Soal nama Jordan, dan kemudian dikenal banyak orang dengan nama Budi Jordan, ini asal-usulnya sekitar tahun 1993 atau 1995. Waktu itu ada ajang Asian Basketball Championship di Indonesia. Saya main di situ, kemudian diwawancara sama mas Arbain Rambey dari Kompas.
Wawancaranya saya lupa soal apa, macam-macam pertanyaannya. Ternyata pas terbit, Kompas itu menyebut saya Michael Jordan-nya Indonesia. Mulai dari situ nama Budi Jordan kemudian melekat.
Buat saya ya senang-senang saja dengan julukan itu, meskipun saya enggak ada apa-apanya sama Jordan. Gaya main pun enggak sama, dibilang Jordan style jauh lah. Cuma mungkin saya mengidolakan Jordan dan ada gerakan-gerakan signature-nya Jordan yang saya ikuti. Ada gerakan reverse atau nge-hang yang juga saya tiru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu signature-nya Jordan yang saya ikuti itu adalah ketika nge-dunk. Tetapi itu juga cuma satu saja. Kalau yang dari tengah (garis lemparan bebas) ya enggak bisa, hahaha.
Saya cukup lama jadi pemain, sampai umur 36. Sementara kenal basket sendiri sudah dari umur 7-8 tahun. Awalnya saya lebih dulu kenal sepak bola. Lingkungan juga yang bikin saya tahu basket.
Dulu waktu saya masih kecil saya dan teman-teman seumuran itu main sepak bola sampai jam 4 sore di lapangan Guntur, Menteng. Setelah itu baru lapangan dipakai sama anak-anak yang lebih gede buat main basket.
Dari situ saya diajak langsung sama kakak saya, Bambang Hermansyah. Saya dilatih dan serius main di klub juga di sekolah dari usia SD. Banyak piala yang saya sumbang juga buat klub atau sekolah.
![]() |
Basket dan sekolah ternyata enggak bisa bersatu. Mungkin seharusnya bisa, tetapi di kasus saya enggak. Waktu itu saya dipanggil membela timnas pelajar. Itu memang bertepatan dengan masa akhir saya di kelas 3 SMP. Pas banget waktunya sama EBTANAS, kalau anak sekarang ujian akhirlah namanya.
Main di Filipina selesai, pas pulang langsung ujian susulan. Ya karena memang fokus sebelumnya adalah berlatih basket dan ya memang saya enggak buka-buka buku pas tanding, jelas saya enggak bisa dapat nilai bagus.
Sebenarnya ada jalan agar saya bisa lulus, tetapi karena pertimbangan ibu saya yang juga guru memutuskan saya tinggal kelas. Karena toh nanti ketika saya masuk 1 SMA bisa jadi saya enggak mengerti apa-apa. Akhirnya saya kemudian pindah ke SMP 9.
Pas di SMA lebih kurang begitu juga. Karena sudah mulai sibuk dengan program pemusatan latihan nasional. Bisa dibilang pas kelas 3 SMA itu saya cuma masuk kurang lebih 20 hari. Akhirnya atas saran Wakil Kepala Sekolah SMA 3, lima bulan sebelum EBTANAS saya pindah ke SMA Ragunan yang memang khusus atlet.
Kuliah di Perbanas pun harus terhenti di tengah jalan karena metode pelatihan di tim nasional waktu itu yang makan waktu berbulan-bulan, berbeda sama sekarang yang lebih singkat.
Kalau karier di klub saya mulai di Mitra Guntur, terus ke Indonesia Muda. Setelah itu main di Dwi Dasa yang ada di divisi satu. Dari Dwi Dasa lanjut gabung ke Bali Jeff, Pelita Bakrie, Aspac, dan berakhir di Kalila yang kemudian berubah nama lagi jadi Pelita Jaya.
Kompetisi paling top pas saya main itu namanya Kobatama, Kompetisi Bola Basket Utama. Di situ saya mendapat dua gelar bersama Aspac tahun 2001 dan 2002.
Selama jadi pemain tentu ada kenangan indah, kenangan buruk, dan kenangan lucu. Yang terindah ya sudah saya sebut di awal-awal. Kalau yang terburuk ini adalah ketika saya ribut di lapangan sama Kiki Susilo dan saya diskors.
Itu buat saya jadi kenangan buruk karena pada dasarnya saya enggak suka keributan. Masalah saya sama Kiki waktu itu enggak butuh proses lama untuk berdamai. Kita keluar lapangan bareng, kita sudah ketawa-tawa di situ, dan masalah sudah selesai sejak saat itu.
Buat saya berantem seperti itu enggak ada gunanya, saya menganggap semua teman di lapangan. Jadi lawan hanya ada di dalam lapangan, di luar ya jadi teman lagi. Apalagi juga kan sebenarnya kita sama-sama cari makan. Tetapi ya emang basket kan olahraga yang kontak dengan lawan jadi mungkin ada sikut-sikutan atau semacamnya.
Kalau pengalaman lucu itu pas saya pemusatan latihan di China selama tujuh bulan. Itu lucu karena sama teman-teman terus, dan selalu ada cerita lucu, salah satunya kita di China selalu sarapan bubur dan cakwe, itu terus-terusan. Sebenarnya ada makanan lain yang bisa dimakan, tetapi kita enggak sreg. Jadi bisa dibilang bubur dan cakwe selama tujuh bulan jadi kenangan lucu.
Saya memutuskan pensiun pas saya di Kalila pada 2006, sesaat sebelum ganti nama jadi Pelita Jaya. Waktu itu ada faktor cedera, saya juga pikir sudah cukup jadi pemain, dan ada dorongan dari pelatih utama kak Rastafari Horongbala.
Saya pikir ya oke. Saya mundur jadi pemain dan kasih kesempatan buat yang muda, regenerasi begitu. Saya lebih dibutuhkan sebagai asisten dan akhirnya saya ikut arahan itu karena menurut saya apapun yang terbaik buat tim akan saya lakukan.
Setelah lebih kurang tiga atau empat tahun jadi asisten pelatih di Pelita Jaya, sempat juga jadi asisten AF Rinaldo di Garuda Bandung. Di situ sempat ada tawaran jadi pelatih utama, tetapi saya menolak dengan halus karena waktu itu belum siap menjadi head coach karena itu kan tanggung jawab besar.
Kemudian Garuda menarik pelatih baru, yang kebetulan adalah kakak saya Tjetjep Firmansyah. Setelah jadi asisten pelatih di beberapa tim dan berada di belakang pelatih-pelatih itu, kemudian saya baru percaya diri untuk jadi pelatih.
Sampai kemudian ada tawaran melatih di tim Siliwangi Bandung dan saya ambil. Tetapi memang nasib kurang baik, waktu itu Siliwangi bangkrut. Dari Siliwangi, alhamdulillah dapat kepercayaan jadi pelatih Timnas 3X3 Indonesia di SEA Games 2019
Sekarang saya di Bumi Borneo sebagai wakil presiden. Saya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan eksternal tim, misalnya urusan dengan sponsor, pihak operator penyelenggara liga basket. Tetapi ada kalanya saya juga dimintai masukan untuk tim mengingat background panjang sebagai pemain dan pelatih.
Di luar kegiatan sebagai wakil presiden saya juga masih punya aktivitas bareng mas Romy Chandra untuk membina bakat-bakat muda di olahraga basket yang kita namakan akademi dan klub Warriors, itu masih berjalan sampai sekarang.
Itu adalah sumbangsih saya untuk ekosistem basket Indonesia. Saat ini menurut saya ekosistem basket di negara ini sudah lebih bagus dibanding zaman saya dulu main.
Sekarang juga gampang lah buat dapat informasi. Mau apa? latihan sampai sport science atau motivasi-motivasi bisa dilihat di YouTube atau media sosial apapun. Sudah begitu gampang. Kalau dulu sumber kita latihan cuma dari pelatih, dan kita enggak tahu itu memang benar atau enggak.
Pemain-pemain basket Indonesia juga sekarang bagus-bagus. Sekarang tinggal bagaimana membentuk timnas yang solid biar bisa melewati capaian-capaian yang terdahulu. Kalau yang dulu sudah bisa dapat perunggu dan perak SEA Games, yang sekarang targetnya emas SEA Games. Begitu dong kalau kita mau bicara peningkatan prestasi.
Melawan Filipina memang sulit, mereka punya kultur kuat. Semua tergantung dari banyak faktor, kompetisi, pemain, pelatih, dan lain-lain. Tetapi saya percaya kita bisa dan akan ada waktunya kita bisa dapat emas SEA Games lagi.
(nva/har)