo dan saya diskors.
Itu buat saya jadi kenangan buruk karena pada dasarnya saya enggak suka keributan. Masalah saya sama Kiki waktu itu enggak butuh proses lama untuk berdamai. Kita keluar lapangan bareng, kita sudah ketawa-tawa di situ, dan masalah sudah selesai sejak saat itu.
Buat saya berantem seperti itu enggak ada gunanya, saya menganggap semua teman di lapangan. Jadi lawan hanya ada di dalam lapangan, di luar ya jadi teman lagi. Apalagi juga kan sebenarnya kita sama-sama cari makan. Tetapi ya emang basket kan olahraga yang kontak dengan lawan jadi mungkin ada sikut-sikutan atau semacamnya.
Kalau pengalaman lucu itu pas saya pemusatan latihan di China selama tujuh bulan. Itu lucu karena sama teman-teman terus, dan selalu ada cerita lucu, salah satunya kita di China selalu sarapan bubur dan cakwe, itu terus-terusan. Sebenarnya ada makanan lain yang bisa dimakan, tetapi kita enggak sreg. Jadi bisa dibilang bubur dan cakwe selama tujuh bulan jadi kenangan lucu.
[Gambas:Instagram]
Saya memutuskan pensiun pas saya di Kalila pada 2006, sesaat sebelum ganti nama jadi Pelita Jaya. Waktu itu ada faktor cedera, saya juga pikir sudah cukup jadi pemain, dan ada dorongan dari pelatih utama kak Rastafari Horongbala.
Saya pikir ya oke. Saya mundur jadi pemain dan kasih kesempatan buat yang muda, regenerasi begitu. Saya lebih dibutuhkan sebagai asisten dan akhirnya saya ikut arahan itu karena menurut saya apapun yang terbaik buat tim akan saya lakukan.
Setelah lebih kurang tiga atau empat tahun jadi asisten pelatih di Pelita Jaya, sempat juga jadi asisten AF Rinaldo di Garuda Bandung. Di situ sempat ada tawaran jadi pelatih utama, tetapi saya menolak dengan halus karena waktu itu belum siap menjadi head coach karena itu kan tanggung jawab besar.
Kemudian Garuda menarik pelatih baru, yang kebetulan adalah kakak saya Tjetjep Firmansyah. Setelah jadi asisten pelatih di beberapa tim dan berada di belakang pelatih-pelatih itu, kemudian saya baru percaya diri untuk jadi pelatih.
Sampai kemudian ada tawaran melatih di tim Siliwangi Bandung dan saya ambil. Tetapi memang nasib kurang baik, waktu itu Siliwangi bangkrut. Dari Siliwangi, alhamdulillah dapat kepercayaan jadi pelatih Timnas 3X3 Indonesia di SEA Games 2019
Sekarang saya di Bumi Borneo sebagai wakil presiden. Saya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan eksternal tim, misalnya urusan dengan sponsor, pihak operator penyelenggara liga basket. Tetapi ada kalanya saya juga dimintai masukan untuk tim mengingat background panjang sebagai pemain dan pelatih.
Di luar kegiatan sebagai wakil presiden saya juga masih punya aktivitas bareng mas Romy Chandra untuk membina bakat-bakat muda di olahraga basket yang kita namakan akademi dan klub Warriors, itu masih berjalan sampai sekarang.
Itu adalah sumbangsih saya untuk ekosistem basket Indonesia. Saat ini menurut saya ekosistem basket di negara ini sudah lebih bagus dibanding zaman saya dulu main.
Sekarang juga gampang lah buat dapat informasi. Mau apa? latihan sampai sport science atau motivasi-motivasi bisa dilihat di YouTube atau media sosial apapun. Sudah begitu gampang. Kalau dulu sumber kita latihan cuma dari pelatih, dan kita enggak tahu itu memang benar atau enggak.
Pemain-pemain basket Indonesia juga sekarang bagus-bagus. Sekarang tinggal bagaimana membentuk timnas yang solid biar bisa melewati capaian-capaian yang terdahulu. Kalau yang dulu sudah bisa dapat perunggu dan perak SEA Games, yang sekarang targetnya emas SEA Games. Begitu dong kalau kita mau bicara peningkatan prestasi.
Melawan Filipina memang sulit, mereka punya kultur kuat. Semua tergantung dari banyak faktor, kompetisi, pemain, pelatih, dan lain-lain. Tetapi saya percaya kita bisa dan akan ada waktunya kita bisa dapat emas SEA Games lagi.
[Gambas:Video CNN]