Jakarta, CNN Indonesia --
Medali emas Asian Games 1986 saat saya berpasangan dengan Yayuk Basuki tentu saja jadi salah satu capaian yang paling berkesan selain emas Asian Games 1990.
Karena waktu di Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan, kami ini tenis ganda putri jadi satu-satunya penyumbang medali emas.
Bulutangkis yang lebih diharapkan menyumbang emas gagal, karena mereka dicurangi. Kami juga di tenis sempat dicurangi tuan rumah. Setiap kali melawan tuan rumah ada saja kejadian dicurangi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain menjadi satu-satunya emas untuk kontingen Indonesia, di Asian Games 1986 itu saya baru setahun dipasangkan dengan Yayuk.
Awal mula kami berpasangan itu pada 1985 pada SEA Games di Bangkok. Ibu Mien (Gondowidjojo) yang memilih memasangkan saya dengan Yayuk pada 1985.
Pertama saya dengan Utami (Sri Utaminingsih), Yayuk sama Lukky (Tedjamukti). Lalu pada 1985 itu kami baru dicoba dipasangkan. Karena Yayuk junior dengan Lukky, sedangkan saya dengan Utami sudah senior. Bedanya saja tujuh tahun.
SEA Games 1985 di Bangkok itu kami di nomor ganda putri juga ditargetkan dapat emas. Tapi saya dan Yayuk gagal dapat emas.
SEA Games 1985 itu sangat disayangkan, jadi penyesalan bagi saya. Dalam persiapan, kita sudah tur mengikuti turnamen di beberapa negara, ke Eropa, ke Jepang.
Untuk chemistry dobel sudah mantap, sistemnya sudah ketemu. Kami sudah ditarget dan saat itu Indonesia juga sudah rajanya di Asia Tenggara kok bisa kalah. Untungnya kita masih dapat emas di nomor beregu putra putri, ganda campuran, ganda putra dapat, single putra-putri juga dapat.
Saat itu kami memang over confidence. Terlalu percaya diri. Belakangan saya menyadari kalau jalan suatu event yang melibatkan tim kayak buat negara begitu memang ada saja sesuatu, yang tiba-tiba juara, yang tiba-tiba gagal.
 Suzanna Anggarkusuma menyesal gagal juara di SEA Games 1985. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Tapi pada akhirnya kegagalan di SEA Games 1985 saat kami ditargetkan dapat emas, justru bisa berhasil di Asian Games 1986 di Seoul. Padahal ketika itu kami tidak ditargetkan meraih medali emas.
Setelah itu Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan, kami dapat emas. Enggak nyangka juga bisa dapat emas.
Main itu juga enggak ada beban, karena memang kita ini pasangan baru. Buat saya memang itu Asian Games kedua. Penampilan pertama saya di Asian Games di New Delhi, India, 1982. Kami juga ganda putri Indonesia belum terkenal.
Tetapi tidak tahu juga. Bisa juara dan meraih medali emas Asian Games 1986 itu suatu keajaiban. Satu-satunya medali emas kontingen Indonesia di Asian Games 1986.
Sudah begitu waktu di semifinal lawan Jepang. Jepang itu pemainnya juga sudah profesional semua, sudah ada (Naoko) Kijimuta. Indonesia bertemu Jepang di babak semifinal ganda putri.
Tapi ya ganda putri kami bertemu tuan rumah di final. Kalau saya terus terang sebenarnya saya bermain tanpa beban.
Kita main dengan kemampuan terbaik, semuanya kita maksimalkan. Enggak ada kepikiran kita pasti dapat emas. Pokoknya dari pertama main terus saja berjuang.
Tekanan dari suporter tuan rumah, enggak perlu ditanya lagi. Tapi sebagai pemain di dalam lapangan tidak terasa apa-apa, cuma berjuang saja demi Merah Putih.
Waktu itu kita juga belum kepikiran ada bonus. Bonus juga tidak pernah dibilangin. Pokoknya kita cuma main untuk Indonesia.
Kalau Asian Games 1990 memang sudah ditarget harus emas. Ada targetnya, itu lebih tegang. Kita hampir kalah sama Jepang, Kijimuta-Miyagi.
Kita menghadapi 13 match point. Jadi set pertama kita kalah, set kedua ketinggalan 1-5. Setiap game itu 0-40, 15-40, 0-40, 15-40, 30-40. Begitu terus sampai akhirnya kita bisa menang set kedua dan akhirnya menang set ketiga.
Itu di luar nalar, tidak akan bisa. Tapi ada saja jalannya.
Saya masih ingat satu match point Nana atau Kijimuta pokoknya dia serobot, saya berdiri di ad court, saya kembalikan bolanya balik dan poin. Itu poin yang saya ingat, tapi tidak tahu match point ke berapa.
Setelah itu masih ada lagi poin-poin berikutnya, termasuk dari Yayuk juga. Kita masih bisa menang. Entah bagaimana caranya kita juga enggak tahu. Entah ada setan lewat atau gimana.
Setelah itu rasanya benar-benar sulit dikatakan. Bukannya senang bagaimana, lemas banget.
Dua emas di Asian Games itu memiliki kesan masing-masing. Waktu di 1986 itu kan kita emas satu-satunya, jadi kesannya berbeda.
Tapi kan kita dapat emas, wah dapat emas, tapi bukan target. Nah yang 1990 ini kan ditargetkan. Sudah ditargetkan, lalu di semifinal melawan Jepang. Kalau di final tidak apa-apa melawan Jepang.
Baca kelanjutan cerita ini di halaman berikutnya>>>
Ada satu momen ketika saya dibilang sebagai pelopor petenis profesional wanita Indonesia. Pada sekitar 1984 saya pertama kali mengikuti bermain di level profesional.
Itu waktu zamannya ITF satelit, yang total hadiah uangnya USD5 ribu (Rp75,6 juta). Tapi saya gak berhasil waktu itu.
Jadi awalnya ketika itu saya mestinya ke Amerika Serikat, latihan dan main turnamen. Tapi saya bilang ke Pelti, saya enggak mau latihan di Amerika, saya mau coba tur di Eropa saja.
Saya minta visa, kebetulan dapat. Dari uang yang harusnya buat ke Amerika itu saya pakai untuk ikut turnamen pro di Italia.
Di Amerika itu program Pelti, cuma ya hanya latihan-latihan gitu saja. Mulanya saya dapat informasi dari teman saya yang di Belanda 'Kenapa kamu gak coba main saja pertandingan profesional daripada latihan-latihan'.
Pelti itu setiap latihan ke luar sering ke Amerika. Pernah kami dimasukkan ke turnamen yang besar gitu di Amerika, tapi benar-benar cuma bengong saja, gak ngerti apa-apa.
Waktu di Italia itu saya sendiri, dengan dana dari Pelti. Waktu itu bujet latihan sekitar US$500 sebulan, saya masih ingat dapat bujet US$1.500 buat tiga bulan.
Saya ke Italia itu cuma kepingin coba saja. Kan waktu itu kita enggak ngerti, seperti apa sih turnamen profesional itu.
Ya saya coba saja, oo begini ya rupanya, kalau mau jadi pemain profesional harus begini. Ini jalannya. Ya sudah kita terusin.
Saya merasakan enggak bisa sistem yang cuma latihan. Dahulu kita kan cuma memikirkan event seperti Fed Cup, Asian Games, SEA Games, itu doang yang ada di kepala. Pokoknya buat Indonesia, ada juga PON.
 Foto: CNN Indonesia/Surya Sumirat Suzanna Anggarkusuma menolak pindah ke Amerika Serikat dan melanjutkan karier di tenis. |
Lama-lama berpikir kalau mau cari uang kita mesti berkembang. Memang mesti lebih banyak bermain di turnamen berhadiah. Waktu pertama atau kedua kali ketemu Arantxa Sanchez juga ya di turnamen kaya begitu.
Di pelatnas dapat uang saku. Kalau gak dapat dari turnamen gak dapat apa-apa. Pemasukan lain dapat dari bank, kita kan juga sebagai pegawai. Tapi kan cuma begitu-gitu saja pemasukannya.
Dengan bermain di turnamen profesional itu akhirnya kita bisa mengatur uang juga. Kita hitung juara dapat segini, pengeluaran segini, ya sudah berani jalan.
Kita pernah ikut turnamen ITF di Filipina, tanpa bujet. Tapi kita tahu pengeluaran kita segini, berarti kita harus juara buat balikin modal tiket sama hotel.
Akhirnya setelah itu saya, termasuk almarhumah Tante Mien selalu bawa teman-teman buat tur ke Eropa ikut turnamen pro. Kita main ke Italia ke Jepang, teruslah ke Australia kita coba.
Menolak Pindah ke Amerika
Saya tidak pernah menyesali jalan yang saya pilih sebagai atlet tenis. Saya hobi main tenis. Dan mungkin kita terbiasa untuk bawa nama Indonesia. Jadi kalau dapat mengharumkan nama Indonesia suatu kebanggaan yang gak bisa dibeli.
Terkadang kita bisa punya uang banyak, tapi kalau enggak ada prestasi yang bagus, enggak nikmat. Jadi ya kalau saya bilang, saya selalu merasa senang menjalani kehidupan di tenis.
Dan saya bilang tenis itu bikin kita sebagai manusia lebih kuat untuk hidup, dan saya tidak menyesal saya tidak sekolah tinggi.
Kalau orang kan ada saja yang menyesal, 'Kenapa saya enggak sekolah tinggi saja dulu, kenapa saya main tenis'. Tapi saya tidak menyesali itu.
Saya bilang karir tenis saya sudah membawa saya ke jenjang yang seperti ini. Sebagai manusia memang tidak akan pernah cukup, tapi kita mensyukuri apa yang kita lewati selama ini
Dan pelajarannya yang kita dapat selama pandemi dua tahun ini. Karena tenis, kita masih bisa bagus hidupnya.
Saya sebenarnya sudah mau pindah ke Amerika tahun 1979, sebelum masuk pelatnas. Saya masuk pelatnas tahun 1979 setelah juara Thamrin Cup, dari Belitung saya dibawa ke Jakarta berkat sponsor dari PT Timah, karena ayah saya kerja di sana.
Waktu itu kan sudah mau selesai SMA, dan saya juga belum jadi pemain tenis. Kalah dengan senior, belum masuk tim utama juga. Sudahlah mau pindah saja. Saya sudah dapat green card, sudah bisa pindah.
Tapi Papi saya yang enggak mau. Saat itu pun sedang persiapan general check up, periksa dengan dokter untuk pindah ke sana.
Karena yang di Amerika itu dari saudara Mami. Akhirnya kata Papi kakak saya yang duluan ke Amerika dengan mami.
Akhirnya saya dan Papi tetap di Indonesia. Saya melanjutkan karier di tenis. Karena ketika saya memilih tenis waktu kecil Papi saya senang betul.
Mami saya main tenis, sekadar main saja, kalau Papi enggak. Tapi begitu saya mau main tenis, Mami biasa saja, papi yang senang.
Sampai akhirnya saya memenangkan kejuaraan lokal, masuk pelatnas. Menang beragam medali di SEA Games, Asian Games, turnamen pro. Saya juga ikut Olimpiade 1992 di Barcelona. Tenis ini olahraga dan hidup saya.
[Gambas:Video CNN]