Timnas Indonesia berhasil meraih medali emas SEA Games 1991. Semua orang pun larut dalam sukacita ketika kami menang lewat adu penalti atas Thailand di Filipina.
Kerja keras kami terbayar lunas. Medali emas melingkar di leher kami semua pada akhir turnamen.
Jalan Timnas Indonesia menjadi juara tidaklah mudah. Bersama pelatih kami kala itu, Anatoly Polosin, kami digembleng habis-habisan selama masa persiapan jelang turnamen sekitar dua bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama saya main bola, latihan paling berat saya rasakan bersama Polosin. Dia paling suka menggelar latihan naik dan turun bukit. Kami bukan hanya harus cepat berlari dengan medan yang penuh tanjakan tetapi juga terkadang disuruh menggendong rekan setim.
Latihan ini susahnya bukan main. Karena membawa diri sendiri saja sudah susah tapi ini malah ditambah disuruh menggendong teman. Latihan semacam itu jadi santapan rutin pemain di bukit Lagadar, Cimahi, Jawa Barat, selama masa persiapan.
Banyak pemain yang mengeluh, tetapi kami seperti dicuci otaknya. Kami latihan fisik pagi, siang, dan sore.
![]() |
Jam lima pagi denyut nadi kami sudah diperiksa. Kemudian jam 06.30 siap-siap pertemuan untuk materi latihan, dilanjutkan latihan pagi dari jam 07.00-09.000.
Istirahat sebentar lalu jam 11.00 mulai lagi latihan sampai jam 13.00. Jam 15.30 jadwalnya latihan sore sampai mendekati maghrib. Begitu terus berulang-ulang.
Fisik kami ditempa di sana. Polosin fokus ke fisik karena dia melihat kami hanya kuat main setengah babak, setelah itu babak kedua habis. Itu dia yang lihat dari hasil kompetisi kita.
Saat latihan di lapangan perpindahan dari satu sesi ke sesi berikutnya itu bahkan paling lama 30 detik. Lebih dari itu Polosin sudah ngamuk-ngamuk.
Masa-masa persiapan itu memang berat. Saat kami dalam keadaan capek, Polosin malah cari lawan tanding. Waktu kami untuk jongkok pun sebenarnya sudah susah saking capeknya.
Begitu uji coba kami juga kalah. Terkadang kesal, bicara dalam hati apa pelatih tidak mengerti kami dalam keadaan lelah. Kami lari saja kalah dari lawan yang sebenarnya berada di bawah kita. Lelahnya luar biasa.
Pemberitaan di media-media juga negatif. Arahnya lebih ke pesimistis dengan kemampuan tim ini berprestasi di SEA Games 1991 mengacu hasil uji coba yang jeblok.
Suatu hari karena penasaran yang menggunung saya tanya ke Danurwindo [asisten pelatih]. Ada penerjemah juga saat itu pas saya berada di kamar Polosin.
Saya bilang ke Danur, "Mas, berita di luar jelek lho kita, dengan kekalahan kita di laga uji coba. Apa Polosin tidak melihat keadaan kita? Kita lagi capek sekali untuk lari aja susah. Kita kalah segalanya. Coba ditanyakan kenapa seperti itu?".
Mendengar pertanyaan itu Polosin malah tertawa. Dia kemudian bilang, "Mereka [pihak luar] tahu apa, target saya bukan uji coba ini, nanti di SEA Games. Saya tidak cari menang. Saya tahu kalian capek tetapi saya ingin tahu satu saja, dalam keadaan kalian lelah bisa nggak kalian keluar dari tekanan. Ada tidak mental bertarung kalian". Begitu kata Polosin waktu itu.
Penjelasan dari Polosin itu akhirnya saya bisa terima. Meskipun kami baru saja kalah 0-3 dari Krama Yudha Tiga Berlian, klub yang saya perkuat dan mereka main dengan para pemain cadangan.
Kami akhirnya berangkat ke Filipina dengan membawa modal hasil uji coba yang jelek. Tetapi di sisi lain, saya merasa kondisi fisik memang mengalami peningkatan yang signifikan.
![]() |
Itu yang saya rasakan sendiri setelah bermain di turnamen sebenarnya. Saya tidak pernah merasa capek dan teman-teman selalu punya tenaga. Berkat latihan berat, fisik kami pun jadi.
Begitu main 2x45 menit selesai, saya tidak merasa capek. Kalau disuruh main lagi pasti bisa ha..ha..ha. Itu kelebihan Polosin.
Di fase grup kami tidak pernah kalah, bahkan gawang saya tidak kebobolan dalam waktu normal sampai juara. Kami menang lawan Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Di laga lawan Filipina saat kami kebobolan saya tidak dimainkan dan posisi kiper ditempati Erick Ibrahim.
Di babak semifinal kami bertemu dengan Singapura. Saya juga punya motivasi tersendiri karena akan beradu kemampuan dengan kiper mereka, David Lee.
Zaman itu siapa tidak kenal David Lee. Dia pernah main di NIAC Mitra dan untuk kawasan ASEAN, David Lee masuk kategori pemain top.
Saya berbicara dalam hati harus bisa mengambil kesempatan ini. Saya katakan: "Biar saya kecil, lawan orang Singapura besar, saya tidak kalah". Saya berupaya keras membesarkan hati.
Saat pemenang pertandingan harus ditentukan lewat adu penalti, saya rileks saja tidak ada beban. Pada akhirnya saya bisa menggagalkan dua penendang penalti mereka. Kami menang 4-2 dan Timnas Indonesia melangkah ke final.
Di final saat adu penalti lawan Thailand juga sama. Thailand dijagokan untuk juara karena kerja sama tim dan teknik mereka menang, tapi kami menang fisik. Ke manapun bola bergerak kami kejar dan skor 0-0 sampai habis perpanjangan waktu.
Begitu adu penalti saya tidak merasa terganggu ketika ada pemain kami yang gagal mengeksekusi tendangan dari titik 12 pas. Saya tidak memikirkan kegagalan teman-teman saya. Pikiran saya hanya Insya Allah saya dapat menolong mereka [yang gagal] dengan menggagalkan tendangan penalti lawan.
Saya masih ingat Sudirman jadi penendang keenam Timnas dan tendangannya masuk. Kemenangan di depan mata. Saya harus bisa menggagalkan tendangan penalti Thailand untuk memastikan kemenangan.
Saya berhasil menggagalkan penendang keenam mereka. Pada momen itu, saya masih merasa bermimpi. "Eh, ini benar enggak sih kami juara". Saya masih celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Dari kejauhan teman-teman berlari ke arah saya. Baru itu saya sadar kami sudah juara.
Setelah menang adu penalti saya dapat bendera Merah Putih dan berlari keliling sentel ban Stadion Rizal Memorial. Itu penonton melempari saya dengan kaleng minuman.
Saya dilempari kaleng minuman selama lari satu putaran lintasan atletik stadion. Saya bismillah saja, sudah juara ini mau kena lempar juga tidak apa-apa. Alhamdulillah cuma berseliweran saja kaleng minuman dan tidak ada yang kena ke saya ha..ha..ha..
Sebelum momen juara itu saya sempat was-was. Di semifinal dan final saya selalu harus ikut tes doping. Hasil tes doping itu kalau enggak salah dikirim ke Australia atau Jepang dan hasilnya keluar seminggu setelah pengambilan sampel.
Di media-media sana sudah ramai pemberitaan soal doping Timnas Indonesia. Saat kami juara itu, di koran-koran lokal soal isu doping ini ramai karena melihat pemain kita begitu lincah. Enggak ada capeknya.
Saya jujur sempat ketar-ketir meskipun tidak sekalipun pernah menggunakan doping. Saya berpikir kena enggak nih. 1, 2, 3 hari sampai akhirnya dua minggu kemudian tidak ada kabar lagi. Saya lantas berpikir berarti sudah aman gelar juara ini.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>