Jakarta, CNN Indonesia --
Saya meraih sukses di futsal setelah 'pindah lapangan' dari sepak bola. Menurut saya ini adalah berkah, karena saya menuruti kata orang tua.
Anak-anak sekarang mungkin banyak yang tahu kalau Vennard Hutabarat itu pemain futsal. Dari situ baru mereka tahu, mereka lihat di media sosial, kalau saya dulu pemain sepak bola.
Jujur saya semula enggak tahu apa yang akan terjadi setelah pindah dari sepak bola ke futsal. Nyatanya bisa dibilang saya sukses di futsal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya enggak punya bayangan, seandainya saya terus jadi pemain sepak bola, apakah saya bisa sukses? Yang jelas saya bersyukur atas prestasi saya di futsal.
Membuat Indonesia Raya berkumandang dan merah putih berkibar adalah sebuah impian yang bisa saya raih pada ajang Piala AFF Futsal 2010.
Hingga kini prestasi itu belum bisa terulang. Indonesia belum pernah juara lagi. Sementara di kategori sepak bola, Indonesia belum pernah sekalipun juara AFF.
Mengomentari keberhasilan menjadi juara AFF 2010 itu ada saja orang yang nyinyir dan bilang: "Itu kan karena Thailand enggak ada."
Betul Thailand tidak ada, itu fakta. Saya lupa mereka saat itu absen karena alasan mementingkan tampil di turnamen lain atau lantaran ada perpecahan di organisasi mereka.
Tetapi di sisi lain masih ada Vietnam dan Malaysia. Dua negara itu juga memiliki kualitas yang baik. Terlebih mereka punya pelatih asing waktu itu. Jadi bukan berarti tanpa Thailand, trofi datang sendiri ke Timnas Indonesia.
[Gambas:Instagram]
Keberhasilan juara di Vietnam pada 2010 itu sekaligus menghapus kejadian buruk lima tahun sebelumnya yang membuat karier saya di timnas futsal enggak smooth.
Dari awal Indonesia punya timnas futsal pada 2002, saya sudah ada di sana. Setelah tiga tahun jadi 'langganan' timnas futsal, saya kemudian tak lagi dipilih. Entah permasalahan prinsip atau apa dengan pelatih waktu itu, coach Justinus Lakshana.
Semua bermula pada sebuah pertandingan. Mungkin waktu itu saya dianggap 'ngelawan'. Saya ceritakan saja di sini ya, sekaligus sebagai klarifikasi biar semua orang tahu kenapa kondisi itu terjadi.
Pada waktu itu di sebuah pertandingan Piala Asia 2005, melawan Vietnam kalau enggak salah. Saat itu saya sedang main dan posisinya tim Indonesia sedang diserang.
Waktu itu saya disuruh keluar untuk diganti, tetapi saya enggak langsung keluar karena merasa bertanggung jawab, karena ingin mengamankan gawang dulu. Begitu bola out saya baru keluar. Saya pun dimarahi.
Saya yang waktu itu juga kecewa dengan diri sendiri lantas mengambil air mineral dalam kemasan dan membantingnya ke lantai. Mungkin ada percikan air yang kena ke beliau.
Setelah itu saya tidak pernah dipanggil ke timnas lagi sampai kemudian ada perubahan manajemen futsal, termasuk pergantian pelatih.
Saya baru masuk ke timnas pada 2010. Sebelum masuk ke timnas lagi untuk tampil di Piala AFF 2010, pemanggilan saya pun juga dihiasi bumbu-bumbu pertanyaan mengenai kelayakan saya main di timnas karena saat itu sudah 36 tahun.
Saat tampil di ajang internasional apa pun saya akan memberikan yang terbaik dan berusaha maksimal. Selain bisa menghasilkan gelar Piala AFF 2010, dari permainan optimal itu saya bisa masuk jajaran 200 pemain futsal terbaik dunia.
Wartawan senior Weshley Hutagalung yang pertama memberitahu kalau nama saya ada dalam daftar calon pemain terbaik dunia di situs futsal planet. Dalam daftar yang diurutkan secara alfabet, nama saya ada di urutan ke-189. Gelar pemain terbaik dunia waktu itu diperoleh Falcao.
Itulah dua prestasi besar saya di futsal, membawa Indonesia juara AFF 2010 dan bisa masuk 200 besar nominasi pemain terbaik dunia.
Mengenai Piala AFF 2010, kami bersyukur dengan sambutan kalungan bunga yang didapat 13 tahun lalu ketika PSSI masih berada di bawah kepemimpinan pak Nurdin Halid.
Soal ada hak yang sempat dijanjikan tetapi kami tidak mendapatkannya, ya sudah lah. Tetapi sekarang di saat momennya pas, perbaikan PSSI seiring pak Erick Thohir menjadi Ketua Umum, yang ingin kami lakukan saat ini adalah mengantarkan trofi tersebut ke Istana Negara.
Karena kalau kita lihat sebenarnya ada tim-tim dari level kelompok umur yang punya kesempatan mempersembahkan trofi ke Presiden, sementara kami waktu itu bermain di ajang antarnegara level senior.
Harapannya jika itu terwujud maka futsal di Indonesia mendapat perhatian dari pemerintah karena prestasi tim Merah Putih di cabang olahraga ini juga tak bisa disepelekan.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>
Di awal tulisan ini saya bilang kalau sukses saya di futsal karena orang tua. Ayah adalah orang yang pertama memperkenalkan saya dengan sepak bola karena itu juga hobi beliau.
Kalau ada pertanyaan: Siapa sosok yang membuat saya seperti saat ini? Jawabannya adalah orang tua. Ayah yang namanya saya rajah di lengan kiri adalah pahlawan dan role model saya. Peran ibu pun tidak kalah besar dalam karier dan kepindahan saya dari sepak bola ke futsal.
Saya kecil di Kalimantan, di Bontang, karena mengikuti ayah yang bekerja di sana. Ketika itu saya sejak kelas 1 SD mendapat pelatihan sepak bola secara mandiri dari ayah yang juga membina tim sepak bola di kantornya.
Sampai kemudian kami pindah ke Jakarta karena ayah dipindah bekerja di ibu kota. Di Jakarta, saya tinggal di daerah Pluit. Kebiasaan latihan bola privat terus dijalankan di Jakarta, seiring saya juga menjadi atlet andalan sewaktu SMP.
Suatu ketika saya dan abang saya berlatih di bawah arahan ayah di Stadion Pluit. Di sisi lapangan lain ada kesebelasan Warna Agung juga latihan, ternyata saya dan abang saya mendapat perhatian dari pelatih klub tersebut yaitu Gusnul Yakin.
Klub Warna Agung adalah salah satu yang memiliki nama besar di era Galatama, ketika itu di sana masih ada Widodo Cahyono Putro. Saya dan abang saya kemudian disarankan masuk ke tim junior Warna Agung.
Kemampuan saya dalam mengolah bola dan memainkan si kulit bulat membuat tim pelatih mempercayai saya berlatih di dua tim, senior dan junior.
Dari Warna Agung, bakat saya tercium tim Persija Jakarta. Dari situ kemudian karier saya naik dari level tim anak gawang, ke tim divisi dua, hingga membela tim utama Persija.
Bisa dibilang tim Macan Kemayoran ini berkesan di hati karena saya menjalani proses dari pemain junior ke senior itu di Persija.
[Gambas:Instagram]
Saya kemudian sempat pindah-pindah klub, dari Persija ke PKT Bontang, kemudian ke PSM Makassar, dan juga sempat ke Liga Hong Kong. Waktu itu bersama Rochy Putiray, tetapi beda klub. Rochy di Instant Dict, saya di Rangers.
Ketika sedang enak menjalani karier, ayahanda saya tercinta wafat. Lantas ibu saya meminta saya agar 'pensiun' dari sepak bola dan bekerja biasa seperti orang kebanyakan. Permintaan tersebut dikarenakan ibu tak mau anaknya jauh dari Jakarta.
Tak disangka ternyata itulah titian saya menuju sukses. Bisikan orang tua yang saya turuti itu berbuah manis. Saya yang kemudian menjadi karyawan, kemudian mendapat tawaran bermain membela timnas futsal Indonesia yang baru mau dibentuk untuk menghadapi Piala Asia 2002 yang berlangsung di Jakarta.
Kemudian muncul pula klub-klub futsal di Indonesia. Saya pun menjalani profesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan yang sebenarnya juga memiliki kaitan dengan olahraga, sekaligus mendapat privilege untuk berlatih dan bermain futsal. Ini kalau saya bilang, Tuhan membukakan jalan setelah saya menuruti permintaan orang tua.
Kalau dibandingkan berdasarkan besaran honor, jelas sepak bola jauh lebih besar. Tetapi apa yang saya dapat setelah pindah dari sepak bola tidak sekadar gaji. Ada pintu rezeki lain yang terbuka saat kita membahagiakan orang tua. Saya kemudian bisa menjadi pemain terbaik di liga futsal pertama di Indonesia, serta bisa juga menjadi juara saat bermain di tim Harimau Rawa.
Saya menjadi pemain futsal dan membela tim-tim yang berbasis di Jakarta karena ibu tidak mengizinkan saya berkelana jauh. Saya pun sempat membatalkan proses transfer ke sebuah klub di Thailand.
Ketika saya membela timnas futsal, olahraga ini waktu itu adalah hal baru di Indonesia. Tidak ada klub, apalagi kompetisi, sehingga banyak pemain-pemain sepak bola yang ditarik ke tim tersebut. Selain saya, ada nama-nama seperti Yeyen Tumena, Paulus Krey, Francis Wewengkang, sampai almarhum Listianto Raharjo.
Saya sebenarnya tidak asing dengan futsal. Ketika masih berada di Hong Kong, saya pernah bermain dan berlatih sepak bola dalam ruangan bersama tim ketika memasuki musim dingin. Konsepnya waktu itu adalah sepak bola, bukan futsal. Tetapi sudah mirip dengan futsal.
Jika ditilik lebih jauh, perkenalan saya dengan kata 'futsal' sebenarnya sudah terjadi ketika saya berada di bawah asuhan pelatih Persija asal Brasil Jairo Matos.
Waktu itu beliau bilang kalau saya adalah pemain dengan skill baik, seperti orang Brasil, dan percaya diri memperagakannya di lapangan. Beliau juga bilang bahwa seharusnya saya main futsal agar saya bisa berkembang lebih baik lagi. Ucapan Jairo Matos benar-benar menjadi kenyataan ketika saya pindah jalur.
Pahit manis hidup di futsal ini sudah saya rasakan, termasuk ketika mengalami kerugian materi saat 'menalangi' hidup sebuah tim futsal pada medio 2017.
Itulah bentuk kecintaan saya terhadap futsal. Bagi saya materi bisa diganti, tetapi kebanggaan saya ketika melihat ada anak didik yang sukses di bidang apapun adalah penghargaan besar yang tak bisa ditukar.
[Gambas:Video CNN]