Jakarta, CNN Indonesia --
Sehancur-hancurnya hasil Tim Badminton Indonesia di Kejuaraan Dunia 2023, tidak akan ada yang bisa menjamin bahwa Indonesia sudah pasti gagal di Olimpiade Paris 2024. Namun pada titik ini, kekhawatiran pantas untuk diapungkan.
Tim Badminton Indonesia gagal meraih medali emas di Kejuaraan Dunia 2023. Hal ini berarti Tim Badminton Indonesia sudah tidak meraih emas dalam tiga edisi terakhir Kejuaraan Dunia, termasuk di 2021 saat PBSI memutuskan menarik diri dari keikutsertaan pada Kejuaraan Dunia yang waktu itu digelar di Huelva, Spanyol.
Indonesia bukan sekadar gagal namun terkapar tak berdaya. Hanya Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva yang bisa melaju ke partai puncak sedangkan wakil-wakil lainnya habis tak bersisa sebelum babak semifinal berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pukulan paling telak tentu dialami oleh nomor ganda putra. Sebagai nomor yang paling diandalkan, wakil-wakil ganda putra terjungkal di babak-babak awal.
Hasil itu semakin mempertegas situasi krisis yang dialami jagoan-jagoan ganda putra. Hasil buruk sejak Race to Olympics dimulai berlanjut di Kejuaraan Dunia 2023.
Hal serupa juga terjadi di nomor tunggal putra. Jonatan Christie yang jadi unggulan kelima sudah tumbang di langkah awal. Ketiadaan Anthony Ginting yang absen lantaran masih dalam suasana berkabung turut membuat nomor tunggal putra kehilangan ujung tombak andalan.
Pada nomor ganda campuran, tiga wakil yang ada tidak mampu menembus barisan papan atas di sektor ganda campuran. Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, Dejan Ferdinansyah/Gloria Emanuelle Widjaja, dan Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati sama-sama terhenti di babak 16 besar.
Sedangkan Gregoria Mariska Tunjung di tunggal putri juga belum bisa melangkah lebih jauh dari batas-batas kekuatan di atas kertas. Sebagai unggulan kedelapan, Gregoria bisa melenggang ke perempat final tetapi kemudian tumbang ketika bertemu Akane Yamaguchi untuk perebutan tiket semifinal.
Cerita kegagalan demi kegagalan yang terjadi di Copenhagen sepanjang pekan kemarin jadi kabar tak mengenakan yang terus-menerus berdatangan.
Dengan kondisi Olimpiade Paris 2024 berlangsung tahun depan, wajar bila kekhawatiran akan kembali putusnya tradisi emas muncul ke permukaan.
Namun seperti yang disampaikan di awal, segala macam kegagalan yang dialami Tim Badminton Indonesia di Kejuaraan Dunia, bahkan bila kembali gagal di turnamen-turnamen berikutnya tahun ini dan tahun depan, tidak akan pernah bisa memunculkan keyakinan 100 persen bahwa Indonesia bakal gagal di Olimpiade Paris 2024.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Olimpiade Paris 2024 nanti adalah lembaran yang berbeda. Bagaimanapun babak belurnya kondisi Indonesia datang ke sana, tidak akan pernah membuat peluang Indonesia meraih emas menjadi benar-benar nol.
Namun persaingan di dunia olahraga, dalam hal ini badminton di Olimpiade, juga punya pola. Sejak badminton digelar di Olimpiade 1992, yang lebih sering jadi juara adalah pemain-pemain yang memang punya rekam jejak dan tradisi bagus di kejuaraan-kejuaraan internasional sebelumnya, dulu disebut IBF Grand Prix lalu jadi BWF Super Series, hingga saat ini jadi BWF World Tour.
Hal itu juga yang dialami oleh deretan penyumbang medali emas untuk Indonesia di ajang Olimpiade. Susy Susanti, Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, Markis Kido/Hendra Setiawan, dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir adalah nama-nama yang memang sejak awal datang ke Olimpiade dengan status sebagai andalan untuk misi meraih emas.
Alan Budikusuma, Taufik Hidayat, dan Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang juga meraih emas Olimpiade mungkin adalah sosok yang bisa dibilang berbalut kejutan. Namun kejutan yang ada bukanlah kejutan yang benar-benar besar.
Alan memang saat itu di atas kertas lebih di belakang Ardy B. Wiranata untuk diandalkan meraih emas Barcelona 1992, tetapi ia merupakan peraih perak Kejuaraan Dunia 1991.
Taufik juga memang tidak masuk daftar unggulan elite di Athena 2004. Namun Taufik sudah punya nama besar dan kualitas yang teruji sejak usia belasan plus pernah menduduki poisisi nomor satu dunia.
Greysia/Apriyani memang tak masuk daftar unggulan Olimpiade Tokyo 2020. Namun mereka sudah meraih dua perunggu Kejuaraan Dunia 2018 dan 2019 serta sempat jadi pemenang di Thailand beberapa bulan sebelum Olimpiade digelar.
Pola-pola yang ada di atas itulah yang menggambarkan bahwa pemain-pemain Indonesia yang meraih emas Olimpiade adalah pemain-pemain yang memang punya rekam jejak sudah lebih dulu mengukir prestasi di turnamen-turnamen reguler.
Artinya dari pola yang ada, belum ada wakil Indonesia yang sebelumnya tidak benar-benar diandalkan kemudian bisa mengakhiri Olimpiade dengan meraih medali emas di tangan.
Saat Indonesia gagal meraih juara dunia 2009, 2010, dan 2011, hal itu justru yang kemudian diikuti oleh putusnya tradisi emas Olimpiade pada 2012. Kini, Indonesia kembali hampa emas Kejuaraan Dunia di tiga edisi terakhir dan terulangnya kegagalan di 2012 tentu merupakan mimpi buruk yang diharapkan tidka pernah datang.
Lantaran tren peluang terciptanya kejutan dari wakil Indonesia terbilang kecil, hal itu sudah sepatutnya bisa jadi lecutan semangat bagi Tim Badminton Indonesia untuk memperbaiki diri di waktu yang relatif singkat.
Dengan kembali mengukir prestasi di kejuaraan-kejuaraan dalam bulan-bulan mendatang, wakil Indonesia bisa datang ke Olimpiade sebagai sosok yang penuh percaya diri dan siap menghadapi pertempuran besar.
Merujuk pada kekuatan yang ada, nomor tunggal putra, ganda putra, dan ganda putri jadi nomor yang kualitasnya sejajar dibanding pemain-pemain negara lain yang saat ini sedang dominan dalam persaingan.
Ginting dan Jonatan selalu punya peluang mendekati Viktor Axelsen, Kunlavut Vitidsarn, dan pemain-pemain lainnya yang ada di jajaran papan atas. Apri/Fadia sudah membuktikan bahwa perak Kejuaraan Dunia adalah gambaran bahwa mereka bisa melalui laga-laga berat dan bertahan hingga fase akhir turnamen.
Di nomor ganda putra, Fajar/Rian dalam kondisi terbaik tidaklah inferior di hadapan ganda-ganda lain di dunia ini. Begitu juga dengan pemain-pemain lain di nomor ganda putra seperti Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri, Pramudya Kusumawardana/Yeremia Rambitan, dan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
Gregoria Mariska Tunjung menunjukkan tren peningkatan di 2023, tetapi ia butuh langkah berikutnya agar bisa masuk ke kelompok penantang serius perebutan gelar di tiap turnamen yang diikuti. Dari segi kualitas, Gregoria di hari terbaik miliknya bisa mengalahkan pemain-pemain papan atas namun sejauh ini hari terbaik tersebut belum bisa sepenuhnya dimunculkan di tiap pertandingan.
Sedangkan di nomor ganda campuran, persaingan yang ada di antara pemain-pemain ganda campuran Indonesia saat ini lebih ke persaingan internal untuk merebut satu tiket menuju Paris 2024. Harapannya ke depan, persaingan internal ini bisa mendorong mereka meningkat pesat dan cepat dalam hitung mundur Olimpiade yang semakin dekat.
Untuk bisa jadi pemenang di tengah pertempuran yang makin sengit, PBSI tentu wajib bergerak dengan lebih baik. PBSI perlu memberikan perhatian penuh terhadap atlet-atlet yang diproyeksikan lolos ke Paris, mulai dari makanan hingga pemilihan turnamen dan penanganan cedera yang menghambat penampilan.
PBSI juga wajib membangunkan pemain dan menyadarkan wakil-wakil Indonesia tentang urgensi Olimpiade dan tentang betapa besarnya harapan pemerintah dan masyarakat untuk melihat badminton kembali jadi sebab diputarnya Indonesia Raya dan bendera Merah Putih mengangkasa.
[Gambas:Video CNN]