Setelah lepas dari belenggu sanksi pembekuan FIFA pada 2016 atau selama tujuh tahun, kompetisi sepak bola Indonesia tak kunjung naik kelas.
Buktinya wakil-wakil Indonesia di kompetisi Asia tak punya taji. Ini membuat peringkat kompetisi Indonesia stagnan dan tak kunjung ada wakil yang langsung main di Liga Champions.
Terlepas dari indeks penampilan wakil Indonesia di Asia yang melempem, kompetisi di dalam negeri, dari level satu hingga tiga, belum memperlihatkan peningkatan kualitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kinerja wasit masih jadi sorotan, masih banyak klub menunggak gaji pemain dan tak disanksi PSSI, masih banyak suporter membuat kericuhan, serta ada susupan politik praktis di federasi.
Untuk meningkatkan kualitas wasit, PSSI gencar menggelar pelatihan wasit. Ini sejalan dengan rencana penggunaan video assistant referee (VAR) mulai Februari 2024.
Pada saat yang sama pemerintah telah berkomitmen merenovasi sejumlah stadion yang jadi markas klub-klub Liga 1 dan Liga 2. Ini jalan tengah kolaborasi pemerintah dan PSSI.
Namun, PSSI selayaknya membuat ketetapan bahwa klub melakukan kontrak dengan pemerintah terkait pengelolaan stadion. Cara Bali United yang mengelola Stadion I Wayan Dipta contohnya.
![]() |
Mulai 2024 PSSI juga berjanji akan memberi subsidi ke klub untuk membangun lapangan latihan sendiri. Jika setiap klub punya lapangan sendiri, pembinaan akan bisa dijalankan dengan terukur.
PSSI bersama PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang didukung Undang-Undang Keolahragaan semakin menuntut kelompok suporter berbadan hukum. Ini bisa meminimalisir aksi kriminal suporter.
Tak kalah penting, Elite Pro Academy (EPA) sebagai jalan prestasi masa depan terus diperbaiki. Soal ini PSSI mencanangkan mulai 2024 ada perbaikan besar di setiap kategori usia.
Jika ini semua diperbaiki akankah wakil Indonesia akan tampil dan sukses di pentas Liga Champions Asia? Tidak otomatis, tetapi akan berdampak pada musim-musim berikutnya.