Badminton adalah olahraga yang saya tekuni sejak kecil, sejak saya masih tiga tahun. Papa yang memperkenalkan saya. Beliau bukan atlet, tetapi memang suka olahraga badminton. Sebetulnya saya enggak suka, karena saya waktu kecil punya cita-cita jadi tentara.
Keinginan jadi tentara itu muncul karena ada sepupu Papa yang sering menginap di rumah. Ada yang KKO (marinir), ada yang Angkatan Udara. Kalau melihat keduanya, penampilannya gagah. Yang marinir baretnya merah, yang AU pakai kacamata rayband. Saya juga dipinjami pisau komando atau pistol yang sudah dikosongkan pelurunya untuk main-main.
Seiring berjalannya waktu saya terus didorong Papa main badminton, akhirnya ya saya terjun ke lapangan daripada dipukul hahaha. Zaman dulu mungkin pendidikan beda dengan sekarang, orang tua dulu otoriter dan diktator sehingga anak harus menurut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Papa itu selalu menceritakan sebuah kisah, yang saya enggak tahu ini benar atau fiksi. Beliau cerita soal sebuah keluarga miskin di Jerman yang memelihara sapi. Ketika si sapi melahirkan, anak keluarga miskin ini selalu disuruh menggendong anak sapi, sampai anak sapi itu besar. Karena terlatih mengangkat sapi dari kecil hingga besar, anak itu kemudian jadi juara angkat besi.
Jadi intinya menurut saya adalah, papa mengisahkan hal itu agar saya bekerja keras, siap capek, dan berlatih tekun.
Tapi kebenaran cerita itu masih misterius, sampai saya pernah nanya ke teman dari cabang olahraga angkat besi mengenai kisah juara angkat besi yang lahir gara-gara terbiasa menggendong sapi. Katanya ada, tapi entahlah di Jerman bagian mana hahaha.
Pertama kali ikut kejuaraan badminton, kalau enggak salah tahun 1968 ketika saya masih usia delapan. Ketika itu masih di kejuaraan cabang Jakarta, sebelum menembus level Kotamadya.
Semasa usia sekolah saya terus berlatih badminton di bawah bimbingan orang tua. Bahkan saya sering bolos sekolah. Dulu Papa itu mengizinkan saya bolos sekolah, tetapi kalau bolos latihan itu bisa dihukum. Jadi saya harus pintar bagi waktu karena menurut saya pendidikan juga penting.
Mungkin atlet lain ada yang bosan atau jenuh berlatih, kalau saya dari masa sekolah itu tidak merasakan hal demikian karena Papa. Mengingat beliau lulusan STM, maka ada saja alat-alat latihan yang dibuat sendiri. Saya bukan bosan, tapi lebih ke takut, hahaha.
Klub pertama saya itu PB Anggara yang berlokasi di kompleks Departemen Keuangan di dekat daerah Gedung Bidakara, Jakarta Selatan. Saya tidak lama di situ dan kemudian bergabung ke PB Garuda Jaya. Itu punya pak Rio Tambunan yang juga pemilik sasana tinju Garuda Jaya yang dihuni petinju legendaris Indonesia, Ellyas Pical. Dari Garuda Jaya saya kemudian ke PB Tangkas.
Selain itu pada tahun 1977 ketika saya kelas 2 SMA, ada penerimaan siswa di Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) Ragunan yang waktu itu baru buka dan mulai menerima murid-murid baru.
Waktu itu bilang ke Papa mau ikut tes tetapi harus turun ke kelas 1 SMA. Papa mendukung dan kembali mengingatkan saya soal motivasi juara angkat besi yang rutin angkat sapi, hahaha.
Saya diterima menjadi angkatan pertama SKO Ragunan. Bersama saya waktu itu ada almarhum Lukman Niode (renang), Glenn Clifton (menembak), serta atlet-atlet angkat besi dan atletik. Keinginan masuk SKO Ragunan tidak lepas dari cita-cita menjadi atlet.
![]() |
Saat saya usia remaja itu badminton Indonesia sedang berjaya dengan nama-nama Rudy Hartono, Liem Swie King dan Christian Hadinata. Selain itu saya ingin merasakan kebanggaan mengenakan kostum nasional berwarna merah putih.
Latihan keras sejak kecil yang saya lakukan sebenarnya adalah upaya untuk menutupi kekurangan di masalah postur. Untuk ukuran badminton, saya yang bertinggi 167 sentimeter bisa dibilang pendek. Selain itu saya juga tidak punya pukulan mematikan seperti misalnya ada 'King Smash' punya koh Swie King atau 'Smes 100 Watt' ala Haryanto Arbi.
Lantaran itu Papa menekankan saya harus lincah, lentur, ulet dan gigih mengejar kok ke manapun berada. Menurut beliau, kalau kita capek, musuh juga harus capek. Nah dari situ muncul julukan 'Bola Karet' dari teman-teman wartawan, karena ke mana saja bola saya kejar.
Latihan ajaran Papa yang menuntut saya kerja keras memang berbanding lurus dengan apa yang saya temui di pelatnas. Zaman saya masih main, pelatnas itu porsi latihannya lebih banyak ke fisik di bawah arahan almarhum Tahir Djide. Ada latihan teknik bersama Oom Tan Joe Hok, tetapi sedikit. Oleh karena itu saya sudah terbiasa dengan tempaan fisik. Saya bahkan bersyukur sudah terbiasa dengan lari bolak-balik Pasar Minggu-Tugu Pancoran karena di pelatnas diharuskan lari 20 kilometer.
Selepas kehidupan pelatnas saya masih berkegiatan di lingkup badminton, tetapi memang bukan sebagai pelatih. Saya kemudian berada di balik layar tim PB Tangkas, dan kemudian bergabung ke PB Djarum. Saya juga sempat ada di kepengurusan PBSI.
Lantaran pengalaman menjadi atlet dan turut dilibatkan dalam PBSI, saya pun punya kedekatan dengan atlet. Sehingga saya suka kasih semangat lewat WhatsApp kalau mereka lagi bertanding, seperti misalnya saya kemarin kirim pesan ke Anthony Sinisuka Ginting ketika dia berhasil meraih gelar di Singapore Open yang membuatnya pecah telur setelah sekian lama gagal jadi juara.
Saya melakukan itu lantaran inspirasi dari koh Chris yang menyebut soal kebersamaan di tim. Selain itu saya ingin menyemangati mereka yang sedang berjuang, karena ketika kita lagi lemah kadang butuh dukungan orang.
Soal pesan dari koh Chris memang selalu saya ingat. Beliau orang yang bisa dibilang punya pengaruh kuat dalam karier dan kehidupan saya. Saya dekat dengan koh Chris sejak pertama masuk pelatnas sampai hari ini.
Kemudian ada almarhum Ridwan Soemarjo yang menempa saya saat di SKO Ragunan dan almarhum Tahir Djide yang punya andil menempa saya saat berada di pelatnas.
Selain itu ada pula om Joe Hok yang sudah saya kenal sejak kecil dan beliau juga mengajari disiplin serta tanggung jawab. Selanjutnya yang terakhir siapa lagi kalau bukan Papa. Jelas beliau memberikan inspirasi dan pengenalan serta pendidikan badminton kepada saya.
Badminton memiliki arti besar dalam hidup saya. Tanpa badminton saya mungkin tidak akan diminta mengisi rubrik Testimoni CNNIndonesia.com hahaha. Ya badminton mengajarkan agar kita berusaha mengeluarkan yang terbaik dari diri kita. Kalau bisa berikan yang terbaik, saya yakin pasti ada sesuatu yang bisa kita dapatkan.
Sekarang saya sebagai penonton melihat persaingan begitu ketat. Sudah lebih banyak negara yang maju badmintonnya, sehingga kita harus lebih siap dan ekstra. Untuk pemain Indonesia, teknik tidak kurang.
Di sisi lain ada yang masih harus dibenahi agar bisa menjadi lebih baik seperti fighting spirit, motivasi, disiplin, dan tanggung jawab. Empat masalah itu saya lihat sepertinya juga cerminan dari apa yang ada di masyarakat kita sehari-hari.
Saat ini saya masih berkecimpung di balik layar badminton Indonesia, tetapi keempat putra saya tidak ada yang saya ajarkan jadi atlet. Papa saya pernah marah gara-gara cucunya enggak bisa dilatih sama beliau. Menurut saya sudahlah, jadi atlet tidak gampang.
Tetapi ada satu anak saya [Raventus Pongoh] yang menjadi wasit badminton. Pada awalnya dia guru bahasa Inggris dan Mandarin, kebetulan kerja di Djarum bersama pak Yoppy Rosimin [Ketua PB Djarum]. Dari situ enggak tahu bagaimana kok bisa jadi wasit dan sekarang jadi passion-nya dia.
Menurut saya apapun profesinya, saya tetap bangga anak-anak saya bisa membawa nama dan bendera Indonesia. Saya bangga jadi orang Indonesia dan saya bangga jadi manusia Indonesia.