Jakarta, CNN Indonesia --
Kalau ada orang tua, tanpa kondisi sakit, bilang bahwa ia sayang pada anak-anaknya, namun tak hapal nama anak atau momen penting dalam hidup mereka, apakah pernyataan itu bisa sepenuhnya dipercaya?
Agung Firman Sampurna terpilih sebagai Ketua PP PBSI pada akhir 2020. Saat itu Olimpiade 2020 diundur ke 2021 karena pandemi Covid-19. Namun keputusan untuk pergantian pengurus tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Agung Firman terpilih. Setelah terpilih, Agung Firman sebenarnya ada di aliran waktu terbaik sebagai Ketua PP PBSI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia punya dua Olimpiade untuk dimainkan. Juga pemain-pemain yang sedang dalam usia emas dalam periode tersebut. Namun nyatanya, Agung Firman malah tidak bisa memaksimalkan hal tersebut dengan baik.
Sedikit mundur beberapa bulan lalu, Tim Badminton Indonesia baru saja membawa pulang dua gelar dari All England, beberapa bulan setelah Tim Ad Hoc untuk Olimpiade terbentuk. Jonatan Chrstie dan Anthony Ginting mampu menciptakan All Indonesian Final yang dimenangkan oleh Jonatan dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto bisa jadi yang terbaik di nomor ganda putra.
Setelah itu Tim Badminton Indonesia juga berhasil menembus final Thomas Cup dan Uber Cup meskipun kemudian harus puas sebagai runner up.
Dalam sebuah acara di televisi, Agung Firman tidak bisa dengan gamblang menyebutkan nama-nama pemain Indonesia yang bakal berlaga di Olimpiade Paris 2024. Sebagai pengingat, momen itu terjadi di tahun 2024 yang berarti adalah tahun keempat Agung Firman menjabat sebagai Ketua Umum PP PBSI.
Bila PBSI diibaratkan sebagai orang tua dan atlet-atlet di dalamnya adalah anak-anaknya, bagaimana orang-orang bisa yakin Agung Firman menaruh perhatian penuh pada program-program PBSI bila sekadar nama-nama pemain yang lolos ke Olimpiade saja tidak bisa dihapal di luar kepala?
Padahal nama-nama atlet yang lolos ke Olimpiade Paris 2024 adalah tulang punggung utama badminton Indonesia saat ini. Jonatan Christie, Anthony Ginting, Gregoria Mariska Tunjung, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva, dan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari seharusnya tidak jadi nama yang asing.
Bila nama-nama pemain yang lolos ke Olimpiade saja tidak hapal di luar kepala, tentu bakal berat untuk berharap Ketua PP PBSI bisa hapal pemain-pemain muda PBSI yang ada di dalamnya.
Bila nama-nama pemain yang lolos ke Olimpiade saja tidak hapal di luar kepala, tentu kemudian menjadi sebuah kewajaran ketika ada banyak hal-hal penting yang terbengkalai dan tak bisa ditangani oleh PBSI era Agung Firman.
Prestasi era PBSI era Agung Firman memang tidak boleh dikesampingkan. Di bulan-bulan di tahun pertama, PBSI era Agung Firman mampu meneruskan pekerjaan PBSI era Wiranto dengan baik. Emas Olimpiade bisa direbut Greysia Polii/Apriyani Rahayu dan Thomas Cup bisa dibawa pulang setelah terakhir kali dimenangkan 19 tahun sebelumnya.
Namun setelah itu, ketika mereka mulai berdiri di kaki sendiri untuk menyusun program, Agung Firman malah tak mampu memimpin kapal PBSI berlayar dengan baik.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Status kontrak pelatih yang tidak jelas sehingga sejumlah pelatih hengkang, masalah cedera atlet yang sering kali terjadi dan bahkan tak kunjung sembuh, pembatasan syarat ranking untuk pemain di luar pelatnas untuk tampil di turnamen internasional adalah hal-hal krusial yang terjadi di kepengurusan kali ini.
Nova Widianto dan Flandy Limpele jadi contoh pelatih yang keluar karena situasi kontrak yang tidak pasti. Situasi ini bisa dicegah, atau setidaknya bisa dibuat lebih jelas, bila PBSI memberikan penjabaran kontrak lebih detail. Sehingga ketika nantinya ada pelatih yang keluar, hal tersebut murni keputusan profesional, bukan karena ada dasar kekecewaan terhadap suatu hal.
Soal penanganan cedera juga jadi masalah utama. Marcus Fernaldi Gideon, Apriyani Rahayu, dan Christian Adinata jadi contoh pemain yang mengalami cedera namun tak kunjung sembuh dalam waktu lama. Sedangkan Daniel Marthin juga sempat mengalami masalah pada mata dan hal itu mengganggu performanya saat race to Olympics sudah dimulai.
Pembatasan syarat ranking juga seharusnya segera ditarik. Awalnya pembatasan syarat ranking diberlakukan setelah sejumlah pemain Indonesia terindikasi melakukan match fixing dan terkena sanksi.
Namun kemudian hal tersebut jadi tak relevan lagi ketika kemudian malah mempersulit pemain-pemain non pelatnas yang ingin berkiprah di turnamen internasional. Syarat batas ranking bakal sulit dicapai bila untuk awalan saja mereka masih belum punya cukup ranking.
Bagaimana bisa mendapat peringkat yang lebih baik bila syarat awal untuk ikut turnamen adalah punya ranking dalam zona tertentu. Padahal seharusnya bebaskan saja semua pendaftaran dan biar susunan entry pemain yang nantinya menentukan, apakah pemain yang mendaftar bisa masuk ke bagan utama atau masuk babak kualifikasi.
Padahal dengan ketiadaan pembatasan ranking untuk pemain non-pelatnas, PBSI bakal ikut mereguk untung. Semisal pemain yang masih junior dari klub rutin ikut turnamen, nantinya ranking mereka tidak akan terlalu jauh di bawah dan tak start dari dasar.
Untuk pemain di atas 19 tahun yang di luar pelatnas alias pemain senior, penghapusan syarat ranking juga berarti besar. Atmosfer kompetisi untuk pemain senior di luar pelatnas bisa jadi hidup lagi. Harapan untuk tetap berkarier di turnamen internasional setelah tidak lagi jadi anggota pelatnas kembali berkibar.
Karena pemain di luar Pelatnas PBSI terkendala keterbatasan biaya sehingga tak bisa ikut turnamen BWF Tour secara reguler sepanjang tahun. Ketika mereka berinsitif untuk ikut beberapa turnamen yang dekat dan sesuai bugdet mereka, tentu disayangkan bila hal tersebut terkendala pembatasan ranking.
 Christian Adinata mengalami cedera panjang. (Dok. PBSI) |
Berbicara prestasi, Indonesia tidak punya juara dunia di tiga edisi terakhir, yaitu 2021, 2022, dan 2023. PBSI tak mengirim wakil di edisi 2021 lalu tak mampu merebut juara di edisi 2022 dan 2023.
Selain itu, PBSI juga tidak mampu meraih emas di Asian Games 2022. Kegagalan meraih gelar di turnamen-turnamen besar sejatinya sudah jadi sinyal kuat menuju kegagalan merebut emas di Olimpiade Paris 2024.
Agung Firman lalu mengajukan catatan 88 kali juara dari 188 turnamen yang digelar sebagai salah satu bukti prestasi PBSI di bawah kepemimpinannya. Catatan tersebut layak diapresiasi, namun yang jadi catatan adalah Indonesia dalam empat tahun ini selain bermasalah dan tanpa gelar di kejuaraan besar, juga belum ada sinyal-sinyal regenerasi yang kuat.
Di luar atlet-atlet yang tampil di Olimpiade Paris 2024, merujuk ranking BWF per 6 Agustus 2024, masih sedikit atlet Indonesia yang ada di posisi 30 besar. Di tunggal putra, tidak ada pemain lain di 30 besar. Di tunggal putri, ada Ester Nurumi Tri Wardoyo (23).
Pada nomor ganda putra, ada Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri (11), Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin (14), Mohammmad Ahsan/Hendra Setiawan (15), dan Sabar Karyaman Gutama/Mohammad Reza Pahlevi Isfahani (23).
Di nomor ganda putri, hanya ada Febriana Dwipuji Kusuma/Amalia Cahaya Pratiwi (14). Di nomor ganda campuran, ada Dejan Ferdinansyah/Gloria Emanuelle Widjaja (18) dan Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati (20).
Gambaran ini bisa jadi penanda awal bahwa setelah Olimpiade Paris 2024, pemain-pemain yang lolos ke Olimpiade Paris 2024 akan tetap jadi harapan dan andalan untuk meraih gelar di BWF Tour maupun Kejuaraan Dunia. Butuh usaha dan kerja keras dari Pengurus PBSI berikutnya untuk bisa mengejar ketinggalan.
Catatan ini membuat kepengurusan PP PBSI berikutnya harus bekerja keras untuk bisa selekasnya mendorong banyak pemain lainnya untuk bisa masuk ke jajaran 30 besar. Zona tersebut penting lantaran persyaratan ikut turnamen BWF Tour menggunakan sistem ranking sehingga bakal sulit berharap melihat banyak pemain Indonesia di turnamen elite seperti Super 1000 bila tidak banyak yang berada di zona 32 besar.
Akhir pekan ini, PP PBSI menggelar Musyawarah Nasional (Munas) untuk menentukan Ketua Umum PP PBSI yang baru. Kepengurusan era Agung Firman akan segera berakhir dan berganti ke pundak Muhammad Fadil Imran yang jadi calon tunggal.
Dari gambaran yang ada, Agung Firman Sampurna mungkin tidak siap mental untuk jadi Ketua PP PBSI. Agung Firman seperti tidak menyadari betapa besar nama dan harapan pada tim badminton dalam sejarah olahraga Indonesia.
Lebih dari itu, Agung Firman mungkin juga tidak sepenuhnya menyediakan ruang di hati miliknya bagi badminton Indonesia. Sehingga ia seolah tak sepenuhnya melebur dalam perjalanan Tim Badminton Indonesia dalam empat tahun ini.
Perjalanan Agung Firman bersama PBSI dalam empat tahun mendatang bisa jadi contoh yang tepat untuk tidak diulang. Bahwa untuk jadi Ketua Umum PBSI, diperlukan mental yang kuat dan hati yang lapang untuk bisa menerima badminton jadi bagian penting dalam keseharian setelah seseorang berstatus sebagai Ketua Umum.
[Gambas:Video CNN]