Saya juga mendapatkan kehormatan untuk menjadi pembawa bendera kontingen Indonesia saat pulang ke Tanah Air usai meraih medali emas SEA Games 1991. Saya dinobatkan oleh teman-teman atlet untuk membawa bendera Merah Putih.
Waktu berangkat bendera sudah diserahkan ke saya. Saya lipat bendera dan disimpan rapih di dalam tas tetapi tiangnya terpisah. Begitu turun pesawat, ada teman-teman yang berteriak untuk pengibaran bendera, namun tiangnya entah kemana.
Akhirnya bendera enggak bisa dikibarkan, tetapi saya tetap maju. Saat itu yang maju untuk dikalungkan bunga, saya dengan Maria Lawalata yang meraih emas dari cabor atletik di nomor lari maraton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Medali emas SEA Games 1991 membuat karier sepak bola saya terasa lengkap. Saya sebelumnya sudah pernah juara di level klub saat memperkuat Krama Yudha Tiga Berlian.
Torehan gelar-gelar ini terasa semakin berarti mengingat saya sempat putus asa berpikir untuk pensiun setelah mengalami patah tangan yang membuat saya absen panjang.
Kisah pahit itu terjadi kalau tidak salah awal tahun 1983 atau akhir tahun 1982, usia saya masih 20an. Saya masuk tim Liga Selection melawan Brasil All Star di Gelora Bung Karno. Tulang pergelangan tangan kiri saya pecah.
Ketika itu saya memblok tendangan keras pemain lawan menggunakan tangan kiri. Saya sakitnya langsung terasa ke kepala dan badan tapi saya anggap hanya terkilir biasa.
Pergelangan tangan saya yang pecah itu masih sempat saya pakai kompetisi. Baru setelah libur kompetisi saya pilih berobat saat pulang ke Medan.
Saya disuruh melakukan rontgen dan hasilnya diketahui ada tulang pergelangan tangan saya yang pecah. Dari situ saya mulai kecut.
![]() |
Kemudian saya pergi ke Jakarta bertemu dengan dokter. Saya diperiksa kemudian diterapi. Berjalan sekitar 1-2 bulan, teman saya ada yang ngomong, "Kata dokter yang menangani saya kamu sudah tidak bisa main bola. Sudah susah untuk sembuh".
Saya dibilang sudah enggak bisa bermain bola lagi. Mendengar ucapan teman saya itu, saya memutuskan tidak berobat lagi karena dokternya saja tidak yakin saya sembuh.
Saya kemudian dibawa ke berbagai tukang urut, enggak sembuh juga. Saya pun sempat dibawa ke Salatiga untuk melakukan pengobatan.
Ada teman saya almarhum rektor ASMI namanya John, dia yang bawa saya ke Salatiga itu ketika saya berseragam Arseto Solo. Dua kali ke sana tetapi enggak sembuh juga. Setelah itu almarhum membawa saya ke Karang Anyar, Jawa Tengah, tempat sebuah pengobatan alternatif.
Pengobatannya waktu itu sakitnya minta ampun, sampai habis tenaga saya menahan sakit. Saat pulang teman saya itu bilang kamu sudah sembuh, tidak perlu kembali lagi untuk melakukan pengobatan.
Keesokan harinya saya ikut latihan karena penasaran. Biasanya saya hanya latihan menendang bola saja karena tangan masih cedera. Sore itu saya penasaran. Saya ambil sarung tangan kiper, latihan shooting. Ada Asmawi Jambak juga, sesama kiper Arseto pada masa itu.
Saat itu almarhum Zulkarnain Lubis latihan di Solo. Pas sekali sesi shooting dia yang ambil. Dia shooting keras saya blok pake tangan kiri yang sakit ini. Dalam hati biar patah, patah sekalian.
Ajaibnya tangan kiri saya tidak terasa sakit. Saya langsung berhenti, minta ganti. Setelah istirahat sebentar, semangat saya meluap saking senangnya karena tidak ada rasa sakit lagi.
Saking senangnya karena sudah sembuh, pas latihan kiper saya terbang sana, terbang sini. Sampai pemain lain dan Danurwindo kaget karena sebelumnya saya masih cedera.
Berkat pengobatan alternatif itulah akhirnya saya pulih dari cedera yang nyaris membuat karier sepak bola saya tamat. Dua tahun cedera pergelangan tangan saya tidak kunjung pulih, saya sudah putus asa sebenarnya.
Setelah dari Arseto saya bergabung dengan Krama Yudha Tiga Berlian. Saya minta waktu tiga bulan untuk meyakinkan pihak klub karena riwayat cedera yang saya punya.
Sebulan lebih berlatih bersama tim saya tidak merasakan ada masalah. Cukup sebulan saya langsung diikat kontrak. Bisa dibilang karier saya enggak selamanya mulus, tetapi itulah proses.
Saya juga sebenarnya mengawali karier tidak dengan niat menjadi seorang kiper. Saat masih remaja saya ingin main sebagai striker.
Namun takdir membuat saya harus berdiri di bawah mistar. Perkaranya karena saya datang terlambat saat babak pertama pertandingan hampir habis ketika bermain di sebuah tim bola di Medan.
Saya jadi kiper dadakan karena cuma posisi itu yang masih tersisa jika ingin bermain. Tim saya kalah 0-3 tetapi gawang yang saya kawal tidak kemasukan gol di babak kedua walau diserang terus.
Kemudian saya terpilih untuk ikut seleksi PSMS Junior yang tampil di Piala Soeratin. Dari delapan kiper saya terpilih jadi kiper nomor satu dan bisa membawa PSMS juara Piala Soeratin dalam tim yang juga diperkuat almarhum Ricky Yakob. Sejak saat itu perjalanan karier saya kiper dimulai dan meraih prestasi bersama klub serta Timnas Indonesia.