TESTIMONI

Lius Pongoh, Bola Karet yang Lahir dari Cerita Gendong Sapi

Lius Pongoh | CNN Indonesia
Rabu, 17 Agu 2022 19:08 WIB
Lius Pongoh pernah menjadi bagian dari sukses Indonesia di arena badminton dunia. Ari Saputra/ Detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badminton adalah olahraga yang membesarkan nama saya, hingga saya mendapat julukan Lius Pongoh si 'Bola Karet' lantaran gaya main saya yang disebut orang-orang lompat sini dan lompat sana.

Indonesia dan badminton adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan, begitu lengket. Prestasi atlet-atlet bulutangkis kerap mengharumkan nama Indonesia. Puji Tuhan saya pernah mendapat kesempatan ikut membentangkan bendera Merah Putih di pentas dunia.

Piala Thomas adalah lambang supremasi tertinggi dalam kejuaraan beregu putra. Indonesia adalah rajanya. Hingga sekarang, Indonesia sudah memiliki 14 gelar. Terbanyak di antara negara-negara lain. Saya turut menyumbang satu poin pada Piala Thomas ketika masih berstatus anak bawang.

Jujur saja Piala Thomas 1979 selalu membekas di memori saya setiap berbicara karier di lapangan badminton. Ketika itu saya masih anak baru di Pelatnas. Masih ada nama-nama besar seperti Liem Swie King, Rudy Hartono, Iie Sumirat dan Christian Hadinata ketika saya masuk pelatnas.

Saya tidak menyangka bisa masuk tim Piala Thomas, waktu itu hanya senang yang saya rasakan bisa dapat kesempatan. Saya bersyukur bisa masuk tim dan turut membantu Indonesia menjadi juara.

Zaman itu Piala Thomas berbeda dengan sekarang. Kalau sekarang semua negara, termasuk juara bertahan, harus mengikuti pertandingan dari babak grup. Sementara zaman saya bermain dulu, Indonesia yang menjadi juara bertahan hanya bermain dua kali yakni di babak semifinal dan final. Format zaman dahulu juga berbeda, kalau dulu memainkan sembilan partai sekarang hanya lima.

Rudy Hartono masih bermain kala Lius Pongoh masuk pelatnas tim badminton Indonesia pada 1979. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.

Kepercayaan tim menempatkan saya tampil dua kali di laga semifinal melawan Jepang tidak saya sia-siakan. Saya main di partai kedua dan ketujuh. Melawan Masao Tsuchida saya menang 15-5 dan 18-13. Selanjutnya saya mengalahkan Kinji Zeniya 11-15, 15-7, dan 15-4.

Sumbangan poin dari saya turut membawa Indonesia menang 9-0 atas Jepang dan berhak melangkah ke final. Saya tidak main di final melawan Denmark, karena posisi saya digantikan Iie Sumirat.

Masuk tim Indonesia bersama para senior yang namanya sudah terkenal dan kemudian jadi juara, itu luar biasa rasanya. Sayang saya tidak menyimpan baju atau memorabilia lain dari laga debut saya di tim Indonesia untuk Piala Thomas.

Satu hal lagi yang begitu spesial di karier saya adalah keberhasilan menjadi juara Indonesia Open 1984. Itu benar-benar perjuangan di dalam dan luar lapangan karena Mama saya waktu itu terkena kanker pankreas, beliau dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Setiap habis bertanding di Indonesia Open saya ke RSCM menengok Mama sampai malam, biasanya ditemani Richard Mainaky dan Abidin yang merupakan kawan lama saya. Bahkan kita bertiga sampai-sampai lompat tembok rumah sakit kalau pintunya sudah dikunci. Pada waktu itu bisa dibilang enggak mikir soal main di Indonesia Open, tapi lebih fokus ke Mama.

Saya waktu itu punya peluang ketemu Misbun Sidek asal Malaysia. Kalau ketemu dia waktu itu, jujur saya bisa kalah. Tetapi Misbun dikalahkan Richard, sehingga saya malah bertemu Richard. Saya waktu itu kemudian bisa mengalahkan Richard yang kebetulan dilatih Papa saya. Jadi saya menduga Richard mengalah karena kasihan sama saya.

"Chard, kamu sengaja kali ya ngalah ke saya?" saya bilang begitu waktu itu, hahaha.

Selain itu pada babak perempat final saya bertemu koh Swie King. Gim pertama saya menang 18-15, gim kedua saya kalah 5-15, nah di gim ketiga saya ketinggalan 1-14. Dari skor tersebut saya bisa bangkit dan menang 15-14.

Menurut saya itu karena kemurahan Tuhan, mungkin juga doa dari orang tua. Menjelang pertandingan semifinal saya kembali ke rumah sakit dan dapat wejangan dari Mama.

"Nyong [panggilan saya waktu kecil] besok ngana mau dapat batu, tapi ngambilnya susah," begitu kata Mama yang bikin saya bingung.

Setelah Mama meninggal, beberapa hari setelah saya juara Indonesia Open 1984, baru saya menyadari batu yang dimaksud itu adalah gelar juara yang diraih dengan susah payah. Begitu kira-kira analoginya.

Ajang lain yang juga cukup bergengsi adalah Kejuaraan Dunia 1980. Di situ Indonesia benar-benar menguasai sektor tunggal putra. Empat wakil Indonesia tembus semifinal. Saya, Liem Swie King, Hadiyanto, dan Rudy Hartono. Saya kalah dari koh Swie King. Rudy Hartono mengalahkan Hadiyanto. Akhirnya koh Rudy yang juara, saya dapat perunggu bersama Hadiyanto.

Ketika melawan koh Swie King yang lebih senior di semifinal ada rasa-rasa jiper, tapi tetap berusaha yang terbaik. Yang penting fight. Kalau memang saya kalah itu saya terima sebagai pelajaran bahwa harus kerja keras lagi agar bisa menyamai prestasi andalan Indonesia yang terdahulu. Apalagi terbiasa ketemu di pelatnas, jadi enggak terlalu kaget walaupun waktu itu kelasnya masih beda.

Saya adalah generasi di mana badminton Indonesia belum punya markas di Cipayung seperti sekarang. Saat saya masih berkarier, tim badminton Indonesia menjalani pemusatan latihan di Senayan bersama atlet-atlet dari cabang olahraga lain ada atletik, tenis, tinju, dan lainnya. Dulu asrama badminton ada di jalan Manila, sekarang sudah jadi Hotel Fairmont, dan latihannya di Hall C seberang TVRI.

Saya bisa masuk pelatnas tahun 1979 awal berbekal prestasi saya di berbagai kejuaraan-kejuaraan junior yang menjadi ajang seleksi. Setelah masuk pelatnas ada lagi seleksi untuk mengikuti kejuaraan-kejuaraan di luar negeri. Waktu itu turnamen tidak sebanyak sekarang dan penghuni pelatnas banyak yang jago-jago.

Ada pemain-pemain yang bebas seleksi dan otomatis berangkat, biasanya 'pentolan-pentolan' macam Iie Sumirat, koh Swie King dan koh Rudy (Hartono). Tetapi generasi di bawahnya seperti saya, Hastomo (Arbi), Hadianto, dan Danny Sartika ikut seleksi dulu.

Seleksinya seperti turnamen format round robin, kita semua diadu dan nanti yang paling jarang kalah mengisi kuota yang tersedia selain yang dihuni para senior tadi.

Ibarat prajurit yang harus siap tanding di mana saja, saya pun menerima instruksi bermain di sektor ganda, baik ganda putra maupun campuran. Disuruh main sama pelatih, saya main saja. Kebetulan juga saya fisiknya lumayan jadi disuruh main tunggal oke, main ganda ayo. Waktu itu hasilnya tidak mengecewakan saya bisa juara bersama koh Chris (Hadinata) di ganda putra, terus bisa menang juga sama Maria Fransisca di ganda campuran.

Keluar-masuk pelatnas pernah saya rasakan. Pada 1982-1984 saya memutuskan hengkang karena cedera, pinggang saya sakit waktu itu. Kalau sedang kambuh, sakitnya bukan main. Saya tidak bisa bergerak sama sekali.

Untuk observasi pemulihan saya dibawa ke Jerman. Diagnosis dokter menyebut ada bagian pinggang yang rusak, sehingga diberi pilihan menggantinya dengan besi atau plastik. Tapi saya memilih untuk tidak mengganti karena konsekuensinya gerakan saya tidak bisa lentur. Selain itu dokter juga mengatakan kepada saya jika tidak ada potensi lumpuh seandainya tidak dilakukan pergantian di pinggang saya.

Saya kembali merintis karier di luar pelatnas yang berarti harus memulai dari bawah, seperti yang saya lakukan pada tahun 1970-an dengan ikut kejuaraan-kejuaraan lokal dari level cabang daerah sampai level nasional hingga akhirnya masuk lagi ke pelatnas pada 1984.

Cedera pula yang membuat saya harus menyudahi karier di pelatnas. Ada cedera pinggang dan cedera lutut. Pada 1989 saya masih latihan, tetapi disarankan keluar pelatnas oleh Papa karena beliau anggap percuma hanya latihan kalau hasilnya tidak juara dan sekadar semifinal atau delapan besar.

"Buat apa di pelatnas kalau cuma semifinal atau delapan besar, mending kamu keluar. Orang lain kan banyak yang mau masuk situ," begitu kata Papa yang membuat saya memutuskan mundur dari pelatnas pada 1989.

Soal cedera yang saya alami ini harus jadi perhatian bagi para atlet, bahwasanya latihan itu tidak hanya butuh semangat tetapi juga harus smart. Cedera yang saya alami merupakan akibat dari latihan yang begitu keras tanpa memperhatikan efeknya.

Saya bahkan sempat mencampur aduk latihan badminton dengan latihan bela diri ala Bruce Lee dan Chen Lung karena saya suka sekali dengan mereka. Saya pun meniru latihan-latihan mereka seperti yang ada di televisi karena terlihat keren, badannya six pack, pinggangnya kuat, sit up di atas pohon.

Padahal latihan itu enggak ada urusannya sama badminton. Waktu masuk pelatnas juga demikian, ketika koh Swie King latihan sit up pakai besi saya ikut-ikutan.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Cerita Misterius Gendong Sapi dari Jerman


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :