Saat kecil, saya bukan pemain bulutangkis padahal saya lahir dari keluarga yang sangat dekat dengan bulutangkis. Papa saya, Agus Susanto pernah main di Thomas Cup sedangkan mama saya, Megah Idawati juga pernah main di Uber Cup. Legenda Indonesia, Liem Swie King juga merupakan om saya.
Tetapi saat kecil, saya lebih suka main biliar. Saya bahkan sempat juara turnamen biliar se-Jawa Tengah.
Namun karena tumbuh di lingkungan bulutangkis, saya juga tetap ikut ke lapangan bulutangkis. Hanya ikut-ikutan papa saja yang latihan di PB Djarum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya baru mulai latihan bulutangkis di umur 12, usia yang bisa dibilang terlambat untuk memulai sebenarnya. Karena itu saya bilang bulutangkis itu juga harus ada hokinya. Walaupun pemain itu bagus, kalau hokinya tidak ada, tetap tidak akan bisa.
Dari mulai berlatih secara serius, saya mulai bisa juara di berbagai level turnamen termasuk Munadi Cup. Saat usia 15 tahun saya sudah mulai bisa juara di kelompok remaja di Jawa Tengah sedangkan di level nasional, saya kalah dari Agus Dwi Santoso.
Saya akhirnya masuk Pelatnas PBSI pada usia 18 tahun ketika berhasil jadi juara Seleksi Nasional (Seleknas). Saya juara Seleknas setelah mengalahkan Alan Budi Kusuma di partai final.
Masuk Pelatnas PBSI, saat itu kami masih berlatih di Hall C Senayan. Kami masih junior dan masih ada pemain-pemain senior seperti Icuk Sugiarto, Lius Pongoh, dan om saya yaitu Liem Swie King. Karena lapangan terbatas, saya dan rekan-rekan yang satu angkatan baru bisa berlatih setelah pemain senior selesai berlatih, itu pun saya harus lebih dulu membereskan shuttlecock.
![]() |
Di awal masuk Pelatnas PBSI dan melihat senior berlatih itu yang ada di pikiran saya adalah smes mereka kencang-kencang sekali. Melihat senior main itu bikin kami bengong.
Lalu masa keemasan generasi kami ada di tahun 1990-1994. Kami bisa bersaing dan berprestasi di level dunia dan turnamen bergengsi, termasuk Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Dalam karier saya, saya lama berpacaran dengan Sarwendah Kusumawardhani. Kami pacaran 10 tahun lebih dan baru menikah di tahun 1995. Setelah menikah, kami memiliki anak semata wayang bernama Andrew Susanto. Ia juga berkarier sebagai pemain bulutangkis.
Selama pacaran, kami jarang bertengkar dan tidak pernah mengganggu fokus ke pertandingan. Bertengkar tentu ada, tetapi biasanya saat hari-hari latihan. Namun semua masalah yang ada itu bisa diselesaikan.
Kami justru lebih banyak saling membantu dan saling mengisi. Itu komitmen kami saat pacaran yaitu saling mendukung dan sama-sama cari uang bareng-bareng. Setelah pensiun, kini kami mengelola Sarwendah Badminton Club (SBC) yang berdiri sejak 2010.
Saya juga pernah mendapat tawaran dari Rusia sebagai pelatih kepala pada 2018. Waktu itu diberi tawaran gaji US$10 ribu alias sekitar Rp140 juta per bulan. Namun saya tolak tawaran itu karena ada orang tua yang harus saya jaga dan rawat di sini.
![]() |
Di Sarwendah Badminton Club, ada sejumlah atlet yang saat ini masuk naungan beasiswa yang berarti menjadi tanggungan kami. Sponsor saat ini belum ada jadi memang untuk pemenuhan kebutuhan atlet beasiswa itu berasal dari kantong kami pribadi. Total atlet yang ada dalam binaan beasiswa kami sebanyak 8-9, dulu paling banyak ada 16-18 orang. Di luar itu, ada pula pemain-pemain yang berlatih privat.
Dengan kehadiran sejumlah pemain berstatus beasiswa, kami mengeluarkan kocek dari dana pribadi sekitar Rp200 juta setahun. Biaya itu termasuk kebutuhan sehari-hari dan juga pengiriman turnamen ke berbagai daerah.
Yang saya inginkan saat ini adalah Sarwendah Badminton Club bisa mempunyai atlet yang masuk pelatnas dan bisa mendunia.