Presiden Madura United Achsanul Qosasi melontarkan pendapatnya menyikapi tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10), mulai dari hentikan kompetisi, pengurus PSSI sebaiknya mundur, hingga ajakan untuk tidak menyalahkan Malang.
Achsanul Qosasi mengungkapkan sikapnya dalam sebuah utas di akun Twitter pribadinya @AchsanulQosasi pada Minggu (2/10).
Achsanul membuka utas tersebut dengan menyebut kemungkinan ada yang tidak setuju dengannya, tapi dia menegaskan bahwa ini adalah sikapnya sebagai Presiden Klub Madura United FC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin ada yang tak sependapat dengan saya, tapi inilah sikap saya sebagai Club Madura Utd FC atas Tragedy di Kanjuruhan," ujar Achsanul Qosasi.
Sikap pertama yang dinyatakan Achsanul Qosasi adalah untuk menghentikan kompetisi Liga 1 hingga ada pernyataan resmi dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
"Hentikan Kompetisi, sampai ada statement resmi FIFA," kata Achsanul Qosasi.
Kedua, Achsanul meminta PSSI untuk bertanggung jawab dalam tragedi ini, serta meminta semua pengurusnya untuk mundur.
"PSSI wajib bertanggung jawab, dan semua pengurusnya harus Mundur. Sebagai respek terhadap korban dan keluarganya," kata Achsanul.
Ketiga, Achsanul juga meminta PSSI untuk tidak membuat tim apa pun untuk menangani tragedi ini, melainkan cukup serahkan pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) atau Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) selaku organ pemerintah.
"Tak perlu PSSI membuat Tim ini-itu. Serahkan saja kepada Kemenpora/KONI selaku organ Pemerintah," kata Achsanul.
"Libatkan penegak hukum dan FIFA untuk membuat Investigasi atau langkah yang diperlukan," ujar Achsanul menambahkan.
Keempat, Achsanul juga meminta untuk tidak melokalisasi kesalahan di Malang. Menurutnya, seluruh kejadian ini berada di bawah federasi nasional.
"Jangan melokalisir kesalahan di Malang. Bahwa yang salah seolah yang ngurus pertandingan di Malang," ujar Achsanul.
"Ini Keputusan Federasi Nasional, dibawah kendali Federasi (PSSI), tragedi Dunia Sepakbola," pungkasnya.
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai pertandingan Arema melawan Persebaya menyebabkan 125 orang tewas.
Pertandingan yang hanya ditonton pendukung Arema mulai ricuh usai pertandingan berakhir dan dinyatakan kalah dengan skor 2-3.
Korban berjatuhan usai kericuhan pecah dan penonton berdesakan untuk berupaya keluar dari stadion yang dipenuhi gas air mata dari kepolisian.
Tragedi di Kanjuruhan ini menorehkan noda hitam bagi dunia olahraga Tanah Air. Tragedi ini sekaligus mencatatkan Indonesia di peringkat ketiga dalam sejarah kelam sepak bola dunia setelah tragedi Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964 dengan korban 328 orang.