TESTIMONI

Emas Kejutan Supriati Sutono dan Sepatu yang Tertinggal

Supriati Sutono | CNN Indonesia
Rabu, 20 Jul 2022 19:11 WIB
Asian Games 1998 jadi salah satu momen penting dalam karier Supriati Sutono. Supriati meraih emas lari jarak jauh setelah tidak diunggulkan.
Supriati Sutono nyaris gagal berangkat ke Asian games 1998. (AFP/HOANG DINH NAM)
Jakarta, CNN Indonesia --

Saat berangkat ke Asian Games 1998 di Bangkok, Thailand, saya berstatus tidak diunggulkan. Jangankan tidak diunggulkan, wong tadinya juga saya hampir tidak diberangkatkan.

Alasannya satu, 'Untuk apa kita menghabiskan biaya untuk orang yang sekiranya tidak bisa menyumbangkan medali'.

Itu kan pikiran orang yang tidak tahu cabang olahraga terukur, tapi kalau orang yang tahu kita ini kan berkompetisi dengan waktu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau kaya cabang olahraga bela diri itu real, nyata, fakta. Yang meminta saya tidak berangkat ke Bangkok dari pihak KONI.

Kalau dari PB PASI kita berpikirnya soal waktu. Kalaupun tidak bisa menyumbangkan medali minimal kita memecahkan rekor nasional.

Akhirnya saya dibiayai oleh almarhum Pak Bob Hasan, dengan jalur PB, bukan dengan dana pemerintah. Besoknya harus bertanding, hari ini saya baru berangkat nih.

Kalau bicara soal target, kita ini tidak menargetkan apa-apa. Jangankan ingin medali perunggu, orang di sana saja saingan kita China, Jepang, Korea Selatan, mereka itu kan punya label juara dunia.

Jadi istilahnya saya bisa berangkat saja sudah bersyukur. Kalau nomor terukur itu memang jika tidak bisa mendapatkan medali ya minimal memecahkan rekor nasional.

Mungkin juga salah satu pertimbangan KONI saat itu agar saya, atlet-atlet lain yang tidak potensi medali, tidak berangkat karena di Indonesia sedang krisis moneter.

Indonesian Supriati Sutono (F) crosses the finish line to win the gold in the women's 5000m during the 22nd South-East Asian Games in Hanoi, 10 December 2003. Sutono won with a time of 16 minutes and 09.39 seconds.   AFP PHOTO/HOANG DINH NAM (Photo by HOANG DINH NAM / AFP)Supriati Sutono sempat pingsan usai lomba di Asian Games 1998. (AFP/HOANG DINH NAM)

PB PASI sendiri yang bilang saya harus berangkat. Setelah dinyatakan berangkat saya tidak ingin berpikir apa-apa lagi. Yang penting selama ini saya sudah berlatih dengan baik, sudah bekerja keras, ya tinggal bertanding saja.

Kalau zaman saya waktu itu kan atlet tidak banyak menuntut. Yang penting kita tunjukkan dengan prestasi terbaik. Dalam karier saya, soal berangkat atau tidak ke suatu kejuaraan itu nothing to lose.

Buat saya mau diberangkatkan syukur, tidak berangkat ya tidak apa-apa. Yang penting saya sudah latihan maksimal, begitu saja, sebagai atlet saya sudah persiapkan diri saya.

Perjuangan saya ke Asian Games itu benar-benar enggak mudah. Dari Jakarta saya transit di Singapura, dari Singapura ke Thailand.

Setelah saya sampai di Thailand, koper saya yang isinya pakaian, sepatu, dan lainnya ketinggalan di Singapura. Saya sempat kepikiran.

Pelatih minta saya buat santai, katanya mau dibelikan lagi di Thailand. "Sudah nanti saya belikan lagi baju baru, saya belikan sepatu yang mahal," katanya begitu. Tapi kan saya enggak bisa langsung pakai sepatu baru.

Saya bilang, pokoknya saya tetap mau sepatu saya yang di koper itu. Untungnya alhamdulillah sekitar jam 12 malam atau jam berapa, datang itu koper sampai di Thailand.

Besok sorenya langsung saya pakai untuk lari di nomor 10.000 meter. Jadi memang mendadak banget saya ikut Asian Games 1998 itu. Besok sore mau perlombaan, hari ini saya baru berangkat. Karena kan saya tidak berangkat bareng kontingen.

Banner live streaming MotoGP 2022

Itu saja saya finis nomor lima kalau enggak salah, pecahkan rekor nasional lagi [32 menit 52,45 detik], meskipun datang langsung lomba. Seharusnya walaupun kita tidak diperhitungkan minimal ada aklimatisasi di tempat yang baru sekitar tiga hari, istilahnya penyesuaian lah.

Tapi ini enggak, datang langsung lomba. Yang namanya orang sehabis perjalanan dengan pesawat kalau baru tiba kan anyang-anyangan [jet lag]. Apalagi ini kita harus lomba lari.

Hanya saja karena saya tidak memiliki beban di nomor 10.000 meter itu, saya menikmati saja perlombaan tersebut. Jadi saya merasa enak saja lari mengikuti lomba itu. Dengan yang di peringkat ketiga juga saya tidak ketinggalan jauh [Chiemi Takahashi, 32 menit 20,68 detik].

Dari lomba 10.000 meter itu empat hari berikutnya saya tampil di nomor 5.000 meter. Untuk waktu pemulihan, sekitar empat hari itu sih cukup.

Cuma saja cuaca saat perlombaan di 5.000 meter itu yang panasnya minta ampun, 38 derajat, beda banget dengan waktu 10.000 meter yang dingin dan angin kencang.

Waktu dalam lomba 5.000 meter Asian Games itu ada juga atlet China Wang Chunmei yang di Kejuaraan Asia 1998 di Jepang memecahkan rekor dunia.

Tapi ya jalannya Tuhan itu sangat indah sekali. Dalam lomba 5.000 meter itu Allah seperti memberikan jalan agar saya tidak diremehkan.

Ketika sekitar 300 meter jelang garis finis, yang pemegang rekor dunia itu enggak tahu kenapa terjatuh hingga terpental ke lintasan keenam.

Saya tidak tahu kejadian detailnya. Karena saat lari itu saya selalu tidak ingin ada di posisi paling depan. Kalau di posisi paling depan itu rasanya seperti dikejar-kejar, dan itu enggak enak. Saya lebih baik di posisi sedikit di belakang. Ketika orang lain naik saya naik juga, orang lain pelan saya juga pelan.

Setelah Wang Chunmei ke lintasan keenam itu, kami tersisa berempat di depan. Setelah 2.000 meter itu kami berempat kejar-kejaran: India, Jepang, China, Indonesia.

Kurang 150 meter mau finis kita masih berempat, tetapi masih di lintasan dalam. Lalu saya berpikir, kalau saya di lintasan dalam pasti tetap sempit-sempitan, akhirnya saya berpikir dan berhenti sejenak untuk ganti posisi di lintasan dua.

Lalu kurang dari 120 meter saya sudah di posisi ketiga. Pas saya lirik ke belakang, Wang Chunmei itu di belakang saya sekitar tiga sampai lima langkah. Tiga sampai lima langkah itu hitungannya jauh juga, sudah sisa-sisa perjuangan aja itu mah.

Saat di posisi tiga itu saya cuma bisa dengar teriakkan pelatih saya, "Supriiiiii...". Cuma teriakan pelatih saya yang saya dengar itu.

Makin semangat saya ketika itu. Kurang dari 80 meter, sudah makin dekat saya dengan yang nomor dua [Michiko Shimizu, Jepang]. Saya langsung lari kencang.

Saya cuma bisa berdoa, "Ya Tuhan kalau memang saya harus mati, saya rela untuk nusa dan bangsa". Jarak kurang dari 60 meter saya sudah di posisi kedua.

Saya tambah lagi kecepatan lari. Anehnya saat itu saya merasa tidak ada capek, enggak ada rasa apa-apa. Yang penting bagaimana caranya saya bisa mengejar yang nomor satu.

Banner Testimoni

Sekitar kurang 30 meter, nomor satu yang dari India [Sunita Ran] itu kaget. Saya kalau lari kan tidak bunyi [langkahnya]. Tiba-tiba nongol dari belakang.

Kurang dari 15 meter, lalu 10 meter itu masih habis-habisan. Berdoa lagi, "Ya Tuhan kalau saya harus mati, saya ikhlas. Jangan sampai saya kalah punggung". Istilahnya lebih baik saya hampir kalah daripada saya hampir menang.

Kalau kalah dengan selisih jarak 10 meter itu masih mending karena kita memang harus mengakui kekalahan. Tapi kalau kalah sekian second itu sakitnya minta ampun.

Lalu kurang dari tiga langkah itu masih sama, kurang dua langkah juga masih sama kecepatannya. Dalam hati, "Ini harus bagaimana lagi?". Akhirnya saya menjatuhkan badan saya sambil memajukan langkah. Itu hasilnya cuma beda 0,2 second saja.

Karena saking tipisnya perbedaan hasil itu, harus sampai satu jam untuk pengecekannya. Jadi juri itu mengulang lagi, mengulang lagi. Diputar-putar terus hasil lombanya.

Untungnya saya tidak bersaing dengan tuan rumah. Sebab kalau saya diadu dengan tuan rumah, sudah pasti tuan rumah yang akan diuntungkan. Tetapi karena diadunya dengan negara di luar Asia Tenggara, pasti tuan rumah dari Asia Tenggara bangga juga ada atlet mereka bisa juara Asia.

Tapi waktu itu saya langsung pingsan setelah finis, dibawa ke ruang perawatan. Banyak yang pingsan waktu habis lomba itu saking panasnya. Si pemegang rekor dunia saja pingsan, sampai harus pakai oksigen. Satu jam kemudian saya baru sadar.

Yang sedihnya lagi saya harus langsung pulang ke Indonesia setelah lomba itu. Jadi saya lomba jam 4 sore waktu Thailand, jam 5 itu saya sudah harus pulang. Tiket pulang itu sudah di tangan saya.

Ya Allah sedih banget. Waktu lomba itu juga tidak ada yang menonton. Cuma pelatih saya Coach Niki Pattiasina dan Mba Irawati Moerid. Saya tidak tahu kenapa tidak ada yang menonton, apa karena saya berangkat sendiri atau tidak.

Cuma waktu itu pada jam yang sama dengan lomba saya ada dari tinju juga sedang final tinju Bara Gomies, jadi semua pada nonton ke sana.

Indonesia itu di Asian Games 1998 kan ditargetkan meraih enam medali emas. Nah satu emas diharapkan dari Bara Gomies. Dari enam itu Indonesia baru dapat lima, yang keenamnya dari Bara Gomies. Nah maka dari itu semuanya lebih menonton ke sana.

Setelah satu jam saya diumumkan menang lomba, Mba Irawati Moerid langsung telepon almarhum Pak Wismoyo Arismunandar, Ketua KONI.

Beliau enggak percaya saya dapat emas, dikiranya bohong. "Ya Pak, kalau enggak percaya ke sini saja," kata Mba Irawati begitu.

Pak Wismoyo lalu datang ke lapangan, memberikan selamat kepada saya. Kata Pak Wismoyo: "Nanti kamu enggak usah pulang ya".

Akhirnya jadwal saya pulang dibatalkan. Saya juga diminta ikut penyambutan di Istana Negara bersama Pak Presiden BJ Habibie.

Baca kelanjutan berita ini pada halaman berikutnya>>>

Krisis Moneter dan Tangan Dingin Bob Hasan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER