Anton Suseno: Maestro Tenis Meja Indonesia Bergaji Dolar di Swedia
Saya tak pernah bermimpi untuk mencapai karier gemilang di tenis meja. Namun, semua itu terjadi karena takdir dan lingkungan yang mendukung.
Ayah adalah pembuka jalan saya untuk terjun di dunia tenis meja. Beliau adalah pelatih tenis meja meski tak pernah jadi atlet.
Kecintaan ayah pada pingpong otomatis tertular kepada saya. Di usia 9 tahun saya resmi bergabung dengan klub tenis meja Wargi Jaya Bandung, tempat ayah saya melatih.
Dua tahun berselang, saya mulai menonjol dan sukses menjadi juara di tingkat kadet dan atlet junior terbaik kedua pada usia 11 tahun.
Saya ingat betul ketika berhasil menjuarai turnamen Pemuda Cup di Klaten dan Benawi Cup di Semarang. Tak lama kemudian klub Djarum Kudus merekrut saya. Dari sinilah petualangan hidup saya dimulai.
Sempat home sick, tapi di saat bersamaan senang bertemu teman-teman baru yang fokus jadi atlet tenis meja. Banyak kejuaraan yang saya ikuti hingga akhirnya masuk pelatnas tenis meja saat 14 tahun.
Saya pernah tergabung di pelatnas SEA Games 1987 namun baru terjun di SEA Games 1989 Malaysia. Saya berhasil membawa pulang satu medali emas beregu dan satu perunggu di tunggal putra.
Mungkin saya bisa raih emas tunggal putra, namun kami dicurangi dan terpaksa kalah di semifinal. Wasit sering kali mengklaim saya melakukan double saat terima block shot di momen-momen kritis.
Pak Ali Said, Ketua PB PTMSI saat itu juga kesal karena ulah wasit. Pemain tunggal putri Rossi Pratiwi pun terpaksa walk out di final karena akumulasi dari kecurangan-kecurangan yang kita dapat.
Dua tahun kemudian saya rebut dua emas di SEA Games 1991 Manila dari nomor tunggal dan beregu. Prestasi itu membuat saya berhak tampil di Olimpiade Barcelona 1992.
Olimpiade Barcelona salah satu yang sangat berkesan. Pengalaman saya pertama kali tembus Olimpiade dan suasana kota yang indah di pinggiran pantai.
Saya menembus ranking 33 tunggal putra dari total 64 peserta yang merupakan atlet tenis meja kelas dunia. Sampai saat ini sepertinya belum ada tunggal putra Indonesia yang mencapai ranking 33 di Olimpiade.
Meski tak juara, saya sangat bangga karena bisa tanding bersama-sama dengan ribuan atlet terbaik dunia. Saat itu ada bintang NBA Michael Jordan, maestro tenis Jerman Steffi Graf.
Sebetulnya saya tidak minder lawan atlet dunia. Saya selalu percaya diri apalagi wakil ASEAN sendirian. Tapi, saya akui kita kalah jam terbang dan pengalaman. Jadi mereka lebih matang dan unggul.
Setahun kemudian, saya kembali dipercaya ikut SEA Games 1993 di Singapura. Dua medali emas pun berhasil saya bawa pulang masing-masing di nomor tunggal dan beregu putra.
Baca di halaman selanjutnya>>>